BAB 6. MENYIAPKAN MADU

1119 Kata
"Kalau begitu saya bayar sekalian dua tahun bu,"sahut Diana antusias. Lantas keduanya membicarakan lebih detail tentang kosan yang kini resmi disewa oleh Diana. "Bisa saya tempati hari ini ya bu?" tanya Diana setelah proses sewa selesai. "Boleh mbak. Kan mbak sudah bayar," sahut bu Sri mempersilahkan, "ini kuncinya, listrinya pake token ya mbak. Nomer id nya di tempat meteran mbak. Ditulis di situ supaya saya tidak lupa." Diana mengecek dan langsung mengisi token dengan aplikasi miliknya. "Terima kasih banyak ya bu. Saya permisi dulu mau sewa mobil buat pindahan," sahut Diana sopan. "Kalau mbak nggak keberatan. pakai jasa anak saya saja mbak. Dia punya mobil pick up," tawar bu Sri. "Wah kebetulan kalau begitu bu. Bisa langsung ke kosan saya saja kalau begitu," sahut Diana senang, "tapi ngomong-ngomong sewanya berapa ya bu?" "Nggak mahal kok mbak, sewa sehari sekalian tenaga angkut cuma lima ratus ribu saja. Itu sekali angkut kan mbak?" tanya Bu Sri meyakinkan. "Barang saya nggak banyak kok bu. Palingan juga alat elektronik dan barang jualan saya. Kalau pakai pick up kayaknya cuma sekali. Tapi lihat nanti deh bu. Kalau sampai dua kali angkut nanti saya tambahi dua kali lipat," sahut Diana lega ternyata biaya angkut barang tidak semahal yang dia pikir. Apalagi sekalian dibantu angkat-angkat. "Baik mbak Diana. Saya panggilkan anak saya dulu, Mbak teruskan lihat-lihat rumahnya," sahut Bu Sri sebelum berlalu ke rumah yang tadi di datangi Diana pertama kali. Tak lama terdengar bunyi mobil berhenti di depan rumah tempat yang Diana sewa. Gegas dia ke depan. Dan benar saja, ada bu Sri yang turun dari mobil. Diikuti satu orang pemuda usia belasan tahun. "Ini anaknya,bu?" tanya Diana meyakinkan dia tidak salah kira. Pasalnya anak bu Sri terlihat masih remaja. Apa kuat angkat-angkat barang dari rumahnya. "Oh ini anak saya yang bungsu. Nanti biar bantu-bantu angkut mas e. Anak tertua saya masih siap-siap," sahut Bu Sri menjelaskan. Tak lama ada lelaki tampan dengan badan atletis mendekat ke arah mereka. Mungkin ini anak tertua ibu Sri. "Mbak. Ini Satrio anak saya yang paling tua. Kalau yang bungsu itu namanya Jaka," ucap Bu Sri memperkenalkan kedua anak lanangnya kepada Diana. "Anak ibu ada berapa memangnya?" tanya Diana basa-basi. "Empat mbak, dua anak saya yang lain perempuan sudah menikah semua. Tinggal yang sulung sama yang bungsu yang belum," sahut Bu Sri apa adanya. "Ya sudah, mas Satrio dan adek Jaka nanti ikuti saya dari belakang ya, saya bawa motor soale," ucap Diana langsung mengajak kedua putra bu Sri untuk segera mengambil barang-barangnya mumpung masih pagi sehingga tidak terlalu panas.. "Baik mbak. Jangan khawatir," sahut Satrio dengan senyum manisnya. Diana ikut tersenyum. *** "Sudah semua ya mbak?" tanya Satrio ke arah Diana yang sibuk mengatur beberapa barang di pojok rumah sewaan ibunya. "Iya, mas. makasih banyak ya sudah dibantu. Ini uangnya," sahut Diana menghampiri Satrio dan juga Jaka. Diana memberikan uang ratusan sebanyak delapan lembar. "Lo mbak, ini kebanyakan. Kan biayanya cuma lima ratus," sahut Strio tak mengerti kenapa uangnya lebih. "Nggak papa mas. Hitung-hitung ucapan terima kasih saya karena sudah banyak dibantu hari ini. Tolong jangan ditolak, Rejeki itu namanya," sahut Diana penuh kesungguhan. "Baik mbak. Makasih banyak ya. Semoga betah tinggal di sini. Kalau butuh apa-apa bisa ke rumah. Kami permisi dulu ya mbak. Atau mbak masih butuh sesuatu mungkin?" tanya Satrio lagi. "Oh, nggak usah mas. Sementara ini sudah cukup. Makasih banyak ya," sahut Diana penuh rasa terima kasih kepada kedua anak dari Bu Sri tersebut. Sepeninggal kedua anak bu Sri, Diana meneruskan menata beberapa barang dagangannya di lemari yang dia bawa dari kosan lamanya. Itu memang lemari kaca yang biasa dia pakai untuk menyimpan barang dagangannya. Setelah semua sudah rapi, dia mulai mengemasi pesanan pelanggan yang kemarin belum bisa dia paking. Diana berencana memasang wifi di kosannya karena sinyal di sini tidak terlalu bagus. Padahal dia butuh jaringan internet yang cepat karena itu berhubungan dengan pesanan. Kalau dia lambat membalas pertanyaan konsumen sudah bisa dipastikan konsumen akan kecewa. Begitu juga dia butuh memposting barang dagangannya di media sosial miliknya. Diana mengecek ponselnya barangkali ada pesan dari suaminya ternyata tidak satupun suaminya berkirim pesan. Diana menghela napas panjang. Sejak kedatangan ibu mertuanya kemarin sikap suaminya berubah kepadanya. Apapun yang Diana katakan selalu saja salah di mata sang suami. Entah apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya itu hingga suaminya jadi berubah kepadanya. *** "Yu. Gimana? Jadi pindah ke rumah ibu kan?" tanya Bu Lastri, ibu mertua Diana. "Jadi bu, Nanti sepulang Bayu dari kerja sekalian Bayu bawa mobil sewaan untuk angkut-angkut barang," sahut Bayu dari seberang sana karena Bu Lastri megnhubungi putranya melalui ponsel milik Mawar kakak tertua Bayu. "Nah gitu dari dulu kan enak Yu. Kamu nggak perlu pusing bayar uang sewa kontrakan tiap tahunnya. Kamu kasihkan uang gajian kamu ke ibu saja Yu. Istri kamu kan sudah punya duit sendiri. Biar dia penuhi kebutuhannya sendiri. Kalau perlu suruh dia bantu-bantu bayar kebutuhan keluarga," ucap bu Lastri lembut. Bayu yang mendengarnya meresapi setiap ucapan ibunya dengan baik. Lagi-lagi dia pikir ucapan ibunya benar juga. "La wong istri mandul kayak gitu siapa yang mau kalau bukan kamu. Oh ya, gimana dengan Rindang?" tanya Bu Lastri lagi. Mendengar nama yang baru saja disebut oleh ibunya mendadak Bayu termangu. Dua hari yang lalu, ibunya Bayu memperkenalkannya dengan gadis muda yang sedikit mencuri hati Bayu. Apalagi ibunya menawari gadis muda itu sebagai istri keduanya. Ibunya beralasan karena Diana yang tidak kunjung hamil juga padahal mereka sudah menikah hampir tujuh tahun usia pernikahan mereka. "Kalau Rindang ibu yakin tak lama dia akan hamil. Nggak kayak Diana," ucap Bu Lastri lagi lebih meyakinkan Bayu yang kini masih galau. "Apa sih yang kamu pikirkan. Kamu mau Rindang direbut lelaki lain?" tanya Bu Lastri lagi. "Bayu mau kenal RIndang dulu bu," sahut Bayu akhirnya. "Ya sudah besok kamu datang saja ke rumah mereka," sahut ibunya Bayu dengan antusias. "Iya bu, Bayu mau kenal dulu. Kalau menikah tunggu aku bicara dengan Diana dulu ya buk," sahut Bayu lagi. Saat pertama kali dia diperkenalkan dengan Rindang saja, Bayu sudah merasa bersalah kepada istrinya. Apalagi kalau menikah dengan Rindang tanpa sepengetahuan Diana. Setidaknya, Diana harus setuju dengan pernikahan keduanya. "Halah, dalam agama kita kan laki-laki itu boleh kok menikah lebih dari satu. Pahala tuh buat Diana kalau setuju," ucap Bu Lastri acuh. Lagi, Bayu meresapi ucapan sang ibu dan menemukan kebenaran dari sana. "Ibu benar," sahut Bayu dengan senyum di wajahnya, "jadi Bayu nggak salah ya bu kalau menikahi Rindang?" "Ya nggak lah. Salah sendiri kalau dia tidak hamil juga," sahut bu Lastri tak peduli dengan reaksi menantunya kalau tahu suaminya menyiapkan madu untuknya. "Ya sudah bilang sama keluarga Rindang kalau saya akan datang besok untuk melamar Rindang," sahut Bayu dengan antusias. Tak ada lagi keraguan setelah mendengar ucapan ibu kandungnya yang mendukung hubungannya dengan Rindang. >>BERSAMBUNG>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN