Aku berjalan menuju ruang tamu sambil memantau keadaan setelah hampir lima menit bersembunyi di balik pintu kamar dengan perasaan campur aduk.
Aman ….
Aku mengelus d**a dengan perasaan lega luar biasa saat memaklumi suamiku mungkin sudah pergi ke kantor setelah mendapatkan kecupan tak terencana dariku.
Aku tersenyum sendiri ketika mengingat lagi ekspresi terkejut yang ditunjukkan olehnya saat mendapat kecupan dariku yang tiba-tiba tadi. Ah! Sungguh menggemaskan!
Bolehkah aku mengulanginya besok?
"Kenapa berani sekali?" Aku yang baru saja menjatuhkan tubuh di sofa ruang tamu dan berniat melanjutkan kegiatan membaca, tersentak kaget saat mendengar suaranya. Ternyata … dia belum benar-benar pergi?
Ya ampun! Apakah … dia bersembunyi sebelum ini? Kenapa tiba-tiba muncul begitu saja? Seperti hantu.
"Loh, Mas, belum jadi berangkat?" tanyaku sambil menunjukkan senyuman yang jelas dipaksakan saat berusaha menutupi rasa takutku ketika menatapnya.
"Ada yang tertinggal," ucapnya sambil mendekat padaku. Membuat jantungku berpacu lebih cepat saat lelaki bertubuh gagah ini seperti ingin mengikis jarak denganku.
Dia … dia ingin menampar atau menciumku? Kenapa makin dekat begini?
Kurasakan leherku mendadak dingin saat menyadari dirinya berdiri hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter dariku yang berdiri kaku di sini.
Tak ingin menatap wajahnya yang kali ini tampak garang dan mengerikan, aku refleks menutup mata dengan perasaan tak karuan. Antara takut, was-was, dan juga … penasaran.
Mau apa dia? Benarkah dia akan memarahiku?
Cukup lama aku menutup mataku sampai ….
"Buka matamu. Tenang saja, gadis sepertimu tidak cukup menarik sampai membuatku ingin melakukan sandiwara murahan hanya untuk menciummu," ucapnya panjang lebar dan penuh penekanan.
Aku mematung mendengar ucapannya.
Bukankah dia menyindirku barusan?
"Jangan harap aku bakal tiba-tiba menyukaimu hanya karena kau sudah tampil tel—" Dia menyugar dengan kasar rambut hitamnya dan lantas mengusap dengan kasar pula wajah tampannya saat mungkin ingatannya memutar kembali kejadian memalukan hampir tiga jam yang lalu.
"Ah … sudahlah!"
Dia lantas menarik langkah menjauh. Berjalan ke arah kamar tepatnya.
"Sudahi sikap sombongmu, Tuan Rafka. Jangan salahkan aku kalau pada akhirnya, kamu yang akan bertekuk lutut padaku."
Dia yang sepertinya memang hendak mengambil sesuatu yang tertinggal di kamar, menoleh sebentar padaku dan lantas menatapku dengan pandangan menyepelekan.
"Masih terlalu pagi untuk bermimpi," desisnya sebelum benar-benar pergi menuju kamar entah untuk mengambil barang apa yang tertinggal.
"Sombong!" umpatku, tapi tak dipedulikannya.
Setelah mungkin mengambil barang apa yang memang tertinggal, dia pergi begitu saja tanpa menoleh lagi padaku. Jangankan tersenyum dan kembali berpamitan. Melihat wajahku saja sepertinya dia enggan.
Dasar labil!
"Aku pulang agak lambat hari ini."
Aku tersentak saat dia tiba-tiba berbalik dan memberitahu tentang dirinya yang bakal terlambat pulang.
"Iya, Sayang …," ucapku sambil menorehkan senyum.
Mendengar ucapanku, dia mengernyit lalu menggelengkan kepalanya. Dan kemudian benar-benar setelah itu.
Kita lihat saja, Rafka Pramuditya, aku atau kau yang akan menyerah.
Bibirku terkulum secara refleks ketika membayangkan lelaki sombong itu benar-benar jatuh cinta padaku. Ah ... indahnya hidup ....
Bukankah memiliki hati seseorang yang dicintai layaknya memenangkan sebuah peperangan? Sungguh, aku tidak sabar menunggu saat-saat itu.
Puas berandai-andai, aku yang jenuh dengan kehidupan yang membosankan setelah mendapatkan skorsing dari kampus, memutuskan untuk membuka aplikasi t****k sebagai pengusir kejenuhan. Senyumku kembali merekah tatkala melihat keromantisan pasangan muda yang telah diberikan kepercayaan untuk menimang buah hati. Dalam konten yang ditayangkan, tampak sang suami begitu peduli pada anak dan istrinya.
"Apa Mas Rafka bisa seperti itu juga nantinya?"
Aku menepuk kening saat merasa diriku terlampau jauh berhalusinasi.
Buat dia jatuh cinta padamu dulu, Liona. Baru kau bisa berharap lebih!
***
Dua jam setelah Mas Rafka bertolak ke kantor, panggilan masuk dari Sheila membuatku yang sedang asyik rebahan sambil scroll VT t****k, terpaksa menyudahi kegiatan.
"Ya?" Tanpa ingin berbasa-basi, aku hanya mengucapkan satu kata itu sebagai pengawal percakapan.
"Dih! Kok gitu? Assalamualaikum, kek." Terdengar Sheila melayangkan komplain dari seberang sana. Huh! Kenapa semua orang menyebalkan, sih, suka ngatur-ngatur?
"Ih … cerewet. Iya-iya. Assalamualaikum. Ada apa, Sheila Andriani? Ada yang bisa dibantu?" tanyaku dengan nada sewot.
Ternyata benar, punya suami jutek bin sombong berpotensi bikin darah tinggi jadi naik.
"Waalaikumussalam. Gimana kabar lo? Enak, dong, ya, udah married, pisah dari orang tua. Dapat jatah 'libur' dua minggu. Indahnya dunia …." Sheila mencerocos sesuka hati saat memberikan penilaian tentang nasibku yang disangkanya seindah itu.
Aku mencebik kecil.
"Duniaku nggak seindah itu, Marimar!"
Dia terkekeh kecil.
"Btw nggak ada lo bikin BT, deh. Sumpah."
"Sama. Emang dikira gue nggak BT di rumah mulu?"
"BT kenapa lo? Punya laki ganteng, udah nggak jadi beban keluarga. Cuma jadi beban laki lo. Apa yang bikin galau?"
"Galau lah, gue …."
Aku pun lantas menceritakan tentang kisahku selama 'libur' kuliah. Tentang serba-serbi memiliki suami seperti Mas Rafka yang sering terlihat dingin tapi kadang terlihat perhatian pun aku ceritakan.
"What? Dia beliin lo baju-baju muslimah gara-gara lo pamitan ke dia pake baju seksi?" Dari nada bicaranya, Sheila terdengar seperti takjub akan sikap suamiku yang sebenarnya berlebihan itu.
"Ya," jawabku singkat.
"Itu artinya dia udah care, dong, sama elo. Nggak pengen itu keindahan tubuh istrinya dibagi-bagi."
Aku mencebik lagi sebelum menceritakan kejadian memalukan pagi tadi, saat handukku terlepas secara tidak sengaja. Dan begitu mendengar ceritaku, terdengar Sheila tak berhenti tertawa. Seperti sedang melihat adegan lucu di film komedi saja dia ini.
"Panas dingin pasti laki lo tadi, kan?" komennya, lantas terkekeh kecil.
"Entah. Nggak sempet ambil termometer gue, buat ngukur suhunya."
Sheila tertawa lagi. Dan saat aku menceritakan tentang kecupan singkat yang aku curi dari Mas Rafka, Sheila yang sedari tadi sibuk menertawakanku, justru diam untuk beberapa saat ketika mendengar aksi tentang aksi nekatku itu.
"Lari? Lo lari terus sembunyi di kamar pas habis cium dia?"
"Iya lah. Gila apa? Nekat banget kalau berani unjuk gigi setelah bikin dia kesel."
"Kesel? Lo yakin dia kesel? Kalau gue, sih, mikirnya dia senyum-senyum sendiri pas dapat ciuman kejutan dari lo."
"Ah, masa, sih?"
"Iya … percaya, deh, sebagian cowok, tuh, ada yang kek gitu. Suka jaim, tapi kalau diagresifin seneng."
Aku terkekeh pelan.
Kami pun lantas bercerita tentang banyak hal untuk menumpahkan segala macam keluhan selama kami tak bertemu beberapa hari ini. Dan Sheila terpaksa mengakhiri panggilan saat jam kuliah selanjutnya siap untuk diikuti.
***
"Mas, aku izin pergi, ya, sama Sheila sore nanti. Mau ngopi aja. Sheila ngajakin aku ke kafe."
Jam satu siang, aku yang menyanggupi ajakan Sheila, mengirimkan pesan ke nomor suamiku untuk meminta izin. Lama pesanku tak terbaca sampai akhirnya, pesan yang kukirimkan bercentang biru dua. Membuat hatiku berdebar menanti balasan pesan darinya.
Aku mengumpat sendiri saat menyadari dia terlihat baru mengetikkan pesan balasan sampai hampir satu jam setelah pesanku terbaca olehnya.
Dasar gengsian! Sengaja banget dia nggak pengen buru-buru balas pesan aku biar keliatan cueknya! Aku mengumpat dalam hati saat melihatnya belum berhenti mengetik pesan padahal sudah terlihat dari tadi jika dia sedang mengetik.
Nulis pesan, apa nulis makalah, sih, dia? Perasaan dari tadi nggak berhenti-henti!
"Kamu boleh pergi. Asalkan berpakaian sopan dan menjaga kehormatan suamimu. Kamu harus ingat, istri adalah pakaian suami, dan suami adalah pakaian istri. Jadi, di mana pun tempat, jaga sikap dan selalu utamakan kesopanan. Jangan suka bertindak barbar di tempat umum, oke?"
Lihatlah, ternyata dia menuliskan pesan panjang lebar itu isinya kultum. Membosankan!
"Iya-iya." Aku yang tak ingin memperpanjang masalah, cukup mengiyakan semua pesan-pesannya.
"Bagus!"
***
Tak mau mendapatkan cibiran dari Mas Rafka, aku memilih memakai kaos panjang oversize dan celana jeans panjang. Untuk alas kaki aku memilih sandal selop berbahan karet jelly berwarna coklat tua. Senada dengan baju yang kukenakan sore ini.
Setelah semua dirasa siap, aku dan Sheila bertemu di kafe langganan dan kemudian mengobrol tentang banyak hal. Meski sudah berbicara melalui telepon siang tadi, aku dan dia tetap saja tak pernah kehilangan topik tentang apa pun yang layak dibicarakan.
Baru sekitar 30 menit ngobrol sambil ngopi di kafe, kedatangan seseorang yang tak ingin kulihat wajahnya, membuatku muak saat dia tiba-tiba menarik kursi tanpa permisi.
"Dih! Siapa juga yang ngijinin elo duduk di situ!" Omelku, ketika lelaki ini duduk di hadapanku tanpa tahu malu.
Dia hanya cengar-cengir mendengar bagaimana aku mengumpatnya.
"Makin cantik aja sekarang," ucapnya, sambil terus menatapku dengan tatapan mesumnya yang terlihat memuakkan.
Arga, lelaki yang sempat dekat denganku selama hampir satu tahun ketika aku duduk di bangku SMA ini, terus menerus memfokuskan pandangan padaku sampai aku benar-benar dibuat risih dan jengah.
Sheila yang tahu siapa dia, hanya menjadi pemerhati sebelum ikut mencibirnya.
"Emang nggak tahu malu banget ini orang," ucap sahabatku sambil geleng kepala.
Arga cuek bebek. Cacian dan makian seperti dianggapnya umpama angin lalu saja.
Detik kemudian, telepon Sheila yang bergetar berulang kali, memaksanya untuk mengangkat panggilan.
"Ap-apa?! Dio, Dio kecelakaan?!" Wajah sahabatku mendadak berubah pucat saat seseorang mungkin mengabarkan tentang berita menyedihkan itu. Dio adalah adik laki-laki Sheila yang masih berusia 17 tahun. Jika memang mengalami kecelakaan, kemungkinannya dia mengalami kecelakaan motor. Karena aku sendiri tahu jika pemuda itu gemar memacu kuda besi yang sudah dimodifikasi macam-macam.
"Oke-oke, Lala ke sana sekarang, Ma," ucap Sheila terdengar cemas. Dia lantas mengakhiri panggilan dengan raut wajah tak karuan.
"Na, gue … gue duluan, ya, Dio masuk ICU," ucap Sheila dengan sangat gugup.
"Iya, La. Duluan aja nggak apa-apa, bil biar gue yang bayar. Lo yang sabar, ya," ucapku mencoba menenangkannya.
Masih dengan raut wajah panik, Sheila pergi setelah memasukkan ponsel ke dalam tas selempang miliknya.
Aku yang merasa tak lagi berselera untuk duduk lebih lama di kafe ini, memilih bangkit dan berjalan ke arah kasir untuk melakukan p********n. Soal Arga yang masih duduk manis di meja itu, aku tak ingin ambil peduli.
Aku sedang mengotak-atik ponsel hendak memesan taksi online, saat Arga yang entah kapan keluar dari kafe, merampas ponselku secara tiba-tiba dan tanpa basa-basi.
"Sini! Balikin hape gue!" ucapku, sambil melotot padanya.
Dia menimang-nimang ponselku tanpa berdosa.
"Gue bisa anter lo pulang, Liona," ucapnya sambil tersenyum. Nakal. Sebuah senyuman yang terlihat sangat menjijikan di mataku.
"Jangan harap! Sampai dunia kiamat sekalipun, gue nggak bakal sudi jalan bareng lagi sama lo! Dengar itu!" ucapku lantas mencebik bibir.
Dia kembali tersenyum dan menunjukkan seringaian yang terlihat memuakkan.
"Ayo!"
Aku tersentak saat Arga tiba-tiba menarik tanganku menuju mobilnya. Aku yang berontak sekuat tenagaku minta dilepaskan, tak membuatnya terusik barang sedikit pun. Dia tetap memaksaku masuk ke dalam mobilnya meski aku sudah menolaknya dengan keras.
"Sekarang, lo udah nggak perawan, 'kan? Jadi, lo nggak ada alasan lagi buat nolak berhubungan sama gue," desisnya tajam.
Tak mau menanggapi ucapannya, aku yang sudah dipaksa duduk di jok depan mobilnya, mencoba membuka pintu mobil dengan sekuat tenaga. Namun, gagal. Lelaki berotak m***m yang dulu aku putuskan karena meminta berhubungan badan padahal kami hanya berstatus sebagai pacar, telah menguncinya. Membuatku didera perasaan ngeri setengah mati.
Apakah aku harus memecahkan kaca mobilnya? Atau … harus memukul belakang leher laki-laki amoral ini? Ya Tuhan … tolong beri aku jalan.
"Lo nggak usah jual mahal, Liona. Lo mau mantap-mantap sama gue seratus kali pun, suami lo nggak bakalan tau. Jadi, nggak perlu banyak drama, oke?!" ucap Arga, lantas memacu mobilnya meninggalkan kafe.
Ya Tuhan! Aku memang pendosa, tapi tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku sanggup menjaga kesucian sampai suamiku sendiri yang mengambilnya. Bukan lelaki tak bermoral ini.
"Mas Rafka … tolong …!"
Seperti orang gila, aku yang sedari tadi dikuasai oleh rasa takut, memanggil namanya dan berharap ada keajaiban yang mampu menggagalkan rencana jahat lelaki b***t satu ini.