09 | Dilabrak Pacar Posesif

2102 Kata
"Aku belum pernah makan seblak." "Oh ya? Masa? Memangnya di Surabaya nggak ada datang seblak? Seblak itu enak tahu, rasanya unik. Apalagi kalau pakai ceker, kuahnya kental, warnanya merah, terus pedas banget. Beuh habis makan kayak separuh beban hidup terangkat, tapi ya gitu pas pedasnya habis ya bebannya kerasa berat lagi. Pokoknya yang gue cari kalau PMS atau lagi mode pengen makan orang ya Seblak ini. Ya namanya juga hidup lah ya, Yo. Tapi gue nggak heran juga kalau di jakarta lo belum pernah makan Seblak, eh nggak akan pernah sih, gue yakin. Icha mana mau makan makanan benyek mirip yang banyak kata orang sirik dibilang mirip pakan bebek lah, makanan menentang hukum alam karena krupuk masa direbus bukan digoreng. Icha itu makannya mesti dari restoran, yang tukang masaknya kudu pakai Hazmat saking biar higenisnya, terus alat-alat masaknya cuma sekali pakai abis itu buang. Kalau gue kan enggak, apa aja gue makan asal enak. Seru lah, diajak makan pinggir jalan yang piring mangkoknya dicucui di satu ember, ayok. Diajak makan di restoran yang kalau masui nggak noleh pakai sandal jepit juga dijamin nggak malu-maluin. Makanya lo jadian sama gue aja, diakin hidup lo bakal lebih berwarna."  Itu jawaban Mika, dalam hati.  "Hm, Iya." Jawaban yang disuarakan Mika lewat mulutnya.  Untungnya sejauh ini otak Mika masih mampu berkompromi untuk tidak membuat Mika mempermalukan diri. Sehati tadi Mika duduk dengan dagu terangkat, dan menggorek mangkok Seblak seolah-olah makanan tersebut memang mirip pakan Bebek. Beberapa kali Leo mencoba membangun obrolan, tapi Mika menanggapinya dengan dingin, sesuai rencana. Biar tahu rasa, biar Marco belajar betapa susah dan menyebalkannya ingin menulai obrolan kalau lawan ngobrolnya tidak kelihatan berminat.  Akhirnya Leo menghela napas dan sepertinya ingin berhenti berbasa-basi. "Mika, kamu marah sama aku?"  "Enggak, tuh," balas Mika cuek, tak mau menjawab dengan 'marah kenapa'. Meski kesannya sama-sama cuek juga, tapi tidak ingin terlihat peduli dengan mengapa Leo berpikiran demikian. Ternyata enak juga berlagak dingin-dingin menyebalkan begini, Mika mendadak merasa keren lantaran ada orang yang berusaha keras ingin mengobrol dengannya. "Yang gara-gara kaki kamu keseleo karena ngambilin sepatuku."  "Oh, bukan salah kamu, lagi. Itu salahnya Marco."  "Jo—maksudku Marco, iya dia memang salah karena ngerjain aku. Tapi kan kamu ngambilin sepatu itu buat aku. "  "Ya udah, sih. Kan inisiatif bodoh gue sendiri, bukan elo yang minta." "Aku sengaja nggak ambil karena nggak mau jadi bagian permainan mereka," jelas Leo tanpa Mika tanya. "Di sekolahku yang lama, aku juga pernah digangguin anak-anak kayak Marco karena aku nggak suka ikut main-main. Lama-lama mereka bosan gangguin aku karena mereka bilang aku nggak seru, iya mereka cari hiburannya dari melihat orang lain kesulutan. Jadi aku pikir aku aku juga akan melakukan sama, kalau aku nggak menunjukkan ketakutan, mereka nggak terhibur. Buktinya mereka sekarang berhenti gangguin aku." "Wow," gumam Mika tanpa sadar.  "Wow kenapa?" "Itu kalimat terpanjang sejak kita kenal, dari kecil sampai ketemu gede kayak sekarang."  Leo tersenyum simpul dan sedikit menunduk, sebelum kemudian menatap Mika yang seketika itu memberi efek 'nyes' di hati Mika. "Lo juga senyum." Alih-alih pudar, senyum Leo justru kian melebar. Ya Bunda, tolong, Mika tidak kuat dengan senyum Leo. Kalau sudah begini, Mika tidak yakin apakah bisa istiqomah di jalan kecuekan.  "Maaf ya, Mik, aku nggak bersikap baik kemarin-kemarin. Gue nggak mau beralasan, cuma ... waktu itu suasana hati aku memang nggak baik. Aku nggak ingin pindah ke Jakarta apalagi sekolah di sekolah ini."  "Karena ada gue?" "Bukan," tepis Leo cepat. "Aku bahkan nggak tahu kamu sekolah di sini juga. Beneran, saat lihat kamu aku sangat kaget."  "Kaget doang, Yo? Kalau gue kaget, senang dan merasa takdir keren banget karena mempertemukan kita lagi." Lihat, kontrol Mika ambyar. Ah sudah lah, memang berpura-pura itu susah. Mika bukan orang yang bisa menyembunyikan isi hati. "Ah, lupakan karena cuma gue yang senang. Tapi gue penasaran, kenapa lo nggak sekolah di sekolahnya Icha aja? Secara Icha kan sekolah di International School cabang langsung dari negeri Queen Elizabeth sana."  "Aku nggak tahu, semua Mama yang urus."  "Ya masa lo nggak bilang mau satu sekolah sama cewek lo aja, kan bisa lebih gampang."  "Mama pikir di sini gampang juga karena keluargaku juga salah satu siswa di sini."  "Oh ya? Siapa? " tanya Mika penasaran. "Kelas berapa?" Namun, Leo seperti enggan menjawab dan malah mengalihkan ke topik awal. Seolah-olah tujuannya mengajak Mika makan Seblak memang bukan untuk menjalin pertemanan, melainkan murni meminta maaf.  "Ada. Kakimu sudah nggak apa-apa, kan?" Mika mencebikkan bibir sambil memutar bola mata malas, lalu menusuk satu potongan sosis lalu melahapnya sebagai pelampiasan rasa sebal. "Cerita dong, Yo, sudah berapa lama lo jadian sama Icha." Katakanlah Mika terlalu penasaran dengan kehidupan Leo karena itu memang benar.  "Baru setahunan." "Kalau ceweknya kayak Icha, setahunan itu bukan baru, Yo. Luar biasa lo bisa tahan sama cewek kayak dia," cibir Mika, tidak peduli itu akan membuatnya terlihat buruk di mata Leo. "Terus terus, nggak ada rencana buat putus?" Leo tampak terkejut dengan pertanyaan Mika, tapi kemudian maklum karena yang bicara itu Mikayla Dinta. "Hmm... Mungkin belum dalam waktu dekat," balas Leo, kali ini terdengar lebih santai. Mika manggut-manggut. "Oh... Berati rencana udah ada." "Bukan begitu," Sahut Leo, tersenyum geli.  "Terus gimana, dong? Lo nggak beneran cinta Sama Icha, kan? Karena setahu gue, kalau lo cinta, lo akan menutup segala kemungkinan selain bersama selamanya." Leo menghela napas lemah. "Icha orang yang baik."  "Ck, dia pasti bukan satu-satunya orang baik yang lo kenal, tapi kenapa cuma dia yang lo jadikan pacar?" desak Mika. Gadis itu mencium sesuatu yang agak fishy dari mimik wajah Leo tiap kali Mika menyinggung nama Icha, dan tentunya juga dari jawaban-jawaban yang ambigu. Tidak seperti teman-teman cowok Mika lain yang sedang jatuh cinta.  Dan, diamnya Leo sekarang malah membuat bau amis itu kian menyengat. "Oke, sok privat banget sih, kayak Nicholas Saputra," cibir Mika dengan ekspresi dibuat-buat berlebihan agar Leo tidak mengambil hati cibirannya itu. "Ya udah kalau nggak mau cerita, gue nggak penassran juga. "Jadi, berhubung lo sudah menunjukkan rasa enggak enak hati lo itu, apa artinya urusan sudah selesai?" ujar Mika lagi, merasa tidak ada yang bisa mereka bicarakan lagi sebab Leo sangat menutup diri. "Apa besok kita akan jadi orang asing lagi?"  Leo terdiam sesaat. "Aku nggak pernah menganggap kamu orang asing." "Tapi sikapmu ke aku kayak orang nggak kenal."  "Aku ya begini ini orangnya, Mik."  Mika menggelengkan kepala lemah. "Kadang aku merasa kamu berusaha menghindari aku, Yo."  "Lalu kamu ingin Leo bersikap kayak gimana? Meluk kamu di depan banyak orang? "  Kedua muda-mudi itu tersentak dan menoleh ke arah sumber suara yang tahu-tahu nimbrung obrolan mereka. Berjarak sekitar dua meter dari meja mereka, Icha berdiri dengan kedua tangan terlipat di d**a. Sejak kapan dia ada di sana. Icha menatap Mika tak suka, sambil melangkahkan kakinya mendekat.  "Cha, kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Leo, sekaligus mematahkan kecurigaan Mika bahwa Leo lah yang memberi tahu Icha bahwa mereka sedang bersama.  Tatapan Icha beralih pada Leo. "Yang seharusnya tanya kenapa itu aku, aku yang harus tanya kenapa kamu bisa sama Mika tanpa bilang aku?"  Mika memutar bola mata malas dengan terang-terangan, sengaja biar Icha melihat dan tahu betapa menyebalkan sikap posesifnya itu. "Ya elah ini cuma makan seblak depan sekolah, lo pasti akan syok berdiri kalau tahu di kelas, gue dan Leo duduknya sebangku." "Kamu sekelas juga sama dia?" Mika tersenyum miring. "Dan sebangku." "Leo!" "Mika," tegur Leo, bersamaan dengan Icha menghentakkan kaki merajuk. Sementara Mika hanya tersenyum miring dan menggeleng tak habis pikir dengan keposesifan Icha. Kalau Leo ini adalah Jaehyun, Mika bisa memaklumi sikapnya, tapi demi Tuhan Icha begini cuma demi Leo.  "Cha, kita ngobrol di tempat lain. Nggak enak dilihat banyak orang," ujar Marco, lalu menatap Mika lagi. "Mik, aku pergi duluan."  "Oke, Leo, kita ngobrol lagi besok yaa." Mika dadah-dadah melepas kepergian Leo dan Icha, Mika puas sekali mendapat lirikan membunuh dari Icha. Astaga benar-benar! Kalau jatuh cinta akan membuat seseorang menjadi seperti Icha, Mika sebaiknya tidak usah jatuh cinta saja.  Mika lalu menghubungi Pak Mulyo, minta dijemput. Selagi menunggu Pak Mulyo, Mika makan sendirian seblaknya dengan seblak Leo yang masih memenuhi mangkok. Siapapun yang melihat adegan tadi pasti mengira bahwa itu adalah scene perselingkuhan, dimana Leo dan Mika dilabrak oleh Icha. Dan sekarang si Pelakor, alias Mika, ditinggalkan karena si cowok lebih memilih pacar sahnya.  Kelihatan ngenes, sih. Tapi tidak apa-apa. Seblaknya enak.  ***  Keesokan harinya, ternyata Leo tidak berikap seasing yang sempat Mika kira. Saat Mika ngetes menyapa, Leo masih membalas lumayan hangat sampai-sampai Aninda yang semula menolek diceritakan kejadian di kedai Seblak lantaran yakin Mika tidak mungkin bisa cuek, malah jadi penasaran. Bahkan Aninda sempat 'masa sih-masa sih' saat Mika cerita bagian yang ada Icha-nya. Bukan hanya Mika yang berpikir Icha terlalu posesif, tapi Aninda juga mengajak Mika berpikir positif, pasti ada alasan mengapa sikap Icha demikian. Mungkin saja saat itu Leo dan Icha sedang ada masalah makanya Icha langsung marah dan salah paham melihat Leo malah berduaan dengan cewek lain, lebih-lebih cewek itu adalah Mika.  Mika sejujurnya tidak ambil pusing, malah ia sangat senang melihat Icha marah-marah karena cemburu, merasa insecure dengan keberadaan Mika. Setelah sekian lama, Mika akhirnya marasakan perasaan senang merasa menang dari Icha. Setidaknya, Mika bertemu Leo lebih sering daripada Icha.  Keesokan harinya lagi, Mika bersemangat saat turun dari mobil dan langsung melihat punggung Leo di antara punggung-punggung murid lain yang memasuki gerbang utama sekolah. Mika akan mencoba menguji sikap Leo lagi hari ini.  "Pagi, Leo," sapa Mika saat menyusul langkah Leo, jalan menuju kelas bersama. "Belum putus sama Icha?" Leo melirik Mika yang menyengir lebar atas candaannya barusan. "Belum."  "Dia nggak ngatain gue macam-macam, misalkan ngira gue yang ngajak lo makan Seblak, kan? Eh sebenarnya gue sih yang ngajak ya, tapi kan gue udah lupa terus lo yang ajak lagi." Leo melirik Mika lagi, kali ini sambil tersenyum tipis. "Enggak, dia ngerti setelah aku jelasin." "Oh, syukurlah," gumam Mika dalam hati memuji ketabahan hati Leo. Mereka lalu melanjutkan langkah beriringan menuju kelas dan Leo juga tidak terlihat enggan jalan bersama Mika. "Aku kemarin belum sempat banyak, kapan-kapan mau coba lagi," ujar Leo tiba-tiba.  "Makan Seblak?" Leo menganggukkan kepala.  Mika bedehem. "Sama gue?" "Boleh, kalau kamu mau." Mika mengedejapkan mata, takut telinganya salah dengar. Ada apa dengan Leo, kenapa dia tak langi berusaha menghindari Mika. Namun Mika kemudian tersadar, mengingatkan diri untuk tidak berpikir yang bukan-bukan. Leo mungkin ingin menjalin pertemanan dengan semua orang. "Ah enggak ah, kalau ketahuan cewek lo lagi, serem." Kali ini Leo hanya tertawa meningkahi Mika hingga mereka tiba di kelas dan menuju bangku masing-masing.  "Marco nggak masuk lagi?" tanya Darren seaaat setelah bel masuk berbunyi dan mendapati bangku Marco tetap kosong seperti dua hari kemarin. "Ada yang tahu kenapa Marco nggak masuk lagi?"  Vino dan Ryan menggeleng tidak tahu, mereka mengaku belum pesan dan telepon mereka tidak belum dijawab Leo. Hal itu membuat Darren mempertanyakan teman macam apa Vino dan Ryan dan ujung-ujungnya membuat kedua teman Marco tersebut emosi.  Mika menghela napas. "Marco ke mana, ya?" gumamnya pada Aninda. Terakhir kali Mika melihat Marco adalah empat hari lalu, saat Marco manggung di kafe Om Dimas. Saat itu Marco terlihat sehat-sehat saja, Mika jadi berpikir apakah Marco kecelakaan atau semacamnya hingga mendadak menghilang tanpa kabar. "Ngapain penasaran sama Marco? Mau putus sekolah kali."  "Nggak mungkin lah, Nin." Sejujurnya, Mika juga tidak yakin sebab kalaupun Marco putus sekolah itu tidak mengherankan. Sebab Marco saja tidak pernah menunjukkan niat dan tujuan sekolah itu untuk apa. Semoga kalaupun Marco tidak melanjutkan sekolah, Marco tidak salah jalan atau jadi salah pergaulan. Dengan bakat musik yang dimilikinya, Mika yakin Marco bisa menjadi orang hebat. Sayang saja jika kemampuan itu tidak dikembangkan dengan benar.  "Mungkin aja," balas Aninda. "Eh, gue dengar-dengar, bakal ada murid baru lagi." Beri tahu Aninda.  "Lo dengar dari siapa?" "Dari Bu Cempaka, udah dari beberapa hari lalu pas gue ngumpulin tugas kita yang telat kumpul gara-gara lo mau nyonyek itu. Nah Bu Cempaka bilang lagi sibuk periksa berkas anak baru. Lo pasti kaget kalau tahu dia pindahan dari sekolah mana." "Dari mana?" "British school," jawab Aninda disertai geraman heboh. "Gila itu orangtuanya bangkrut apa gimana ya sampai anaknya dipindahin ke sekolah swasta biasa. Nah mana ditaruh ke kelas ini pula, gila nggak? Darren sama Leo aja bikin gue pusing, ini saingan gue jadi nambah lagi." Tunggu dulu, Mika tiba-tiba kepikiran sesuatu. Siswa baru? British School? Tolong jangan bilang kalau dia ...  Tanda tanya besar di atas kepala Mika langsung terjawab saat Bu Cempaka dan Pak Bara masuk ke kelas, di belakang mereka ada seorang gadis kurus dan sangat cantik hingga seisi kelas langsung ribut saling berbisik dengan orang di sebelah masing-masing. "Mik, Mika." Pandangan Mika masih terpaku ke depan saat Aninda memukul-mukul lengannya pelan. "Kok dia mirip sama—" "Bukan mirip, tapi memang dia."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN