Adrian dibuat uring-uringan akan sikap Sheila yang sepertinya menghindari. Sejak pertengkaran kecil mereka semalam, Sheila berusaha menjauhi Adrian. Salah satu contohnya, dia kembali ke apartemen dengan alasan harus berkoordinasi kembali dengan rekannya mengenai misi yang diberikan atasannya yaitu menangkap seorang gembong narkoba kelas kakap.
"Kenapa lagi pak?" tanya Gea tiba-tiba karena Adrian seperti melamun.
"Gea, kamu ada ilmu berjalan tanpa suara ya?" tanya Adrian heran.
"Kok bapak bilang gitu?"
"Iya soalnya kamu tiba-tiba aja muncul di hadapanku."
"Maaf ya pak. Setelah kejadian bapak berci-" Adrian memicingkan matanya.
"Eh maksudnya punya tamu wanita, saya sekarang tahu harus ngetok pintu dulu," ralat Sheila.
"Harusnya kamu terapkan itu sejak lama."
"Iya pak. Gak enak banget loh, lihat orang mesra-mesraan, pengennya balik ke rumah juga ketemu suami."
"Gea emang menikah enak?" tanya Adrian dengan wajah serius.
Gea mengambil tempat duduk, sepertinya pembahasan ini akan berlangsung lama. Lagipula pekerjaannya tidak terlalu banyak, jadi dia punya banyak waktu luang.
"Menikah itu gak enak pak," jawab Gea dengan mimik serius.
Adrian menghela napas panjang, sepertinya keputusan untuk menikah harus dipertimbangkannya.
"Kalau kita tidak menikah dengan orang yang tepat," lanjut Gea lagi.
"Orang yang tepat seperti apa?"
"Itu pake feeeling pak. Pake rasa buat tahu dia orang yang tepat apa enggak."
"Makin bingung," ucap Adrian dan memijat pelipisnya.
"Tandanya ya pak dengan dia membuat bapak nyaman, waktu berputar terasa lebih singkat, kadang nyebelin tapi sayangnya gak pernah hilang, pengen ketemu setiap waktu, gak ada kabarnya kita jadi uring-uringan," jelaskan Gea.
Adrian menarik napas panjang, semua contoh yang diberikan Gea semua ada di dirinya.
"Bapak ngerasa gitu gak?"
"Sepertinya iya."
"Terus Gea, gimana pendapat kamu tentang wanita yang datang ke kantor beberapa waktu lalu?" tanya Adrian meminta pendapat.
"Dia kelihatan cerdas, tegas dan juga punya karakter," Adrian mengangguk setuju mendengar jawaban Gea. Semua itu memang dimiliki Sheila dan itulah yang membuatnya terpesona.
"Dia sangat layak untuk menjadi calon istri bapak. Kalau saya punya hak suara, saya setuju pak," ucap Gea lagi.
Gea sangat tahu dengan jelas mengenai kehidupan percintaan bosnya dengan banyak wanita. Dia sering ditugaskan mengirimkan buket bunga kepada wanita-wanita yang menjadi teman dekat Adrian, baik itu sudah menjadi kekasih atau masih dalam penjajakan.
Gea sangka salah satu dari mereka akan menjadi pelabuhan terakhir Adrian tetapi nyatanya hubungan mereka tidak lebih satu atau dua bulan saja.
Barulah Gea bisa melihat keseriusan Adrian saat menjalin hubungan dengan Angel. Sayangnya juga gagal. Saat itu bukan Adrian yang mengakhirinya tetapi Angel dan malangnya atasannya harus ditinggal nikah. Gea sangat prihatin dengan kejadian itu.
"Hanya ada dua wanita yang saya akui pantas untuk bapak yaitu Angel."
"Maaf ya pak agak mengungkit masa lalu."
"Yang kedua?"
"Ya wanita itu. Namanya siapa sih pak?"
"Sheila. Sheila Gillardia."
"Nama yang bagus."
"Gea kamu tahu apa yang bikin terkejut," ucap Adrian.
"Apa pak?"
"Sheila itu adik ipar Angel."
"Hah!? Yang bener pak? Astaga, dunia ini sempit sekali ya pak."
"Iya."
"Tetapi bapak mendekati Sheila bukan karena balas dendam kan?" tanya Gea curiga.
"Balas dendam? Maksudnya?"
"Ya takutnya bapak mendekati Sheila hanya ingin membalas sakit hati kepada Angel."
Adrian segera bangkit dengan wajah cerah seperti mendapat ide cemerlang.
"Makasih ya Gea."
"Ah kenapa pak?"
"Aku tahu apa masalahnya. Oh iya sementara kamu pending dulu pekerjaanku ya. Ada sesuatu yang lebih penting yang harus saya urus."
Adrian segera meninggalkan kantor dan mengemudikan mobilnya menuju apartemen Sheila. Dia sekarang tahu kenapa Sheila bersikap aneh kepadanya. Pasti Sheila pernah mendengar bahwa dia pernah mempunyai hubungan dengan Angel di masa lalu.
Adrian sudah tidak melihat lagi kecepatan mobilnya, dia hanya menginjak dalam pedal gasnya dan berharap segera tiba di apartemen.
Tok! Tok!
Adrian segera mengetuk pintu apartemen dengan napas tersengal-sengal.
"Ya," ternyata rekan kerja Sheila yang membuka pintu.
"Sheila ada?" tanya Adrian.
"Dia keluar sejak pagi. Saya tidak tahu ke mana."
"Oh. Kalau begitu terima kasih," ucap Adrian dengan wajah kecewa.
***
Setelah sarapan di pagi hari, ponsel Sheila berbunyi ada nama Matthew tertera di layar ponselnya.
"Iya bang. Ada apa?" tanya Sheila yang baru saja ingin mandi.
"Kamu di mana?" tanya Matthew.
"Di apartemen," jawab Sheila.
"Di apartemen?" tanya Matthew heran.
"Iya," jawab Sheila singkat.
Matthew sudah semakin yakin harus berbicara serius dengan Sheila.
"Apakah kamu bisa ke rumah? Aku ingin membahas sesuatu," ucap Matthew.
"Oke. Aku mandi dulu. Setelah itu aku akan ke sana."
"Iya dek. Kamu hati-hati."
Sheila bergegas ke kamar mandi dan berganti baju. Sedikit berdandan dan hanya memakai pakaian kasual.
"Saya keluar dulu ya," pamit Sheila kepada Agen K.
"Oke."
Setibanya di kediaman Matthew. Sheila langsung masuk ke rumah. Matthew dan Angel terlihat duduk bersantai di ruang keluarga.
"Aunti!" teriak Scarlet yang sudah akrab dengan Sheila.
"Hei, ponakan cantik aunti," Sheila mencium gemas pipi gembul Scarlet.
"Mau makan es krim gak?"
"Sama Om Adrian?" tebak bocah itu polos. Sheila menghela napas panjang mendengar nama Adrian disebut. Bahkan Scarlet saja merindukan Adrian. Dia pun sama.
"Sama aunti aja," jawab Sheila. Scarlet mengangguk lucu.
"Scarlet yuk kita mandi dulu sayang," ajak Angel agar Matthew dan Sheila punya ruang yang lebih bebas untuk berbicara.
"Iya Momy."
"Daddy aku mandi dulu ya."
"Iya sayang."
"Jadi sejak kapan kamu kembali ke apartemen? Emang Mama udah baik-baik aja?" tanya Matthew membuka percakapan.
"Semalam. Mama ijinin kok. Dia udah baik-baik aja."
"Oh. Syukurlah kalau begitu."
"Yang pasti bukan karena kamu bertengkar dengan Adrian kan?" tanya Matthew curiga.
"Bertengkar karena apa?" tanya balik Sheila berpura-pura.
"Kamu ternyata masih sulit berterus terang," Matthew menggeleng dan mengulum senyum.
"Apa Abang tahu sesuatu?"
"Apakah kamu tahu bahwa Adrian dan Angel pernah berhubungan di masa lalu? Bahkan sempat bertunangan?"
"Iya."
"Apakah karena itu kamu kecewa sama dia?"
"Mungkin."
"Kamu tahu kenapa awalnya Abang tidak menyetujui hubunganmu dengan Adrian. Alasannya itu. Aku takut Adrian mendekatimu hanya untuk membalas dendam."
"Benarkah?"
"Ya itu kecurigaanku di awal. Tetapi seiring waktu, Adrian meyakinkanku bahwa dia serius dengan kamu. Abang akhirnya berubah pikiran."
"Kenapa secepat itu?"
"Apakah ada orang yang balas dendam rela mengorbankan nyawanya dengan menjadi tameng saat kamu akan tertembak?"
Sheila terdiam. Ucapan Matthew sepertinya masuk akal.
"Kamu tidak perlu berpikir macam-macam. Cukup itu saja yang membuatmu yakin."
"Makasih Bang."
"Semoga kalian tidak terlambat memperbaiki semuanya."
"Iya Bang. Terima kasih," ucap Sheila dan memeluk Matthew. Matthew membalasnya dan mengelus-elus punggung Sheila.
Tepat saat itu, ponsel Sheila berbunyi.
"Halo Adrian."
"Halo Sheila. Kamu di mana?"
"Aku di rumah Abang Matthew."
"Apakah aku bisa menyusul ke sana? Aku pengen ngomong sesuatu."
"Iya boleh."
Matthew tersenyum karena bahagia melihat Sheila dan Adrian sepertinya sudah berbaikan.