3. Rencana Panji

1053 Kata
"Memang kenapa dibatalkan?" cecar Hani gemas. Panji yang malas menjawab memilih melengos. Hani kian gemas dibuatnya. Wanita yang malam ini mengenakan gaun tidur berwarna hitam itu terpaksa memutar arah agar bisa menghadap suaminya. "Jawab, Mas!" tuntut Hani geregetan. "Layla." Panji berujar lirih. "Layla?" Mata Hani langsung memincing, "dia yang mau membeli toko kita? Bukannya kemarin kamu bilang kalo yang mau beli itu seorang pria?" cecarnya sangat penasaran. Panji mengangguk pelan. "Iya, temannya Layla." "Hanya teman?" Bibir Hani mulai mencebik sinis. Kali ini Panji menggeleng. "Teman dekat." Wajah Hani tampak terkejut. Ada perasaan tidak suka menyelinap ke hati. "Memang kenapa kalo yang beli toko kita teman dekatnya Layla?" pancing Hani dengan sedikit rasa cemburu. Suaranya pun mulai melunak. "Kamu mau kita dipermalukan sama Layla?" balas Panji sambil menatap sengit ke arah Hani. "Tapi kita lagi butuh banget duit, Mas." Hani mulai merengek. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di samping Panji. "Debt kolektor udah bolak-balik ke rumah. Pusing ngadepinnya." "Yang pake kartu kredit itu siapa? Kamu kan?" Panji menukas telak perkataan Hani, "ya sudah terima konsekuensinya." "Ya makanya itu, Mas, sudah jual saja toko itu sama temannya Layla. Toh bukan pada Laylanya sendiri." Hani mencoba membujuk. "Masalahnya toko itu mau dihadiahkan untuk Layla." Hani terdiam. Di dasar hatinya yang terdalam, timbul rasa iri. Batinnya bercakap beruntung sekali Layla itu. "Terus kalo dibatalkan bagaimana bayar tagihan kartu kredit itu, Mas?" Hani yang risau menghembus napas. "Mana Zea sudah dua kali pertemuan absen terus. Kasihan Zea, Maaas." Panji spontan menatap istrinya. "Kamu itu kerja cuma bisa nuntut! Beda sama Layla yang bisa cari jalan keluar sendiri. Pinter cari duit juga." Hani tercekat mendengarnya. "Oh ... mulai banding-bandingkan kami lagi?" sergahnya geram. "Memang kenyataannya begitu," sahut Panji tanpa ragu, "Layla selain pinter nyari duit sendiri, dia juga memahami keadaan suami. Gak kayak kamu yang tahunya cuma nuntut-nuntuuut aja." PRANK! Sontak Panji dan Hani menengok ke sumber suara. Ketika terdengar suara tangisan Zea, keduanya langsung bergegas menghampiri putri bungsu mereka. Apalagi teriakan Zea kian melengking. Suara itu berasal dari dapur. "Ya ampun, Zeaaa!" seru Hani panik melihat pecahan beling ada di sekitar bocah berambut panjang itu. "Aaa ... aaa!" Bocah lima tahun penyandang autis itu terus saja berteriak-teriak. Kakinya terus menghentak-hentakan lantai. Alhasil telapaknya tertusuk beling. Darah pun merembes. "Zea diam dulu jangan bergerak!" suruh Hani meringis. Dia merasa ngilu melihat kaki anaknya berdarah-darah. Panji sendiri langsung sigap menolong putri kecilnya. Dia berjinjit menghindari pecahan beling itu. Tetap saja telapak kakinya terkena serpihan kaca. Panji menahan rasa sakit. Dia langsung membopong Zea. Masih berjinjit pria itu berjalan menuju sofa ruang keluarga. Hani mengikuti suami dan anaknya. "Kenziii! Zielll!" Hani berteriak garang. "Kenziiiii!" Teriakannya kian menggelegar karena kedua anak tirinya tidak lekas mendekat. Tidak lama Kenzi dan Azriel mendekat. "Ngapain saja kalian di kamar?" cecar Hani tanpa basa-basi. "Belajar," sahut Kenzi cuek. Sedangkan Azriel memilih diam. "Kenapa kamu biarin Zea pergi ngambil minumannya sendiri, Zi? Kan tahu Zea ini gak bisa, gimana sih?" semprot Hani geram. "Kok malah nyalahin kita?" Kenzi menyergah ketus. "Zea adik kamu, Kenziii!" "Terus apa hubungannya?" "Ya harusnya kamu jagain dia!" "Aku sama Ziel lagi belajar. Zea di kamarnya lagi tidur, kita mana tahu kalo dia bangun dan tiba-tiba pergi ke dapur," ujar Kenzi muak. Hani tidak berkutik mendengar perkataan Kenzi. "Udah Han, sana kamu ambil kotak obat dulu!" suruh Panji yang sedang menenangkan Zea di sofa. Putrinya itu terus saja berteriak. Jeleknya, Zea kalau tantrum suka menjedot-jedotkan kepalanya. Dan Panji sekuat tenaga menahan kepala anak itu menyundul dadanya. Hani bergegas begitu diperintah Panji. Kakinya menderap menuju kamar. Kotak obat yang tersimpan di buffet kamarnya, dia ambil. Wanita itu kembali menemui Panji untuk mengobati kaki Zea. "Kamu daripada bengong, mending bersihin itu beling di belakang!" suruh Hani sambil menunjuk dapur. "Males." Kenzi menyahut santai. Dia menarik lengan adiknya untuk beranjak. "Ya ampun ini anak!" Hani berseru gemas diabaikan seperti itu. "Haniii!" Panji balas berteriak, "sudah ini urus Zea dulu!" "Eum ... iya." Hani mengangguk patuh. Wanita itu lekas membersihkan darah di telapak kaki Zea. Zea sendiri langsung menendang-nendangkan kakinya. Alhasil wajah Hani sempat terkena. "Mas, tolong pegang kaki Zea dulu." "Ini lagi dipegang. Kamu pikir aku lagi tidur?!" semprot Panji kesal. Hani mencibir kesal mendapat semprotan ketus dari sang suami. "Mas, ini ada beling yang nancep di kaki Zea," lapornya mulai panik. Panji langsung memeriksa telapak kaki Zea. "Kamu pegang kaki Zea dulu!" "Iya, Mas." Perlahan Panji mencabut serpihan beling itu. Namun, Zea terus berontak. Suami istri itu bahu membahu mencabut beling tersebut. "Kenapa, Ma?" Tiba-tiba Atha datang. Anak itu masih mengenakan seragam sekolah. Wajahnya terlihat sedikit lesu. "Eh, Tha, tolong pegang Zea dulu!" Hani langsung memerintah, "mama mau nyabut beling di kakinya." Atha mengangguk. Anak itu mengungkung adik perempuannya agar bisa diam. Setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan, Hani berhasil menyabet serpihan kaca tersebut. Wanita itu pelan-pelan mengobati luka Zea. "Dari mana saja jam segini baru pulang?" tegur Panji ketika Hani sudah mengambil Zea dari pangkuannya. "Anak baru pulang biarkan dia istirahat dulu!" Hani yang tidak terima anaknya ditegur langsung menyela. "Udah sana kamu mandi, Tha!" "Iya, Ma." Atha mengangguk senang. Pemuda tanggung itu berjalan cepat menggapai kamar pribadinya. "Pantau si Atha tuh! Kecil-kecil sudah pacaran," saran Panji serius. "Pacarannya Atha kan buat penyemangat sekolah. Nilainya jadi bagus," elak Hani membela anaknya. "Atha itu anak yang cakep dan luwes, makanya banyak cewek-cewek yang naksir sama dia. Emangnya si Kenzi ... kakunya minta ampun." Hani mengejek dengan seringai sinis. Panji hanya menggeleng. Pria itu memilih pergi keluar. * Panji bertekad untuk tidak menjual toko rotinya pada Banyu. Dia bahkan merencanakan sesuatu. Rencana ingin merenggangkan hubungan Banyu dan Layla. Karena itulah Panji tidak menepati janjinya. Dia enggan menghubungi Banyu untuk pembicaraan lebih lanjut. Pesan dari Banyu pun ia abaikan. Sehingga terpaksa Banyu yang mendatangi Panji di toko onderdilnya. "Pak Panji membatalkan transaksi kita?" tanya Banyu cukup terkejut. "Iya, maaf," ucap Panji di ruang kerjanya. "Tapi, kenapa, Pak?" kejar Banyu heran, "bukannya saya setuju dengan harga yang Bapak tawarkan." "Benar, tapi setelah saya pikir-pikir, saya tidak jadi menjual toko itu." "Boleh tahu alasannya?" Panji menarik napas dalam-dalam. Saatnya melancarkan aksi. "Sepertinya dunia ini memang selebar daun kelor." Panji memulai penuturannya. "Maksudnya?" Banyu yang tidak paham mengernyit bingung. "Kebetulan saya mengenal saudari Layla teman Pak Banyu." Banyu terkesima mendengarnya. "Benarkah? Kalo begitu apa masalahnya?" Panji mengulum senyum. "Saya juga tahu alasan dia diceraikan oleh suaminya." "Apa?" kejar Banyu penasaran. Next
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN