10 | Diajak Berteman Musuh

2539 Kata
"Hai, Guys. Aku Keisha." "Hai, Keisha," sahut cowok-cowok sambil lambai-lambai caper lihat cewek cantik. Icha terlihat anggun dengan tertawa sok malu-malu sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Hmm ... aku senang sekali bisa di sini dan kenal kalian semua." Saat Mika menoleh pada Leo hanya untuk ingin tahu bagaimana reaksi cowok itu, anehnya Leo sendiri tampak terkejut juga. Padahal Mika kira kepindahan Icha ini sudah direncanakan mereka berdua agar dapat selalu bersama-sama. “Keisha, kamu bisa duduk di sebangku sama Leo. Kamu nggak perlu dikenalin sama dia, kan?” Ucapan Bu Cempaka mengembalikan perhatian Mika ke muka kelas. “Tidak perlu, Bu. Waktu kecil saya dan Leo duduknya juga sebangku.” Mulut Mika menganga, takjub betapa terus terangnya Icha. “Nah iya, ternyata Keisha dan Leo sudah berteman sejak kecil.” “Benar, Bu Cempaka. Sama Mikayla juga.” Mulut Mika menganga makin lebar, semua orang tampak terkejut dan menoleh ke arahnya dan membuat Mika malu sekaligus kesal setengah mati. Mika melemparkan tatapan ‘maksud lo apa hah’ pada Icha, tapi Icha berlagak tidak mengerti. Sungguh Mika tidak ingin dunia mengenal dirinya punya sejarah pertemanan dengan Icha karena di masa sekarang dan masa yang akan datang, Mika tidak ada rencana untuk berteman dengannya. “Beneran, Mik?” tanya Talitha yang duduk tepat di depan bangku Mika. “Kok lo nggak pernah bilang kalau udah kenal sama Leo sebelum dia pindah.” “Iya, Leo juga kayak nggak kenal gitu sama lo.” “Temenannya sudah lama banget, tolong ya, itu pas kami masih TK dan dititipin di daycare yang sama. Gue aja lupa pernah kenal mereka berdua,” jawab Mika jengkel, walau disambut dengan seruan mencibir lantaran dianggap terlalu sombong. Tapi Mika tak peduli, dagunya terangkat percaya diri. “Ah, pantesan. Memang lo sama Keisha beda banget, sih.” “Apa maksud lo?!” Mika spontan menggebrak meja, baru beberapa menit berbagi ruangan dengan Icha, emosi Mika sudah naik saja. Disulut api sedikit, pasti meledak. “Hei, sudah-sudah. Ngobrolnya nanti saja, Keisha silakan ke bangku kamu.” Bu Cempaka menengahi. “Anak-anak semua, Icha sebelumnya sekolah di sekolah internasional yang kurikulum dan sistem belajarnya mengikuti Negara Inggris. Jadi bantu dia menyesuaikan diri ya, dan kalau dia mengalami kesulitan, tolong dibantu.” Pesan Bu Cempaka terakhir sebelum menyerahkan kelas pada Pak Bara untuk memulai pelajaran. Sebelum Bu Cempaka pergi, Darren sempat melaporkan terkait absennya Marco selama tiga hari tanpa kabar. Sebagai wali kelas, Bu Cempaka pun mengatakan akan mengurusnya. Mata Mika begitu saja melirik ke arah bangku Leo di mana Keisha telah duduk manis di sana dan masih jadi pusat perhatian, Pak Bara banyak bertanya-tanya dan Keisha menjawabnya dengan lancar dan terlihat intelektual. “Gue langsung nggak suka sama dia,” bisik Aninda, mewakili isi hati Mika meski dengan alasan berbeda. Jika Aninda tidak suka karena Keisha akan menjadi saingannya dalam menjadi juara kelas, Mika tidak suka karena keberadaan Icha membangkitkan kenangan lama yang telah Mika kubur. Namun, Mika seribu persen yakin, kenangan lama itu tidak akan terulang. Meski semua mata hanya akan tertuju pada Icha, Mika punya Aninda yang sampai kapanpun akan menjadi sahabatnya. *** Hari apa, sih, ini? Kok rasa-rasanya Mika sial sekali. Sudah lah mendadak harus sekelas lagi dengan Icha, Mika masih harus menghadapi masalah baru. “Mik, kok lo diam aja?” “Tahu, ah, sebel,” sahut Mika dengan muka bertekuk tujuh lipat. Alvin, vokalis band Naranada—band sekolah, menghela napas panjang. Selain sebagai vokalis dia juga bertindak sebagai leader. “Jujur, gue juga sangat nungguin festival ini karena ini mungkin bakal jadi festival terakhir gue sama Naranada sebelum ganti personil ke adik kelas, gue nggak mau batal gitu aja padahal kita udah melakukan persiapan segala macam. Kita cuma tinggal latihan sambil nunggu hari-H doang.” “Iya lah, masa semua kerja keras kita mau dibatalin. Pas kaki aku sakit kemarin aja aku masih bela-lain latihan, demi apa? Demi kita semua bisa tampil, eh enak banget sekarang Kak Steven sama Rendy mau mundur gara-gara cewek!” sahut Mika menggebu-gebu. Naranada sedang menghadapi masalah genting karena dua personilnya mendadak mengundurkan diri bersamaan, usut punya usut ternyata mereka berdua habis bertengkar hebat memperebutkan cewek. Keduanya adalah sama-sama gitaris terbaik dan saat ini belum ada bayangan siapa yang akan mengganti kekosongan posisi yang ditinggal mereka itu hingga tercetus ide untuk mengundurkan diri jadi peserta festival band tahunan terbesar se-provinsi. Kini anggota yang tersisa tinggal 3 orang saja, yaitu Mika pada drum, Alvin vokalis dan bisa main gitar juga, serta Nando pada keyboard. Dibandingkan ekskul lain, band memang menjadi yang termasuk sepi peminatnya. Jika pendaftaran ekskul lain dibuka setiap tahun pelajaran baru, siapapun yang ingin masuk ekskul ini bisa gabung kapan saja. “Iya, jangan dong dibatalin lah. Kalau emang nggak mungkin ada tambahan personil ya udah kita aja bertiga, tinggal ubah konsep sama lagunya,” usul Nando. Mika mengangguk-angguk kuat, setuju dengan usul tersebut. “Iya nggak apa-apa deh bertiga aja, ya, Kak, ya.” Alvin menghela napas pajang sekali lagi. “Ya sudah, nanti kita pikirin lagi. Sementara, coba tanya teman-teman kita yang kiranya bisa main gitar apa mereka mau gabung Naranada. Kalau beneran nggak ada, ya mau nggak mau kita bertiga aja.” Rapat darurat itu selesai, Mika berjalan lesu kembali ke kelas mengingat jam istirahat sudah akan selesai. Mika mungkin akan makan di jam istirahat kedua saja nanti sebab tanggung, bisa-bisa makanannya baru siap tapi bel keburu bunyi. Mulut Mika menganga sampai-sampai jatuh ke dagu saat masuk kelas dan melihat hampir semua orang mengerubungi Icha, kecuali Aninda, Darren, dan Leo yang masih anteng di meja masing-masing. Mika melewati gerombolan itu dan jalan ke bangku. “Mereka ngapain, sih?” tanya Mika pada Aninda. “Heboh banget kayak si murid baru itu Jennie aja.” “Kayaknya lo benar, Mik. Si Icha-Icha itu emang asa obsesi jadi pusat perhatian, lihat aja ini,” ujar Aninda menunjukkan sebuah kotak sebesar telapak tangan orang dewasa warna hijau tosca, saat Aninda membuka penutupnya, isinya adalah bulatan-bulatan sempurna kue Macaroon. Kemasannya sangat cantik, cocok sebagai hampers hari besar. Mika jadi engeh kalau kotak ini tersebar di atas bangku-bangku kelas dan ada yang dipegang juga. Seketika Mika langsung menebak dari mana asalnya. “Icha? Aninda mengangguk mengiyakan. “Tadi asistennya, wow dia punya asisten pribadi coba, datang buat nganterin ini. Katanya, buat salam perkenalan. Memangnya dia kaya banget ya? Gila ini sekotak cantik begini harganya berapa, Mik? Dikali 30 orang.” “Terus ngapain itu pada ngumpul di situ?” Mika lebih tertarik dengan itu daripada diajak hitung-hitungan harta orang. Icha jelas anak orang kaya, buktinya mereka bisa tinggal di kompleks perumahan sama yang konon katanya termasuk kawasan elit dan paling mahal di Ibukota. Bahkan mungkin saja lebih kaya dari keluarga Mika, sebab Icha gonta-ganti mobil yang dipakai harian sementara keluarga Mika paling malas mengikuti tren. Setahu Mika dari Sikka yang kadang main ke rumah Icha untuk main piano bersama, kedua orang tua Icha sama-sama bekerja dan sering pulang larut malam. Di rumah sebesar itu Icha tinggal sendirian bersama para pembantunya, maka tidak heran putri raja seperti Icha punya asisten pribadi. “Mereka mau follow-followan i********:, heboh banget mereka pas tahu ternyata followers Icha udah belasan ribu dan dia jago piano. Norak.” Jika mood Mika sedang baik, Mika pasti akan menanggapi kenyinyiran Aninda dengan lebih nyinyir. Sayangnya ia sedang malas, masih kepikiran nasib Naranada. Festival itu bagi Mika bukan hanya sekadar panggung untuk unjuk diri, melainkan pembuktian pada Bundanya yang selalu menganggap keikutsertaan Mika di band sekolah itu tidak penting. Sekaligus agar ekskul ini bisa bertahan sampai tahun ajaran baru tahun depan karena santer terdengar isu kalau jika tidak ada peminatnya, sekolah ingin menghapus ekskul tersebut. Mika memutar pandangannya pada Aninda saat Aninda menyenggol-nyenggol lengannya. Belum sempat Mika bertanya, sebuah suara lain lebih dulu terdengar. “Hai, Mik,” sapa Icha begitu berdiri di sebelah mejanya. Mika menghela napas, baiklah mungkin mood-nya harus dibuat lebih buruk. Melihat senyum lebar dan sikap sok ramah Icha menyapanya lebih dulu saja belum apa-apa sudah membuat Mika kesal. “Ini, cemilan dari aku,” lanjut Icha, mengulurkan kotak yang sama dengan milik Aninda. “Hm, terima kasih.” Mika menyahut kotak tersebut, semata-mata agar urusan cepat beres dan Icha menyingkir dari hadapannya. “Sekarang kita sekelas lagi, semoga kedepannya kita bisa jadi teman ya.” Mika memutar bola mata. “Gue yakin lo ke sini bukan buat berteman sama gue atau siapapun yang ada di kelas ini, tapi demi bisa bareng-bareng sama Leo, kan?” tebak Mika. Jika mengingat kejadian di kedai Seblak tempo hari lalu, Mika bisa lihat Icha ini tipe-tipe posesif mampus. “Nggak salah, kan? Toh dia pacarku,” aku Icha secara tak langsung. “Lagian sekolah ini kayaknya nggak jelek-jelek amat, aku juga ingin punya teman orang biasa kayak kalian.” “Orang biasa, lo bilang?” Mika terperangah, sementara Icha menatap Mika polos seolah-olah tidak tahu di mana letak kesalahan pada ucapannya. Icha mengangkat bahu enteng. “Aku tahu kamu nggak suka sama aku, Mik, tapi gimana? Kita bakal tetap ketemu setiap hari. Jadi akan lebih baik kalau kita menjadi teman.” “Cha,” panggil Leo dari bangkunya. “Iya, Bee,” jawab Icha. “Cie …!” sahut seisi kelas menggoda sahut bersahutan, mendengar panggilan sayang Icha pada Leo. Mika mendengkus muak melihat bagaimana Icha berlagak malu dengan menutup wajah dan menggigit bibir seolah kecepolosa, padahal Mika berani bertaruh Icha memang sengaja ingin seluruh dunia tahu kalau Leo itu pacarnya. “Eh udah dulu ya, Leo manggil. Jangan lupa dimakan, Mika, dan kamu juga Ananda.” “Aninda.” Aninda mesem kecut, membetulkan namanya tapi Icha tidak terlihat benar-benar peduli siapa nama Aninda. *** Mobil jemputan Icha telah menunggu saat Icha dan Leo keluar dari sekolah, Leo langsung masuk ke dalam sementara Icha melambaikan tangan perpisahan pada teman-teman barunya. “Hmm … capeknya,” keluh Icha begitu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan kemudian mobil mulai jalan dengan mulus. “Sekolahmu ternyata nggak terlalu jelek, lumayan lah meskipun makanan di kantin nggak ada yang bisa aku makan. Tapi nggak apa-apa, aku bisa minta Fida buat bawain makan siang setiap hari.” “Nggak ada yang bisa dimakan di kantin, toiletnya jelek, kelasnya jelek, guru-guru nggak pintar, kurikulum jadul,” Leo menyebutkan keluhan-keluhan Icha sepanjang kebersamaan mereka di sekolah tadi. “Cha, sekolah ini nggak cocok buat kamu. Nggak usah memaksakan diri sekolah di sini.” “Tapi di sini ada kamu.” “Nah, itu dia. Pindah sekolah dengan biar selalu bisa bareng sama pacar adalah alasan paling konyol yang pernah aku dengar.” Icha memberenggut berlagak merajuk. “Kamu nggak suka kita bisa bareng-bareng setiap hari? Kamu nggak sayang ya sama aku?” Leo mengembuskan napas pendek dan membuang muka ke arah lain. “Bee,” panggil Icha, menyentuh lengan Leo lembut. “Kamu marah? Aku pikir kamu akan senang bisa satu sekolah sama aku, makanya aku nggak bilang-bilang waktu persiapan pindah. Maaf ya, kan aku dari awal sudah bilang, aku ingin satu sekolah tapi kamu bilang kamu harus sekolah di sekolah punya papa tiri kamu.” “Cha, aku bukannya nggak suka kita jadi satu sekolah, tapi kamu nggak bisa mengesampingkan kepentingan lain demi aku.” “Buat aku, kamu lebih penting dari apapun.” “Ha?” Udara mendesis keluar dari celah bibir Leo yang menganga keheranan. Icha mengangguk-angguk dengan nata berkedip imut, merayu Leo. “Aku ingin selalu bareng sama kamu. Kamu nggak tahu gimana perasaan aku tiap hari cemas mikirin kamu, apalagi pas Mika bilang kalau kalian sekelas dan bahkan duduknya sebangku. Aku nggak bisa bayangin itu, kamu nggak boleh lebih dekat sama dia daripada sama aku.” Di titik ini Leo sungguh tidak bisa berkata apa-apa lagi, mau marah sekalipun tidak akan ada gunanya karena itu hanya akan membuat Icha lebih ‘marah’. Leo menolak mampir ke rumah Icha dan ingin langsung pulang ke rumahnya sendiri dengan alasan capek dan seharian tadi mereka sudah bersama-sama, untungnya Icha tidak membuat drama lain dengan melarang-larangnya. Tiba di rumah, Leo disambut oleh wangi vanila dan roti yang seperti baru keluar dari pemanggang. Leo langsung mengarahkan kakinya menuju dapur yang terletak di lantai satu, di sebelah taman kecil yang ditata apik oleh ahli pertamanan. “Hai, gentengnya Mama, tumben jam segini sudah di rumah. Nggak mampir ke rumahnya Icha dulu?” Mama merentangkan tangan, isyarat agar Leo mendekat sehingga Mama bisa memberinya pelukan selamat tangan. Leo hanya menggelengkan kepala pelan, malas menjawab pertanyaan terakhir Mama. “Bikin apa, Ma?” “Bikin roti tawar aja, sih, buat sarapan-sarapan. Kamu mau Mama bikinin sesuatu?” Sekali lagi Leo menggelengkan kepala. “Ma, sampai kapan aku mesti begini? Mama pasti yang bantu kepindahan Icha ke sekolahku, kan?” Gerak Mama yang tengah mengelap permukaan meja marmer dari tepung-tepung sisa bahan kue sontak terhenti. “Icha pindah ke sekolahmu?” Leo menyipit menyelidik. “Mama nggak tahu?” “Mama nggak tahu,” bantah Mama tampak cukup meyakinkan. “Astaga, Mama beneran nggak nyangka. Kok mamanya Icha nggak bilang apa-apa ya ke Mama?” Leo mengembuskan napas lemah. “Ma, aku nggak bisa melanjutkan ini. Aku juga punya kehidupan sendiri aku juga ingin bebas melakukan apapun yang aku ingin.” “Leo, kan kamu tahu situasinya, Nak.” “Yang Icha butuhin itu bukan aku, Ma, tapi psikiater dan orang tuanya.” Mama meletakkan kainnya dan mengusapkan tangannya ke apron yang dikenakan sebelum menggerakkan tangannya mengelus punggung Leo. “Iya, sabar ya sebentar lagi. Mama ngerti gimana perasaan kamu.” Leo membuang muka, mamanya sangat peduli terhadap anak-anak orang lain tapi sama sekali tidak peduli dengan anaknya sendiri. “Seharusnya aku nggak pernah ke Jakarta, tinggal sendirian di Surabaya jauh lebih baik daripada di sini. Mama ingat apa yang Mama bilang waktu memasukkan aku ke sekolah Papa Haris? Mama ingin supaya aku bisa mendekatkan diri sama Jovan, bukan karena Mama ingin dekat sama aku setelah kita tinggal pisah sangat lama. Masalah Icha juga sama, Mama kasihan karena Icha kesepian. Kenapa harus aku, Ma? Kenapa aku harus melakukannya?” “Leo—“ Mama tercengang lantaran untuk pertama kalinya Leo mengungkapkan perasaan, selama ini ia memilih diam karena muak dengan keribuatan seperti yang selalu terjadi dulu sewaktu orang tua kandungnya belum bercerai. Sekarang Mama sudah menikah lagi, Leo hanya tidak ingin menyulitkan mamanya dengan menjadi anak nakal. “Jovan sama sekali nggak bisa didekati, bahkan papa kandungnya sendiri saja nggak bisa, lalu bagaimana bisa kalian pikir aku bisa mendekati dia sementara dia saja menganggap aku ini sama hinanya kayak dia memandang Mama. Mama nggak harus peduli sama orang yang nggak bisa menghormati Mama, anak Mama itu aku, bukan Jovan.” Perasaan Leo lega usai mengeluarkan apa yang menganggu pikirannya, entah nanti mungkin saja ia menyesali karena terbawa emosi. Namun Leo sungguh ingin mamanya tahu itu, bahwa Leo juga ingin menjalani kehidupannya sendiri. Leo menarik napas panjang, lalu berbicara lagi dengan suara lebih tenang. “Sejak Senin Jovan nggak masuk sekolah, teman-teman dan guru nggak ada yang tahu dia di mana.” Usai mengatakan itu, Leo beranjak pergi ke kamarnya. Leo menggeletakkan tasnya di lantai dan membanting tubuhnya rebahan di atas kasur, memberi waktu sesaat untuk meratapi hidupnya yang tampak sempurna padahal Leo setiap hari merasa seperti dipenjara. Bahkan, untuk sekadar makan Seblak bersama Mika saja, Leo harus berpikir panjang. Leo sungguh lelah dengan Marco, Icha, dan semuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN