4. Tanggapan Banyu

1134 Kata
"Jadi saya ini adalah teman dekatnya mantan suami Layla." Panji memulai kisah bohongnya. "Kebetulan kami punya kemiripan nama. Sama-sama bernama Panji." Panji menjeda omongannya. Lelaki itu mengulum senyum. Banyu yang sedikit penasaran diam mendengarkan. Dua tahun mengenal Layla, wanita itu sangat tertutup. Tidak banyak yang tahu tentang masa lalu Layla. Terutama tentang keluarganya. "Teman saya yang bernama Panji itu sering bercerita, jika Layla istrinya adalah tipe wanita yang sangat sulit diatur dan terlalu keras kepala," terang Panji mulai melakukan fitnah. "Oh ya?" sahut Banyu sedikit tidak percaya, "tapi selama kami berteman, menurut saya sikap Layla lumayan baik. Orangnya juga santun. Pembawaannya cukup tenang. Rasanya adem saja kalo ngobrol sama dia," puji Banyu kekaguman. Hati Panji berdenyut keras mendengar Banyu begitu memuja sang mantan. "Saya pun terkecoh dengan penampilannya," balas Panji tetap memprovokasi. "Maksudnya gimana?" "Di hadapan teman-teman suaminya, Layla memang pandai bersikap manis seperti itu. Saya saja gak percaya kalo bukan mantan suaminya yang bercerita sendiri," beber Panji mempengaruhi Banyu. "Kalo dia orang yang baik, kenapa anak-anaknya gak ada yang mau ikut dia?" Banyu mulai tertarik mendengar penuturan Panji. "Teman saya bilang Layla itu tidak becus mengurus anak." Panji kembali membuat kebohongan, "dia beralasan sibuk dengan toko rotinya. Apalagi setelah tokonya dulu sukses, Layla jadi besar kepala. Suami dan anaknya begitu terbengkalai. Bahkan pernah minggat dari rumah dan menelantarkan anaknya yang masih kecil-kecil," tutur Panji berapi-api. "Makanya saat sidang perceraiannya, dia tidak mendapatkan hak asuh anak serta harta gono-gini," pungkas Panji mengakhiri cerita. Dia cukup puas melihat Banyu terbengong seperti itu. Panji merasa jika Banyu mulai ragu. Dalam hati dia berdoa agar pendirian Banyu untuk mendekati Layla goyah. Banyu sendiri tengah menimbang-nimbang omongan Panji. Dia tidak percaya seratus persen perkataan pria di hadapan ini. Karena biasanya orang yang suka menjelek-jelekan orang lain adalah seorang yang berhati busuk dan pendendam. Banyu menatap Panji dengan saksama. Jika pria di hadapannya ini seorang yang berhati busuk, maka lebih baik menghindar darinya. Lalu jika dia seorang pendendam, berarti ada masalah khusus antara Panji dengan Layla. Jika hanya sekedar mendengar kisah Layla dari temannya, kenapa Panji bisa se-frontal ini menjelekan Layla? Dia bahkan lebih memilih membatalkan transaksi jika toko ini diberikan untuk Layla. Padahal jelas-jelas toko ini sudah tidak beroperasi selama dua tahun. "Eum ... saya boleh menanyakan sesuatu?" izin Banyu tetap bersikap formal. "Oh tentu, silakan." Panji mengangguk dengan percaya diri. "Ini Anda serius membatalkan transaksi kita hanya dengan alasan yang ... sedikit tidak masuk akal?" "Tidak masuk akal bagaimana?" Panji menyergah cepat. "Pak Panji tidak ada sangkut pautnya dengan Layla dan mantan suaminya. Kenapa tiba-tiba membatalkan transaksi hanya karena mendengar toko ini akan saya hadiahkan untuk dia?" Wajah Panji sontak kecut mendengar pertanyaan serius dari Banyu. "Setahu saya Anda ingin segera menjual toko ini," imbuh Banyu masih menatap Panji dengan intens. Panji sedikit berdeham untuk menata hati. "Saya sangat menjunjung rasa persahabatan. Dan ini merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa kesetiaan kawanan saya terhadap teman saya," dalih berusaha tenang. Banyu sendiri kembali tercengang mendengar jawaban mengada-ada ini. "Dari kabar yang saya dengar, bukankah mantan suami Layla sudah menikah lagi? Itu berarti dia sudah bisa move on dari Layla, tapi kenapa justru Pak Panji yang terkesan punya dendam pada Layla?" Wajah Panji kian pucat mendapat serangan menohok dari Banyu. Beberapa menit lamanya dia tidak kunjung membalas pertanyaan yang diajukan oleh Banyu. "Baiklah ... itu hak Pak Panji untuk tidak menjual toko ini, saya gak akan memaksa." Banyu bangkit dari duduknya, "kalo begitu saya permisi saja," pamitnya seraya mengulurkan tangan. Panji ikut bangun. Ragu-ragu dia membalas uluran tangan Banyu. "Setia kawan memang sangat baik, tapi perlu lihat situasi," ujar Banyu masih menjabat tangan Panji, "kalo begini jatuhnya Anda terlalu turut campur. Padahal bisa jadi mantan suami Layla justru sudah lepas dan move on." Malu dan marah membuat wajah Panji dipenuhi peluh dingin. "Pikirkan matang-matang lagi." Tangan kiri Banyu menepuk jabatan tangan mereka, "kalo Pak Panji berubah pikiran, bisa hubungi saya lagi. Tapi, jangan terlalu lama, karena sehabis ini saya akan mencari ruko yang lain." Panji hanya mengangguk kecil. Mulutnya teramat kaku untuk dibuka. Dia bahkan tidak mengantar Banyu. "Shitt!" umpat Panji geram selepas Banyu berlalu. Kakinya menendang meja kerjanya. "Awww!" teriak Panji kaget. Rupanya mejanya cukup keras sehingga kakinya terasa kesakitan. Sementara itu, Banyu langsung masuk ke mobil. Lelaki itu mengendarai mobilnya dengan tenang. Perkataan Panji terngiang di kepalanya. "Aneh banget Pak Panji itu," gumam Banyu sambil tetap fokus menatap arah depan. "Dari caranya bicara sepertinya dia ada dendam tersendiri sama Layla. Tapi, kenapa?" Hingga mobilnya tiba di sebuah kantor, Banyu tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Lelaki tiga puluh lima tahun itu turun dari mobil. Seorang sekuriti langsung membukakan pintu kaca begitu melihatnya. Ketika Banyu mengucapkan terima kasih, sekuriti itu mengangguk hormat pada adik ipar bosnya itu. Kantor yang Banyu sedang kunjungi adalah milik Seli kakak iparnya. Usaha Seli bergerak di bidang jasa. Dia owner sebuah event organizer. Banyu mengenal Layla di sini sebagai personal assiten. Begitu masuk beberapa karyawan sudah ada yang bersiap-siap hendak pulang. Mereka yang mengenal Banyu langsung mengangguk sopan. Banyu yang ramah tentu membalas sapaan karyawan kakaknya. Setelah itu dia terus melangkah ke ruang kerja Seli. Sebelum masuk dia memandang meja kerja Layla. Wanita itu baru saja tiba dari pantri. Tangannya memegang dua buah cangkir. Satu diberikan pada rekan yang duduk di sebelah kubikelnya. Tentu saja sang kawan tersenyum senang. Banyu terus memperhatikan Layla. Wanita itu tampak kembali sibuk berkutat dengan layar monitor. Padahal sudah waktu pulang. Tangan Layla terus menari-nari di atas tombol keyboard. Ketika temannya ada yang pamit, Layla akan mengangguk dengan senyuman. "Aneh ... kok bisa Pak Panji bisa gak suka sama wanita sebaik Layla?" gumam Banyu tidak habis pikir. Tidak mau terlalu keras berpikir, Banyu membuka pintu ruang kerja Seli. "Eh ... Nyu." Seli yang hendak bersiap pulang menyapa dengan senang. Wanita bertubuh lumayan berisi itu lekas menyambar tasnya. Seli mendekati sang adik ipar. Keduanya keluar ruangan. "Lho ... gak ngajak Layla pulang sekalian?" tegur Banyu ketika Seli tidak menghampiri meja Layla. "Schedule kita lagi padat minggu-minggu ini, Nyu. Aku suruh dia lembur untuk ngurus event lusa." "Oh." Banyu menyahut paham. Adik dan kakak ipar itu berjalan keluar kantor. Keduanya menuju sedan Banyu di parkiran. "Gimana udah beres toko rotinya?" tanya Seli ketika Banyu mulai menjalankan kendaraan. "Pemiliknya batalin transaksi," balas Banyu sambil terus menyetir. "Lho ... kok bisa?" Banyu mengendikan bahu. "Mana Pak Panji mempengaruhi aku lagi." "Pak Panji?" Alis Seli bertaut. "Pemilik Layla Bakery's itu." Mulut Seli terbuka lebar. "Kenapa, Mbak?" tanya Banyu heran. "Nama lengkapnya Panji siapa?" Banyu tidak langsung menjawab. Tangan kirinya merogoh saku celana untuk mengambil dompetnya. "Maaf," ucap Banyu saat menyerahkan dompetnya dengan tangan kiri. Seli membuka dompet tersebut. Dia mengambil sebuah kartu nama. Matanya kembali terbelalak melihat nama lengkap dan alamat yang tertera di kartu. "Kenapa sih, Mbak?" cecar Banyu heran. "Panji Pradipta itu mantan suaminya Layla." Kini Banyu yang terbeliak. Next
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN