BAB 5. NAFKAH SUAMI

1290 Kata
"Iya mas, aku paham kok," sahut Diana setuju. Dia membiarkan suaminya terlelap dalam mimpi. Sedang dia mulai mengepaki barang dagangannya biar gampang membawanya kalau sudah di pisah mana yang akan dibawa ke kamar kosnya dan mana yang akan dibawa ke rumah ibu mertuanya. Setelah semua barang sudah rapi dia paking kini dia bisa mengistirahatkan tubuhnya, karena lelah tak lama dia juga ikut terlelap di samping suaminya. ** "Dek ini sisa uang gaji mas," ucap Bayu mengangsurkan uang pecahan seratus ribu rupiah sebanyak lima lembar. Pagi itu setelah sarapan Bayu menyerahkan sisa uang gajiannya kepada sang istri. Biasanya Bayu akan memberikan semua gajinya kepada Diana. kalau ibunya minta, baru Bayu meminta kepada Diana. Diana mengernyit bingung. Gaji suaminya empat juta rupiah. Semalam suaminya bilang kalau separuh gajinya diminta sang ibu mertua. Itu artinya gaji suaminya tersisa dua juta rupiah. Lantas kenapa yang diberikan padanya hanya lima lembar ratusan saja? Dia tak mempermasalahkan kalau suaminya mau membantu renovasi dapur seperti kata Bayu semalam, Tapi kenapa Bayu malah memberi sisa uang gajiannya. Kemana perginya uang gaji suaminya? "Kok cuma segini, mas?" tanya Diana tak mengerti. Dia tak kunjung menerima uluran uang yang diberikan suaminya. Bukannya tidak bersyukur atas rejeki yang diberi Tuhan kepada keluarga mereka. Tapi Diana mau suaminya jujur kemana saja larinya uang gaji yang terhitung empat juta rupiah tersebut. "Kamu itu dek nggak pernah bersyukur. Masih mending aku masih kasih kamu uang belanja. Kamu sendiri kan punya uang hasil jualan online kamu. Berkah dek kalau mau membantu suami," sahut Bayu. Diana terkejut mendengarnya. Baru kali ini suaminya mulai menyinggung uang penghasilannya. Dapat ide dari mana suaminya itu hingga berani menegurnya? Apa ibu mertua mulai meracuni otak suaminya yang selama ini begitu menghargainya sebagai istri? Belum pindah saja, suaminya sudah mulai berubah. Apalagi kalau mereka sudah pindah ke rumah ibu mertuanya. Suaminya kan semakin mudah diatur oleh keluarganya. Tidak! Diana harus tegas. "Mas. Aku tanya, tujuan kamu menikah dengan aku apa?" tanya Dian mencoba membuka mata suaminya tentang tujuannya dulu melamarnya dan menjadikannya istri. "Tentu saja untuk membahagiakan kamu," sahutnya tegas tanpa ad keraguan di sana. Hal itu;ah yang dulu selalu Bayu dengungkan saat melamarnya. "Kamu pikir kamu sudah membahagiakan aku?" tanya Diana menantang. "Tentu saja, dek. Apapun yang kamu minta pasti mas kabulkan," sahut Bayu dengan yakin. "Oh ya? Lalu kenapa kamu enggan memberi uang belanja padaku mas? Apa karena kamu pikir aku mempunyai penghasilan sendiri lalu kamu abai dengan kewajiban kamu?" tanya Diana berusaha menahan intonasi suaranya tetap terdengar lembut, meski amarah sudah menguasai hatinya. "Ingat mas, kewajiban suami adalah menafkahi istri dengan sepantasnya. Bukan malah kamu minta dicukupi sama istri," ucap Diana lagi. "Kamu ini susah ya dek dibilangi. Benar kata ibu, aku terlalu manjain kamu. Terserah dek. Pokoknya aku kasih kamu jatah uang segitu untuk kebutuhan kita. Toh nanti kita tinggal di rumah ibu," sahut Bayu dengan wajah merah padam karena amarah. Baru kali ini Bayu pergi ke kantor dengan membawa amarah kepada sang istri. Diana menatap uang yang diletakkan suaminya di meja makan. Dia menghela napas panjang. Rumah tangganya selama ini selalu harmonis tak pernah keduanya beradu argumen hingga salah satunya pergi dengan amarah. Diana kembali menatap lembaran uang se ratusan ribu itu dengan tatapan nanar. "Apa uang segitu cukup untuk kebutuhan kita sebulan, mas," desah Diana tak juga mengambil uang itu. Biar saja nanti suaminya ambil. Dia tinggal meminta uang belanja kalau bahan makanan habis. Jangan harap dia akan menurut kalau suaminya sudah mulai bersikap tidak adil padanya. Uang suami adalah uang istri, sedang uang istri adalah hak milik istri. Kecuali istri ridlo membelanjakan kebutuhan rumah menggunakan uangnya. Kalau saja, suaminya bisa adil antara dirinya dan keluarganya tak mungkin Diana berontak seperti ini. Sepertinya memang benar sikapnya yang mencari kos untuk usahanya. Dia tak mau hasil usahanya diminta sama keluarga suaminya yang matre dan toxic itu. Kalau saja keluarga suaminya bisa menghargainya sebagai istri Bayu tentu saja Diana tidak keberatan memberikan hasil usahanya. Akan tetapi, mengingat bagaimana tingkah dan sikap keluarga suaminya itu kepadanya sungguh, Diana tak rela memberikan hasil kerja kerasnya untuk mereka. Terdengar suara mesin motor suaminya digeber dengan keras tanda kalau suaminya menyuarakan protes padanya. Diana menepuk dadanya yang mendadak nyeri. Tak peduli dengan sikap suaminya yang mendadak kekanakan. Diana lantas sengaja ingin melihat kos yang dibilang oleh temannya itu. Lebih baik, merancang sendiri masa depannya. Dia tak mau tergantung pada suaminya yang mulai berubah. Diana tak tahu masa depan seperti apa yang akan dia lalui, tapi menata masa depannya sendiri adalah tanggung jawabnya. Diana mulai melajukan sepeda motornya ke alamat yang temannya kasih. Tak jauh sebenarnya dari kosannya. Dia sendiri sering melewati rumah itu. Makanya tak sulit baginya untuk mengetahui letaknya. Tak lama dia sudah berdiri di depan pintu pemilik kosan. "Nyari siapa mbak?" tanya seorang ibu paruh baya dengan ramah. "Saya nyari kosan satu pintu ada bu?"tanya Diana sopan. "Oh ada, kebetulan yang nyewa baru kemarin pindah. Mau lihat?" tanyanya lagi. Diana langsung mengangguk setuju. "Mau bu," sahut Diana dengan semangat. Senyumnya mengembang. Dia mau hari ini juga semua barang pribadi dan jualannya sudah masuk ke kosan barunya. Dia tak mau kalau keluarga suaminya ikut campur akan barang yang sudah dia beli menggunakan uang pribadinya. Tak masalah kalau barang itu dibeli menggunakan uang suaminya. Tadi pagi saat mendengar ucapan suaminya, Diana sadar apa yang kini menungunya di depan mata. "Saya bu Sri, pemilik kosan itu. Saya punya beberapa kamar didalam rumah itu, Biasanya untuk anak mahasiswi. Kalau untuk keluarga atau pekerja biasanya minta satu pintu seperti mbak nya," ucap bu Sri mulai menjelaskan kondisi di kosan miliknya. "Iya bu, saya Diana. Sebenarnya saya butuh tempat untuk usaha online saya. Saya sendiri tinggal dengan mertua. Nggak enak kalau naruk barang usaha saya di rumah mertua. Takutnya malah ngeganggu," ucap Diana menjelaskan masalah yang dia alami tanpa menjelaskan secara detail. Bu Sri mengangguk mengerti. "Iya mbak, berarti mbak Diana nggak nginep di sini ya?" "Mungkin sesekali saya nginep kalau diperlukan. Tapi mungkin nggak sering," sahut Diana sembari masuk ke dalam satu pintu yang sengaja dibuka lebar oleh bu Sri. "Ini ruangan nya los ya bu," ucap Diana melihat isi dalam kosannya. "Iya, mbak, ada kamar mandinya juga. Ini bekas dapur mini. Kalau mbak perlu buat makanan atau minuman bisa di sini," sahut bu Sri menjelaskan. "Iya, bu. Meskipun saya tidak menginap. Pasti setengah hari saya habiskan di sini jadi saya pasti butuh dapur juga," ucap Diana memindai keseluruhan ruangan. Dia puas dengan isi dalam ruangan yang bersih dan terawat. Apalagi cat dindingnya juga sepertinya baru dicat ulang. "Saya mau kontrak bu. Bulanan atau tahunan kontraknya?" tanya Diana mulai membicarakan masalah detail biaya yang harus dia keluarkan. "Setahun sekali atau bisa langsung dua tahun mbak. Setahun nya sejuta saja," sahut bu Sri membuat Diana menatap tak percaya. Dia pikir setahun nya paling tidak dua atau tiga juta seperti kontrakannya. Karena secara besar ruangan juga sama dengan kontrakannya. Dia tak menyangka ternyata di sini lebih murah dari kontrakannya. Mungkin karena bangunan di kontrakannya terbilang masih baru. Beda dengan kosannya ini yang sepertinya bangunan lama. Tapi tak masalah asal bersih. "Kalau begitu saya bayar sekalian dua tahun bu,"sahut Diana antusias. Lantas keduanya membicarakan lebih detail tentang kosan yang kini resmi disewa oleh Diana. "Bisa saya tempati hari ini ya bu?" tanya Diana setelah proses sewa selesai. "Boleh mbak. Kan mbak sudah bayar," sahut bu Sri mempersilahkan, "ini kuncinya, listriknya pake token ya mbak. Nomer id nya tempat meteran mbak. di tulis disitu supaya saya tidak lupa." Diana mengecek dan langsung mengisi token dengan aplikasi miliknya. "Terima kasih banyak ya bu. Saya permisi dulu mau sewa mobil buat pindahan," sahut Diana sopan. "Kalau mbak nggak keberatan. pakai jasa anak saya saja mbak. Dia punya mobil pick up," tawar bu Sri. "Wah kebetulan kalau begitu bu. Bisa langsung ke kosan saya saja kalau begitu," sahut Diana senang. >>BERSAMBUNG>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN