“Kenal?”
Mika menggangguki kuat pertanyaan omnya itu sambil menunjuk-nunjuk Marco dengan tatapan tak percaya. “Kenal lah, Om. Dia teman sekelas aku, anak anak yang bikin kaki aku keseleo.”
“Oh ya?” Dimas melirik pada Marco sekilas, cowok itu tengah menyetel gitarnya, bersiap untuk memulai permainan musiknya. “Kamu kayaknya kaget banget, memangnya nggak tahu kalau dia penyanyi?”
“Om yakin dia penyanyi?” Malah Mika meragukan omnya. Mika tak pernah membayangkan Marco bisa bernyanyi. Dalam bayangannya, Marco hanya bisa menjahili orang lain. "Serius dia penyanyi, Om?"
Dimas tertawa geli. “Pas pertama ketemu, Om langsung tahu kalau dia jago nyanyi. Apa yang bikin kamu nggak yakin?”
“Jago?” pekik Mika, agak tak terima omnya memakai kata tersebut untuk Marco. “Om, dia itu nggak punya kejagoan apa-apa selain bikin semua orang sebal karena sok keren dan bikin ulah melulu. Pengen kelihatan berkuasa makanya suka ganggin anak-anak pendiam.”
“Masa, sih?”
“Ih, iya, Ommm.”
“Hmm ….,” Dimas bergumam sambil mengelus dagu, tampak berusaha menamakan penilaiannya dengan pernyataan Mika. “Ah tapi enggak ah, dia anaknya menyenangkan nggak sok keren kayak yang kamu bilang. Ramah dan baik juga ke semua orang. Tanya aja yang lain kalau nggak percaya.”
Mika mencebikkan bibir sebal lantaran Dimas ternyata semudah itu tertipu. “Emang Om udah kenal si Marco berapa lama?”
“Dia baru mulai main dua bulan ini, biasanya Kamis sama Jumat tapi hari ini dia Om minta buat bantuin Aries yang lagi nggak enak badan,” jawab Dimas. Pantas saja Mika baru tahu, ia biasanya ke sini antara hari Sabtu dan minggu saja.
“Nah, aku kenal dia hampir dua tahun. Ya sekelasnya memang baru pas kelas 11 aja, sih. Tapi tetap aja artinya aku lebih kenal dia dibanding Om karena aku ketemu dia lima hari dalam seminggu dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore,” jelas Mika menggebu-gebu.
Tangan Mika kemudian menggapai gelas minuman, dan meminun isinya banyak-banyak. Pandangannya lurus hanya tertuju pada Marco. Tampak Marco mengedarkan pandang, memastikan bahwa para pendengar siap juga. Ketika matanya bertemu dengan Mika, cowok itu tidak terkejut seperti halnya saat Mika melihatnya pertama kali tadi.
Baiklah, Mika penasaran seberapa ‘jago’ Marco bernyanyi. Tanpa sadar Mika menahan napas pada petikan gitar pertama Marco. Mika berlagak seperti menjadi juri kompetisi menyanyi yang kerjaannya cari-cari kealahan kontestan.
Tunggu, ini nggak benar. Permainan gitar Marco mulus-mulus saja dan enak didengar. Gitar memang bisa dipelajari, tapi menyanyi beda lagi. Semua orang bisa menyanyi, tapi hanya yang berbakat yang bisa menyanyi dengan bagus.
Give me love like her, ‘cause lately I've been waking up alone,
Paint splattered teardrops on my shirt, golf you I'd let them go
And that I'll fight my corner. Maybe tonight I'll call ya,
After my blood turns into alcohol. No, I just wanna hold ya.
Give a little time to me or burn this out, We'll play hide and seek to turn this around,
All I want is the taste that your love allow …
Petikan gitar Marco bagus, secara mengejutkan warna dia punya warna suara unik yang sangat berbeda saat bicara biasa dengan saat bernyanyi seperti sekarang. Mika sangat suka saat dia menyanyikan nada rendah karena terdengar manis dan di nada agak tinggi ada serak-serak tipis. Mika juga terkejut karena pengucapan pernounciation Marco bagus, padahal seingat Mika setiap pelajaran Bahasa Inggris Marco bukan yang menonjol.
Penampilan Marco nyaris sempurna. Namun Mika akhirnya menemukan satu kesalahan terfatal yang Marco lakukan yaitu penghayatan Marco. Cara Marco memejamkan mata, menghayati sertiap lirik seolah sebelum keluar dari bibir, lirik itu sempat mendekam dalam hati. Seperti bukan sekadar mengolah nada dan kata, melainkan seperti curahan jiwa. Seperti Marco memang sedang ada di posisi itu, sedang kesepian dan putus asa.
Baiklah, sepertinya Mika harus berhenti melelahkan diri dengan mencari-cari kesalahan diantara kesempurnaan penampilan Marco. Jujur, Mika sangat menikmatinya. Mika bahkan merasa kurang lama ketika Marco berterima kasih menutup pertunjukan. Mika jadi malu karena sempat meremehkan Marco, mengatakan Marco tidak bisa main musik dan tidak punya kegiatan jelas. Kenyataannya, Marco bermain gitar dan bernyanyi lebih bagus dari Alvin, vokalis bandnya. Dan Marco bekerja menyanyi di kafe di saat seharusnya dia belajar atau nongkrong-nongkrong saja sampai umurnya legal untuk bekerja. Mika tidak tahu apa-apa tentang Marco.
Mika bergegas bangkit dari duduknya, tanpa peduli Dimas bertanya mau kemana. Mika berlari ke arah Marco pergi.
"Marco." Panggil Mika di lorong kosong yang setahunya merupakan jalan menuju ruang ganti dan ruang istirahat karyawan.
Marco menghentikan langkah, menunggu derap langkah membawa gadis itu ke hadapannya. "Apa ini?"
Marco menaikkan sebelah alis. "Apa? Apa apanya?”
“Lo nggak bilang kalau lo main musik juga,” ucap Mika bersendekap d**a kesal. “Mestinya waktu hari itu gue bilang lo cuma banyak bacot dan nggak punya kerjaan, lo harusnya bilang kalau gue salah. Kalau gini kan gue jatuhnya jadi nuduh orang sembarangan.”
“Astaga, itu juga salah gue?” tanya Marco terperangkap tak percaya.
“Iya lah.”
Marco hanya geleng-geleng kepala seolah tak habis pikir. “Terserah lo aja, deh. Serba salah gue kalau berurusan sama lo.” Marco kemudian berlalu meninggalkan Mika.
Namun, Mika yang belum puas, tentu saja mengejar Marco. “Sejak kapan lo main gitar?” tanyanya penasaran. “Jujur aja penampilan lo lumayan, sampai gue nggak percaya kalau yang nyanyi tadi beneran Marco yang gue kenal. Eh, tapi kenapa lo nyanyi di kafe? Buat salurin bakat aja atau ingin cari tambahan uang?”
Sayangnya Marco tidak merespon satu pun pertanyaan Mika, bahkan melirik saja seolah ogah. Masa yang begini dibilang menyenangkan dan ramah sama semua orang. “Marco?! Halooo? Gue ngomong sama lo.”
“Ck, apa sih, sih, Mika?” Marco tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Kalau orang nyuekin lo, mestinya lo berhenti. Bukan terus dikejar sampai dia ngerespon.”
“Ya-ya lo nggak boleh pergi itu aja dong, urusan kita kan belum selesai.” Mika tergagap, merasa tercubit atas perkataan Marco. Benar, saat Leo tidak menunjukkan antusias bertemu dengannya, harusnya Mika berhenti dan bersikap sama.
“Urusan apa lagi?”
Mika memaksa otaknya berpikir cari-cari alasan. “ini, kaki gue. Karena gue belum sempat balas dendam sama lo. Kalau bukan karena lo, gue nggak bakal pincang selama hampir seminggu."
Marco mengembuskan napas panjang seolah berusaha bersabar meningkahi Mika. “Nggak sadar-sadar juga lo ya. Lo kaki lo terluka karena ulah lo sendiri.”
Mika menepis telunjuk Marco yang menunjuk - nunjuk keningnya. "Jangan kurang ajar nunjuk-nunjuk muka orang ya."
Marco sekali lagi mengembuskan napas panjang.
“Coba setiap hari lo semanis saat lo nyanyi tadi, pasti semua orang akan mencintai lo, tanpa lo minta. Karena cinta itu bakal datangi lo dengan sendirinya,” ujar Mika berlagak acuh tak acuh, padahal ia bersungguh-sungguh berharap Marco mengubah sikapnya di sekolah.
“Apa hidup lo sudah penuh cinta?”
“Ya,” jawab Mika yakin. Tidak semua orang mencintainya, tapi setidaknya ada dan itu cukup bagi Mika untuk merasa dicintai.
Rahang Marco mengatup kuat, tatapannya semakin kelam. "Asal lo tahu, Mik, banyak orang yang bersikap manis tapi tetap nggak dicintai. Pulang aja sana, syukuri aja hidup lo yang bergelimang cinta dan nggak usah mengatur orang harus bersikap gimana karena lo nggak tahu apa-apa selain apa yang lo punya.”
“Eh, gue–“ Mika tidak melanjutkan kalimatnya karena Marco langsung pergi tanpa berniat mendengarkannya. Kali ini Mika tidak mengejar, agak gentar karena Marco terlihat emosional padahal Mika tidak bermaksud apa-apa tapi sepertinya Marco tersinggung.
“Gue salah ngomong apa, ya?” Mika bertanya pada dirinya sendiri, tetapi kemudian ia teringat bahwa Marco memang pemarah. Ya sudah lah, Mika tidak mau ambil pusing. Apapun tujuan Marco menjadi penyanyi kafe dan alasan tidak menunjukkan sisi dirinya yang tadi di keseharian sekolah, Mika tidak semestinya peduli. Mungkin memang alasan tersebut terlalu personal untuk dibagi.
Mika masih memandangi punggung Marco yang kian menjauh, saat dia berpapasan dengan seorang karyawan, karyawan tersebut sangat lebar. Dia jelas tidak akan tersenyum selebar itu jika Marco tidak tersenyum juga.
***
Dengan heboh Mika menceritakan Marco versi keren pada Aninda pada Senin harinya. Aninda bereaksi sangat wajar, dia tidak percaya dan menuduh Mika sedang mengerjainya. Sayangnya Mika Sabtu kemarin tidak sempat mengambil foto ataupun video, makanya Mika langsung saja mengajak Aninda untuk ke kafe Omnya pada jadwal manggung Marco yaitu hari Kamis dan Jumat.
Sayangnya, kebetulan sekali hari ini Marco tidak masuk tanpa berita sehingga guru mencatatnya sebagai bolos. Teman-teman Marco juga mengaku tidak bisa menghubungi Marco. Jujur saja, setelah melihat dua sisi Marco yang berbeda, Mika jadi penasaran sisi yang mana Marco sebenarnya. Atau jangan-jangan malah dia punya kepribadian ganda. Ih, seram.
Suasana kelas tanpa Marco ternyata lebih ramai, Vino dan Ryan berisik sekali bercanda di sela pergantian jam pelajaran sampai-sampai Darren tidak terhitung berapa kali menegur mereka yang tentu saja hanya berakhir dengan ledekan sok rajin dan semacamnya.
Mika sedang makan bersama Aninda dan beberapa temannya saat ponselnya berdenting, sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal masuk. Berhubung penasaran, Mika pun langsung membukanya.
+62 812 XXXX XXXX
Halo, Mika, aku Leo. Aku ambil kontakmu dari grup kelas, maaf chat tanpa izin
Di bawah nomor tersebut masih ada keterangan ‘typing’ yang menandakan Leo belum selesai. Mika mendecakkan lidah malas, lihatlah betapa formal Leo mengirim pesan di saat Mika terbiasa dengan teman-temannya yang memulai pesan dengan ‘P’ atau ‘woy’.
Biarkan aku mentraktir kamu Seblak, aku nggak tahu kamu ternyata ngambil sepatuku yang disembunyiin Marco
Mika berdecih dan menunjukkan chat itu pada Aninda. “Apa coba maksudnya.”
“Biasa kan gitu, giliran cuek baru dicari. Kemarin pas ngejar-ngejar aja kayak dianggap nggak ada,” balas Aninda.
“Iya-in apa enggak?”
“Iman lo udah kuat, nggak? Jangan gara-gara semangkok Seblak doang oleng lagi.”
“Heh, gue nggak semurahan itu juga kali,” cibir Mika sebal. Tangannya lalu dengan cekatan mengetikkan balasan, setelah pesan itu terkirim, Mika meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. “Sudah, gue iya-in. Gue penasaran mau ngapain dia setelah kemarin sombong abis. Entar gue bakal bales sok dingin-dingin nggak peduli, biar dia ngerasain apa yang gue rasain kemarin.”
Aninda tersenyum miring, seolah meragukan tekad Mika.