"Harshil, tunggu! Kita belum selesai bicara!" tukas Chelsie. "Siapa gadis kampungan yang bersamamu ini?" lanjutnya sembari menatap Inara dengan tatapan sinis.
"Kenapa? Apa pedulimu?" tanya Harshil dingin.
"Sayang, kata Harshil dia itu calon istrinya. Kasihan banget ya, harus jadi pengantin dari pria yang lumpuh!" Erick berkata sambil menyeringai.
Sementara Chelsie terus memandang Inara dengan tatapan tak suka.
"Serius, Harshil? Apa kau sudah tak punya mata lagi sehingga memilih gadis kampungan itu untuk menjadi istrimu?" pertanyaan menohok kembali dilontarkan oleh Chelsie.
Mendengar hinaan dari wanita seksi itu, Inara tertunduk dalam. Dia memang kampungan, tidak pantas untuk bersanding dengan Harshil. Kalau bukan karena hutang itu, pasti saat ini Inara pun tidak bersedia.
"Kenapa? Walaupun kampungan, dia justru lebih baik darimu!" ketus Harshil. Ia menoleh ke arah Inara yang raut wajahnya menjadi sedih. "Sayang, ayo kita keluar, kita pulang ke rumahku," ucap Harshil kembali bersandiwara.
"Baik, Mas."
Chelsi tak percaya dengan ucapan Harshil.
"Harshil, tunggu!" Chelsie kembali mencegahnya. "
"Jalan saja Inara, jangan pedulikan ucapannya," lirih Harshil pada calon istrinya.
"Kau benar-benar sudah tak menganggap kami?" Erick kembali bersuara.
"Kalian sama-sama pengkhianat, untuk apa kuladeni?!" sahut Harshil ketus.
Dari kejauhan Ettan melihat mereka keluar dari salon, ia bergegas menghampirinya, menggantikan Inara.
"Tuan, apa nona baik-baik saja?" tanya Ettan bingung. Ia sempat melihat dua Erick dan Chelsie masuk ke dalam salon.
Ia membantu Harshil masuk ke dalam mobilnya, begitu pun dengan Inara.
Harshil menoleh melihat bulir bening di kedua mata Inara.
"Inara, kenapa kamu menangis?" tanya Harshil.
"Tuan maaf, sepertinya memang aku tidak pantas bersanding bersama Tuan, teman-teman tuan yang tadi itu benar, aku memang kampungan, dan--"
"Mereka bukan lagi teman-temanku. Mereka adalah pengkhianat. Aku tak peduli dengan perkataan mereka. Kita harus tetap maju. Dan kau tidak boleh berkata seperti itu lagi! Kau paham?"
"Tapi bukankah lebih baik kalau 80 juta itu dianggap sebagai hutangku saja? Aku akan bekerja dan mencicil untuk membayarnya. Jadi tak perlu ada pernikahan ini ..." Lirih Inara bersuara.
"Kenapa? Kau mau ingkar dengan perjanjian yang sudah kau tandatangani? Kamu tidak takut aku menuntutmu lebih kejam dari itu?"
Inara menggeleng perlahan.
"Bagus, harusnya kamu tahu. Aku takkan main-main dengan perjanjian ini! Sudahlah, aku tak ingin mendengar bantahanmu lagi! Ettan, ayo jalankan mobilnya!"
"Baik, Tuan!" sahut Ettan. Ia merasakan perubahan suasana hati sang majikan begitu cepat. Padahal tadi ia terlihat begitu bersemangat dan bahagia, kini kembali menjadi sosoknya yang dingin dan kaku. Apa karena dua orang tadi telah mengganggunya?
Suasana di dalam mobil terlihat begitu canggung. Hening, tak ada sepatah katapun yang keluar.
Sesekali Harshil melirik ke arah Inara yang selalu tertunduk sembari memainkan jemarinya.
"Inara, apa kau tahu apa arti namaku?" tanya Harshil memecah kebisuan.
"Ti-tidak, Tuan."
"Harshil itu diambil dari bahasa sansekerta, artinya merasa gembira."
"Oh."
"Baru kali ini kurasakan kegembiraan lagi, bersama denganmu. Jadi kuharap kamu jangan jauh-jauh dariku."
"Maaf, Tuan. Tolong jangan bicara manis seperti ini padaku. Bukankah pernikahan kita nanti hanya sebuah perjanjian?"
Harshil tersenyum masam. "Ya, kau memang benar. Maaf kalau aku melewati batas. Yang penting kau bersedia menjadi pengantinku walau untuk sementara, sampai semuanya kembali normal dan berada dalam kendaliku."
Inara hanya mengangguk pelan.
"Inara ..."
"Ya, Tuan?"
"Sudah kubilang jangan panggil aku tuan. Mulai sekarang kau harus membiasakan diri memanggilku dengan panggilan sayangmu itu!"
"Maksudnya, Mas?"
"Ya, itu jauh lebih baik."
Inara mengangguk lagi.
***
Mobil sport mewah Prosche Cayman warna hitam ini melaju dengan kencang, membelah jalan tol yang nyaris tanpa hambatan.
Tanpa sadar, Inara tertidur dalam mobil. Wajah polosnya membuat Harshil tersenyum.
"Bangunlah, kita sudah sampai."
Inara terlonjak kaget, menatap sekeliling.
"Nyaman ya tidur di mobilku."
"Maaf, Mas. Aku gak sadar."
"Tak apa, ayo turun. Ingat jangan jauh-jauh dariku."
"Baik, Mas."
Demi melancarkan sandiwaranya, Inara mendorong kursi roda sang calon suami. Sementara Ettan hanya mengantarnya sampai diambang pintu.
"Wah, wah, lihat siapa nih yang datang!" sambut seorang wanita berpenampilan modis meskipun umurnya sudah tidak muda lagi. Namanya Rosa Danendra, adik kedua ayah Harshil.
Semua mata menoleh ke arah Harshil dan juga Inara. Mereka menatapnya dengan heran.
Sesuai dengan rencana Harshil, jam-jam seperti ini keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, selain kakek, paman dan bibinya ada pula para sepupu serta keponakannya tengah bercengkrama bersama.
Semuanya berdiri, menatap tak percaya dengan perubahan Harshil yang tampak lebih rapi, terlebih ada seorang wanita di belakangnya.
Davka dan Divka, bocah kembar itu berlari menghampiri Harshil.
"Paman, Paman datang bersama siapa, Paman? Gadis yang paman bawa cantik sekali, tapi kenapa pakai penutup kepala?" Pertanyaan polos keluar dari mulut bocah lima tahunan itu.
Mereka berdua adalah cicit pertama di keluarga Danendra.
Harshil tersenyum melihat tingkah menggemaskan bocah kembar itu.
"Siapa dia, Harshil? Dan tumben kenapa penampilanmu berubah jadi rapi seperti ini?" tanya Rosa, sang bibi.
"Ehem ...! Kebetulan karena semuanya berkumpul disini, aku akan langsung bicara saja," sahut Harshil.
"Jadi begini, Kakek, Om, Bibi, saya berniat untuk menikah satu minggu lagi. Dengan dia, gadis pilihanku, Inara namanya."
"Apa?" pekik Rosa, matanya membulat sempurna.
Semua mata menatap tak percaya dengan ucapan Harshil. Sementara kakek Danendra hanya diam, masih memperhatikan dengan seksama ucapan sang cucu.
"Kau sudah tidak waras Harshil? Kenapa tiba-tiba ingin menikah secepat ini?" tanya Henry, suami Rosa.
"Bukankah kalian yang mendesakku untuk secepatnya menikah? Kenapa kaget setelah aku membawa calon istri kemari?"
"Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mau sama kamu, sedangkan kondisimu cacat begini! Memangnya siapa dia? Kamu membayar gadis itu kan? Untuk berpura-pura menjadi kekasihmu? Berapa bayaranmu?"
Inara hanya tertunduk, tak mampu bersuara. Entah dia bingung siapa saja yang kini ada di hadapannya. Dia hanya tahu orang yang sudah sepuh itu adalah kakek Harshil.
"Sudah, sudah! Harshil, kemarilah! Kenalkan gadis itu pada kakek," lerai kakek Danendra.
Sang kakek justru tersenyum saat melihat Harshil pulang membawa seorang wanita, itu artinya ada kemauan pada dirinya untuk bangkit dan berubah bersemangat menjalani hidup seperti dulu lagi.
Beberapa pasang mata menatap tak suka, mereka saling berbisik, apalagi mengenai penampilan Inara yang katanya udik.
"Kemari, Nak. Siapa namamu?" tanya kakek Danendra lembut. Reaksi kakek yang begitu ramah pada sang gadis, membuat saudara-saudara Harshil yang lain berdecak kesal.
"Inara Savita, Kek," sahut gadis itu pelan.
"Nama yang sangat bagus. Kau tinggal dimana Inara?"
"Dia tinggal di desa tak jauh dari sini, Kek," sahut Harshil.
"Jadi, kalian serius akan menikah? Sejak kapan kalian saling kenal?" tanya kakek, menatap Inara dan Harshil secara bergantian.
"Belum lama ini, Kek. Tapi kami sudah mantap dan serius, kalau akan membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan," jawab Harshil lagi.
"Bagaimana denganmu, Inara?"