7. Hinaan dari keluarga

1075 Kata
"Bagaimana denganmu, Inara?" "Saya juga serius, Kek. Mas Harshil sangat baik padaku jadi--," ujar Inara menutupi rasa gugupnya. "Hahahaha ... Panggilannya lucu sekali. Mas katanya, hahahaha." Seseorang tertawa mengejek, mendengar jawaban dari gadis yang polos itu. "Benarkah? Apa ada tekanan dari Harshil agar kau mengatakan itu semua?" Kakek menengahi. Inara menggeleng pelan. "Tidak, Kek." "Kakek, jangan percaya! Harshil pasti sudah membayar gadis itu, supaya sandiwaranya tidak terbongkar. Tidak mungkin kan dia menemukan calon istrinya secepat ini?" "Rahasia jodoh, tidak ada yang tahu kan, Tante Ros?" sahut Harshil sambil tersenyum. "Coba kenalkan pada kami, siapa namanya? Dari kalangan keluarga mana? Latar belakangnya seperti apa? Siapa ayahnya? Bisnisnya apa? Apa yang dia miliki sampai-sampai ingin menikah denganmu?" Tante Rosa mulai bersuara kembali disertai anggukan yang lain. "Betul, harusnya kau cari calon istri yang sepadan dengan keluarga kita, sama-sama terpandang! Bukan asal aja pilih istri, kayak gembel di jalanan!" timpal Henry yang tak suka dengan kehadiran gadis sederhana itu. Entah kenapa dia merasa terancam, kalau gadis itu bisa mengubah Harshil untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Inara tertunduk dalam. Memanglah tidak mudah jalannya untuk seseorang yang tak punya apa-apa. "Ayo jawab, kenapa diam saja?" pekiknya lagi membuat Inara tersentak. Sudah seringkali ia dihina karena kemiskinannya. 'Aku tak ingin membuat Mas Harshil malu di hadapan keluarganya. Baiklah, setidaknya aku harus mempertahankan diri. Aku tak ingin lelaki itu cemas padaku.' Batin Inara. "Maaf Kakek, Tante, Om, dan semua yang ada disini. Saya memang tak punya apa-apa, saya hanya orang miskin, tak punya harta maupun tahta. Saya hanya perempuan biasa, tak punya gelar maupun jabatan. Tapi saya punya hati dan cinta yang akan saya dedikasikan untuk calon suami saya, Mas Harshil," sahut Inara kemudian. Untuk sesaat Harshil terperangah mendengar ucapannya. Gadis itu benar-benar membuat suasana hatinya berubah-ubah. Semuanya tersenyum dan tertawa mengejek mendengar jawaban dari Inara, terkecuali Harshil dan sang kakek. "Cinta? Kau pikir cinta akan mengenyangkan perutmu? Yang utama itu uang, uang atau harta, lalu cinta akan menyusulnya. Kau juga pasti begitu kan? Menikahi Harshil untuk mendapatkan uang?" "Maaf Tan, kalau Tante berpikir seperti itu, pikiran Tante picik sekali. Ya, memang kita hidup itu butuh uang buat membeli kebutuhan sehari-hari. Tapi uang tidak bisa membeli cinta. Kalau Tante bilang cinta akan mengikuti asal punya harta? Itu salah, namanya itu bukan cinta melainkan nafsu dunia." "Hei bocah! Tahu apa kau dengan kehidupan! Sok bijak sok membantah. Kau tidak tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?" Tante Rosa makin tersulut emosi. "Ayah, kami tidak setuju Harshil menikahi dengan gadis ini! Lihat saja tingkahnya dia berani padaku!" "Kenapa, Tante? Tante tak bisa mendebatnya kah?" Harshil menimpali, lelaki itu tersenyum. Ia merasa kagum pada Inara. Gadis itu bahkan bisa mendebat tantenya yang super cerewet dan biang keributan. "Rosa, biarkan saja mereka menikah. Ayah gak keberatan. Harshil sudah yakin dengan gadis itu, gadis itupun juga mantap untuk menikah dengan Harshil. Mereka sama-sama saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apa salahnya?" Kali ini Tuan Danendra ikut berbicara. "Ayah, tapi dampaknya akan sangat besar untuk keluarga kita! Para wartawan pasti akan mengorek informasi tentang mereka terutama kelemahan dan keburukan calon istrinya. Mau taruh dimana muka kita, Yah?" "Biarkan saja, tak usah pedulikan orang lain!" "Ayah gak malu? Kalau seorang cucu konglomerat ayah akan menikah dengan gadis miskin dan tak berpendidikan seperti dia?" "Sudah, sudah! Ayah sudah memberikan kesempatan pada Harshil untuk mencari seorang istri. Kalau Harshil memilihnya, Ayah akan setuju. Asalkan pernikahan ini nantinya memberikan perubahan yang lebih baik pada diri Harshil dan keluarga ini tentu saja," tukas Danendra menengahi. "Jadi Ayah setuju kalau Harshil sama dia? Tidak akan kubiarkan, aku yang akan memisahkan mereka! Gadis itu bukan level keluarga kita, Yah!" "Maaf Tante kalau saya lancang. Saya hanya yakin tentang hal ini. Walaupun terpisah jalan, cinta sejati akan menemukan jalannya kembali," sahut Inara lagi membuat orang yang ada di dalam menatapnya tanpa berkedip. "Maaf sebelumnya Kakek, dan Mas Harshil, kalau kehadiran saya disini justru membuat huru-hara keluarga. Saya pamit mau pulang saja, saya tak ingin membuat kegaduhan disini. Saya permisi, Assalamualaikum." "Baguslah kalau tahu diri!" Inara melangkah pergi, membuat Harshil kalang kabut. Dengan susah payah ia mengejar Inara mengerakkan kursi rodanya sendiri. "Inara, tunggu Inara! Jangan pergi!" teriaknya. Namun gadis itu tak menoleh sedikitpun. "Ettan! Kau tahan Inara. Jangan sampai dia keluar sendirian!" teriak Harshil lagi. Sementara gadis itu tetap melangkahkan kakinya keluar dari rumah megah bak istana itu. Entah kenapa ia punya keberanian untuk meninggalkan tuannya. Ia hanya tak ingin sebuah keluarga hancur karena kehadirannya. "Tunggu, Non. Nona mau kemana?" cegah Ettan. "Saya mau pulang, Ettan." "Tidak bisa, Nona. Tuang melarang Nona pulang." "Tapi keluarganya tidak menerimaku, buat apa aku disini?" "Nona, tolong bertahanlah. Demi Tuan Harshil, selama ini dia berjuang sendiri menghadapi sikap toxic keluarganya. Saya berharap dengan kehadiran Nona disini bisa menjadi penyemangat hidup Tuan Harshil untuk bangkit." Inara menghela nafas dalam-dalam, melihat lelaki itu menghampirinya. "Masuklah ke mobil, kita bicara di dalam!" ujarnya penuh penekanan. Mata elangnya menatap Inara dengan tajam. "Ettan, kau tunggu di luar, jangan sampai ada orang yang mendengar obrolan kami!" "Baik, Tuan." Inara duduk sembari menundukkan wajahnya, ia tak berani menatap lelaki di sampingnya itu. "Kenapa, kau takut aku menggigitmu?" Inara menggeleng pelan. "Kenapa kau tadi langsung pergi? Bahkan sebelum perkenalan itu berakhir?" "Maaf Mas, bukankah tadi dengar sendiri? Mereka tak bisa menerimaku. Karena status sosial kita berbeda. Aku hanya lah orang miskin, sedangkan kamu orang kaya, Mas." "Kita sudah sepakat bukan? Yang penting kakek sudah setuju, aku tak butuh penilaian yang lainnya. Itu tak penting." Inara melirik ke arah Harshil yang juga tengah menatapnya. "Jangan dengarkan mereka, itu baru permulaan, Nara. Orang yang tidak suka akan berusaha untuk menghancurkan kita. Kalau belum berhasil mereka akan terus mengganggu. Kumohon bersabarlah. Kita hadapi ini bersama-sama." "Yang penting kita punya dukungan kakek, kamu jangan takut ya. Dan please bantu aku. Hanya enam bulan saja, Inara." Tak tega melihat raut wajah Harshil yang memelas, akhirnya Inara pun mengangguk. "Terima kasih. Aku tahu, kamu perempuan yang kuat." Inara tersenyum. "Ettan, ayo berangkat! Kita antarkan Inara pulang." "Baik, Tuan." "Atau, kita mampir makan dulu di restoran?" tanya Harshil lagi. Inara hanya menggeleng. Hari ini dia sudah cukup penat, ingin sekali ia beristirahat di rumah, tidur meluruskan kakinya. "Its oke, kapan-kapan kita pergi untuk makan bersama." Harshil menyandarkan tubuhnya di jok mobil, sesekali mengerjapkan matanya perlahan. Ia merasa kasihan pada gadis itu, kesan pertama keluarganya sangatlah buruk. Ia dihina habis-habisan oleh Tante Rosa. Mobil sport itu melaju dengan kencang, mereka tak menyadari ada yang diam-diam mengikutinya. "Seberapa hebat wanitamu itu, Harshil?! Sampai kau terlihat begitu menyayanginya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN