"Ceroboh. Cepat pakai lagi!" Dia mengumpat dan memberikan titah sambil memalingkan wajah. Seperti ingin menghindari sesuatu yang memang tak pantas untuk dilihat pagi ini.
Aku yang kepalang malu, gerak cepat mengambil kembali handuk yang sempat terjatuh selepas aku menyimpan hair dryer yang telah kumatikan. Jantungku berdebar keras saat memakai kembali handuk. Menutupi seluruh tubuh yang sempat dilihat oleh ….
Ah! Sudahlah. Jangan diingat-ingat lagi. Begitu memalukan untuk dikenang.
Tak mau terperangkap oleh rasa malu lebih lama, aku buru-buru memakai baju setelah memasuki bilik walk in closet di kamar ini. Rambut yang belum sepenuhnya kering, kubiarkan terurai begitu saja. Untuk wajah, aku hanya mengusap micellar water untuk menambah rasa percaya diriku. Aku memang jarang ber-make up macam-macam saat pagi-pagi begini. Lagian, aku masih harus 'libur' kuliah, 'kan sampai sepuluh hari ke depan?
Setelah memakai pakaian lengkap, aku berjalan keluar kamar sambil menata hati.
Anggap saja peristiwa memalukan tadi tidak pernah terjadi, Liona! Anggap tidak pernah terjadi! Aku terus berbisik dalam hati saat langkah kakiku terayun menuju dapur.
Biasanya, kami hanya sarapan roti tawar yang diberi selai atau delivery order bubur ayam pagi-pagi begini. Namun, sepertinya aku harus membuat perbedaan pagi ini. Rasanya … aku perlu melakukan sesuatu untuk mengusir rasa malu yang sedari tadi belum juga beranjak, padahal aku sudah memakai pakaian lengkap.
Memasak!
Ya! Rasanya, aku perlu belajar melakukan hal yang sebenarnya menyebalkan itu untuk mengisi hari-hariku yang membosankan dalam sepuluh hari ke depan.
Aku baru sampai di dapur saat kedua mataku disuguhi sebuah pemandangan tak biasa. Tampak olehku, pria dengan tubuh proporsional tengah sibuk dengan peralatan masak di depan kompor.
Ya Tuhan! Apakah suamiku yang tampan itu … sedang memasak? Bisakah aku mempercayai penglihatanku sendiri?
Aku menarik langkah semakin dekat.
"Aku sudah menanak nasi dan lagi bikin sop ayam. Hari ini, kamu nggak perlu DO makanan buat sarapan," ucapnya, saat mungkin menyadari aku sudah berdiri di belakangnya.
"I-iya," sahutku gugup. "Apa ada yang bisa aku bantu?"
Dia menoleh padaku dengan tatapan menyepelekan.
"Kamu cukup bantu makan saja. Karena jika bantu memasak, rasanya pasti bakalan kacau semua."
Aku meneguk ludah dengan berat mendengar bagaimana dia meremehkan aku dengan kata-kata pedasnya.
Oke, baiklah, Rafka Pramuditya, suatu saat akan kubuktikan padamu jika aku juga bisa memasak. Bukan cuma makan saja keahlianku.
Melihatkan ada beberapa peralatan dapur yang kotor, aku gerak cepat mengambil dan membawanya ke arah wastafel yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat Mas Rafka memasak. Aku harus mencucinya. Biar dia tidak mengataiku dengan kalimat 'makan saja yang kamu bisa'.
"Kamu …?"
"Aku bisa, kok, nyuci piring sama nyuci peralatan dapur," ucapku buru-buru. Tak ingin dia mendahului dengan kalimat pedasnya, saat mungkin ingin meremehkan aku yang dipikirnya tak pandai mencuci piring dan peralatan dapur ini.
"Baiklah."
Dia lantas menoleh lagi ke arah kompor dan terlihat serius dengan pekerjaannya.
***
Sarapan pagi kali ini diisi dengan dua menu sebagai lauk. Sop ayam dan sambal teri adalah teman nasi yang terlihat solid pagi ini. Terlihat sederhana, tapi sangat nikmat. Percayalah, ini sangat nikmat!
Bagaimana Mas Rafka bisa masak sambal seenak ini?
"Mas, kamu … belajar dari mana bikin sambel begini?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana yang sedari tadi terasa kaku.
"Afifah beberapa kali bikin sambel kayak ini. Dan aku minta resepnya. Ternyata … aku bisa bikin yang rasanya mirip seperti sambel bikinan dia," urainya cukup panjang. Membuatku tersenyum saat merasa dia bisa menanggalkan sikap sombongnya secara perlahan.
Bukankah Rafka yang seperti ini, yang pertama kali membuatmu jatuh cinta, Liona?
"Edgar sangat beruntung, karena punya istri yang pandai memasak," ucapnya, yang entah kenapa kembali membuatku tersentil mendengarnya.
"Apa aku … harus belajar memasak juga? Agar kamu merasa beruntung?" tanyaku hati-hati.
Dia menatapku sesaat, tapi lantas menggeleng sambil tersenyum tipis. Seperti tak mau ambil peduli dengan pertanyaan yang baru saja aku ucapkan. Mungkinkah dia menganggap aku sedang berbasa-basi atau bahkan … sedang menyepelekan niat baikku?
"Tapi ngomong-ngomong … kenapa kamu nggak pernah panggil Mbak, sama Mbak Afifah? Dia, kan, kakak ipar kamu." Aku yang tak mau menunjukkan rasa sakit hati karena pertanyaanku diabaikan, mencoba mengalihkan pembahasan dengan bertanya hal lain.
Jujur, selama ini aku memang merasa aneh dengan suamiku yang selalu memanggil nama pada ipar maupun kakak kandungnya sendiri, Edgar Pramuditya. Suamiku selalu memanggil mereka dengan nama saja, seperti sedang berbicara pada teman sebaya.
"Nggak masalah, toh, Afifah nggak keberatan dipanggil nama. Yang terpenting, aku nggak pernah manggil nama, kan, sama orang yang ngelahirin aku?"
Aku tersenyum kecut dan memaksa diri untuk mengangguk.
Kami lantas melanjutkan sarapan saat merasa tak ada hal yang perlu untuk dibahas lagi, sampai ….
"Aku ke kantor agak siangan hari ini," ungkapnya tiba-tiba. Membuatku yang sedang tertunduk menikmati masakannya, sontak mendongak menatapnya.
Apa maksudnya dia memberitahu aku pergi ke kantor lebih siang? Dia mau mengantarku kuliah atau apa? Kenapa selalu bertele-tele begini?
"Kalau kamu ada kelas pagi, aku bisa mengantarmu ke kampus dulu sebelum ke kantor."
Mataku membulat sempurna mendengarnya mengatakan hal itu.
Ya Tuhan ….
Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya dia menawarkan jasa untuk mengantarkan aku kuliah? Bukankah ini luar biasa?
"Eum … itu, aku … aku lagi nggak ada jadwal kuliah, Mas, hari ini," ucapku, ketika teringat lagi tentang sanksi skorsing yang belum selesai kujalani.
"Oh …." Mas Rafka mengangguk-angguk pelan sebelum menyelesaikan sarapannya.
"Biar aku bereskan." Aku berinisiatif untuk membereskan piring-piring kotor di meja makan sesaat setelah sarapan pagi selesai dilakukan.
Mas Rafka diam sambil menatapku dengan tatapan aneh. Mungkinkah dalam diam dia meragukan kemampuanku untuk bersih-bersih rumah?
Tidakkah dia ingat jika aku bisa membersihkan peralatan make-up yang berserakan hari itu? Oh, iya, lupa, dia tak pernah menonton videoku saat melakukan bersih-bersih hari itu.
Oh ... apa perlu aku mengirimkan pesan video padanya saat aku bersih-bersih? Biar dia bisa melihat bukti otentik kalau seorang Liona Kaisara bisa juga diandalkan dalam membuat rumah terlihat lebih rapi?
Ah, bisa dipertimbangkan.
***
"Aku … kerja dulu." Dia yang sudah rapi dengan pakaian formalnya, berpamitan sambil mengulurkan tangan meski dengan sedikit kaku.
Aku yang semula sedang menyibukkan diri dengan membaca-baca buku di ruang tamu, cepat-cepat meletakkan buku untuk kemudian bangkit dan menyalami dirinya.
"I-iya, hati-hati," ucapku lantas mengecup punggung tangannya.
Dia mengangguk sambil tersenyum tipis sebelum menarik langkah menjauh.
"Mas!"
"Hm?"
Dia yang hampir melangkahkan kaki menuju pintu, terpaksa menoleh saat aku memanggilnya dengan cukup lantang.
"Ada yang ketinggalan," ucapku, meski dengan perasaan takut-takut.
Dia mengernyit sambil memandangi sendiri penampilan dan barang bawaannya.
"Please, tolong, jangan mengerjaiku, Liona. Aku sudah memakai baju, celana, sepatu, dan dasi. Tas juga sudah aku bawa. Apa yang ketinggalan?" tanyanya, terlihat geram.
Aku tersenyum usil saat merasa berhasil membuatnya kesal dengan mengatakan ada sesuatu miliknya yang tertinggal, padahal memang tidak ada yang tertinggal.
Aku mendekati dirinya dengan langkah cepat.
"Ini." Aku nekat mengecup bibir tipisnya sebelum berlari menuju kamar secepat mungkin setelah membuatnya terkejut dengan perbuatanku yang kelewat berani.
Ya Tuhan! Bagaimana bisa aku merasa seperti habis melakukan pencurian setelah mencium suami sendiri?