79

1007 Kata
Sesil gelagapan. Bagaimana ada orang di rumah? Padahal ia sudah memastikan kedua orang tuanya tidak pulang sebelum malam. Kedua tangan Gadis itu bergerak mendorong lemari tersebut dengan susah payah. Setelahnya ia keluar membuka pintu, bersikap seakan tidak melakukan apa-apa. “Ibu? Tumben Ibu udah pulang sekarang.” “Kamu sedang berbicara dengan siapa?” “Siapa? Di sini enggak ada siapa pun selain aku sendiri kok,” “Perasaan Ibu dengar suara kamu tadi.” “Ah, mungkin Ibu salah dengar kali. Ayo sini masuk. Ibu mau bicara sama aku, kan?” tanya Sesil penasaran. “Tidak. Ibu pulang hanya untuk mengambil dokumen yang tertinggal. Ibu pamit ke kantor lagi. Jangan lupa jaga rumah, ya. Jangan membuka pintu jika orang asing datang.” Sesil mengangguk. Nela tersenyum singkat dan membalikkan badan, berjalan menuju keluar diikuti oleh Sesil. Gadis itu kemudian menutup pintu rapat-rapat usai sang ibu sudah tidak terlihat lagi. Dia menghela nafas lega. Hampir saja dirinya tadi ketahuan. ** Alista memandang langit-langit kamar. Wajah tulus Reynal yang mengatakan suka padanya, mendadak terlintas. “Gue harus gimana?” remaja itu mengacak gemas rambutnya sendiri. “Kenapa?” Alista menengok. Seketika dia mendudukkan diri usai melihat Yura di ambang pintu sana. “Enggak apa-apa,” jawabnya berbohong. Ia masih ragu saja untuk mengatakan semuanya. “Cerita aja. Udah dua kali lo dianterin pulang sama Reynal. Apa dia udah bilang tentang perasaannya ke lo? Setau gue, Reynal orangnya enggak lambat. Dia orangnya jujur, sih, kalau suka ke seseorang. Beda lagi sama Randi, kebanyakan tarik ulur dia.” balas Yura, mulai bercerita. Dia sudah tahu betul sifat kembar itu berkat temannya yang tahu segalanya berdasarkan pengalaman. “Kok Kakak tau kalau Reynal begitu?” “Dulu pernah Reynal suka sama teman gue, tapi tenang kok. Sekarang udah enggak lagi. Jujur, deh, tadi kenapa pulang telat? Reynal ngajak lo ke mana?” “Dia ngajak gue makan,” “Cuma makan aja?” tanya Yura dengan tatapan menggoda. Sebab dia tahu ada sesuatu yang lain mengingat wajah Alista seperti sedang dilema. “Dia sebenarnya...” Yura bergeser duduk. Tatapannya tidak pernah lepas. Rasa penasarannya naik ketika mendengar Alista menggantung perkataannya. “Reynal bilang kalau dia suka gue,” lanjut Alista. “dia kasih waktu buat mikirin jawabannya dan kasih ini.” Dia mengeluarkan kotak persegi panjang yang Reynal berikan tadi. “kalau aku terima, aku harus pakai kalung ini. Kalau enggak, aku balikin ke dia.” Yura memandang benda tersebut, setelahnya ia langsung mengambil alih dan memandangnya sejenak. “Dia kasih ini? Gila, berarti dia memang suka banget sama lo, Al. Gue boleh buka enggak?” “Boleh,” Yura membuka kotak tersebut. Di sana tampaklah sebuah kalung indah yang terpasang membentang. Kedua mata Yura terpana. Sebenarnya ia sudah biasa melihat kalung seperti ini, tapi lain cerita kalau Reynal yang membelikan. Dia sungguh tidak menyangka. Ternyata Reynal yang ia kenal begitu kaku dan cuek ternyata tahu selera perempuan. “Gue harus gimana, Kak?” tanya Alista terkesan merengek. Ia bingung menghadapi laki-laki seperti Reynal yang kedua matanya terlihat tulus, tapi di sisi lain, dia belum ada perasaan apa-apa ke Reynal. Yura menutup kotaknya. Tatapannya berpindah pada Alista yang kini tengah kebingungan. “Tanya ke diri lo sendiri. Dengar kata hati lo, Al. Kalau lo enggak suka, ya, jangan dipaksa. Karena hubungan tanpa perasaan itu enggak banget, deh. Gue tau itu karena gue sendiri pernah ngalamin. Cuma itu saran gue, sih. Semua keputusan ada di tangan lo,” ** Sesil memandang pantulan dirinya di cermin. Ia tersenyum puas melihat penampilannya yang pas. Setelah yakin sudah siap semua, Sesil mengambil tas selempang dan menggantungkannya di salah satu pundak. Ia juga meraih brosur-brosur pencarian orang hilang. Gadis dengan rambut cokelat yang tergerai indah itu beranjak keluar rumah. Tidak lupa menutup pintu kamar. Dia masuk ke dalam mobil yang sedari tadi sudah menunggu. “Ke rumah Arsen, ya, Pak.” ujarnya pada sang sopir pribadi. “Baik, Non.” Hanya memakan tiga puluh menit, Gadis itu akhirnya sampai. Ia meraih plastik berisi brosur-brosur tersebut, setelahnya keluar dan berdiri di depan pintu rumah. Tangan Sesil bergerak mengetuknya. Selang beberapa detik, seorang wanita yang tidak lain adalah Bi Hanifah tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Non Sesil, ya?” Sesil tersenyum ramah. “Iya, Bi. Arsen ada di rumah, kan?” “Iys. Silakan masuk, Non.” Bi Hanifah bergeser ke samping, mempersilahkan Sesil untuk masuk, namun baru tiga langkah, orang yang sudah ia tunggu mendadak datang dengan pakaian rapi. Wangi parfum dari tubuh Arsen masuk ke dalam Indra penciuman Sesil. Untuk sesaat dia terpesona. “Udah nunggu lama?” tanya Arsen serius. “Enggak. Baru aja kok,” “Gimana? Udah siap semuanya?” langsung dibalas anggukan oleh Sesil. “Pakai mobil aku aja soalnya, kan, mau disebar di tempat jauh. Takutnya nanti kamu kecapean jalanin motor.” “Serius?” ** Langit-langit kini terlihat cerah. Air laut yang tampak tenang. Orang-orang yang bermain di pinggir pantai sana membuat suasana tambah semakin ramai dan riang. Sesil mengalihkan pandangan ke arah Arsen di sebelahnya. Sudut bibirnya perlahan terangkat. Ini baru kali pertama dia pergi bersama orang yang ia suka ke pantai yang menjadi tempat favoritnya yang ia datangi untuk melepas stres karena hari-hari buruk. "Lo suka enggak?" "Lumayan." Arsen menengok, "mana brosurnya? Gue akan bagikan dan tempel ke setiap sisi tembok di sekitar sini." "Aku mau minum. Tadi aku lupa bawa. Aku ke warung dulu sebentar, ya." pamit Sesil. Tanpa menunggu jawaban Laki-laki tersebut, ia pergi begitu saja. Sementara Arsen mulai mengeluarkan kamera dan mengabadikan setiap sisi yang menurutnya bagus untuk ditunjukkan kepada Alista nanti. "Makasih, Bu." Sesil menerima botol minuman yang diserahkan oleh penjual itu. Dia beralih memandang Arsen yang tengah serius memfoto pantai itu. Gadis tersebut berjalan menjauh. Sampai di warung lain yang jaraknya tidak dekat dengan Arsen, Sesil mulai membuka botol minum. Ia menjatuhkan brosur-brosur tersebut ke bawah begitu saja tanpa plastik. Sesil kemudian menuangkan semua air minum ke kertas brosur tersebut. Tidak puas, Gadis itu juga menginjak-injaknya kuat dengan berharap, tidak berbentuk lagi. "Permisi, itu brosur-brosur pencariannya siapa, ya? Kenapa Anda malah merusaknya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN