Halo, Sayang

1093 Kata
Ada alasan Widya meminta bantuan Arni dan Ajeng. Dua asisten rumah tangganya sedang pulang kampung dan sudah tiga hari tidak ada kabar. Ada sopir pribadi Widya dan pelayan yang bertugas membersihkan halaman rumah yang ada di rumah besarnya, tentu tidak bisa diandalkan untuk menjaga Lintang secara pribadi. Lagi pula baik Ajeng maupun Arni adalah dua orang yang sangat dipercaya Widya. Sudah bertahun-tahun mengenal dekat dan bertetangga, mereka tidak pernah mengecewakan dan mau membantu, bahkan berkorban waktu demi kenyamanan Widya. Boleh dikatakan, Arni adalah sosok terdekat Widya sekarang. Widya benar-benar tenang pergi ke Batam karena Arni langsung berinisiatif menjaga Lintang dengan meminta izin kepada atasannya bahwa dia akan off beberapa hari demi menjaga Lintang. Arni dan Ajeng sangat bisa diandalkan karena mereka juga sudah mengenal seluk beluk dalam rumah Widya, dan sudah menganggap saudara. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, Ajeng masuk ke dalam kamar Lintang yang berada di lantai dua. Dia dengan telaten meletakkan sarapan pagi untuk Lintang berupa bubur ayam di atas meja di samping tempat tidur Lintang. Sementara Lintang yang meskipun demam, asyik memainkan ponselnya. "Mas. Aku sudah buat surat izin buat Mas, trus tanda tangannya gimana?" tanya Ajeng setelah mengatur obat-obatan untuk Lintang hari itu. "Mana suratnya?" Ajeng langsung merogoh sakunya dan mengambil sebuah amplop, lalu dia serahkan ke Lintang. "Ambil pena gih." Ajeng sudah akrab dengan kamar Lintang. Dulu saat SD kerap bermain PS bersama Gita di kamar Lintang saat Lintang pergi. Kadang Lintang marah karena kamarnya tidak dibereskan kedua gadis kecil itu, tapi juga tidak marah. Dan tentu dia sudah tahu di mana peralatan sekolah Lintang. Lintang hampir saja menandatangani surat izin itu dengan meniru tanda tangan mamanya. "Hm ... apa Ibu aku saja yang tanda tangan, Mas? Masa niru?" Ajeng protes kali ini. Gerak tangan Lintang berhenti, dan dia mengangguk. "Dari awal kek langsung tanda tangan Ibu kamu." Lintang cubit lengan Ajeng. Seketika Ajeng merasakan panas dari tubuh Lintang. Kakak Gita itu benar-benar sakit, meskipun terlihat baik-baik saja. "Aku sebenarnya udah kepikiran, Mas. Cuma ragu." Ajeng berdiri dan bersiap-siap pergi. "Kalo repot ke kelas, kamu titip aja ke Alaric, dia biasanya nongkrong deket kelas kamu. Atau titip ke Leslie." Mendengar nama Leslie disebut, Ajeng berdecak dalam hati. Tapi dia mengiyakan agar Lintang tidak banyak tanya. Setelah pamit ke mamanya yang sedang membereskan dapur rumah Widya, Ajeng berangkat ke sekolah dengan diantar ojek langganannya. Beruntungnya Ajeng pagi itu, saat dia hendak memasuki kelas, dia bertemu si tampan Alaric dan menghampirinya, lalu menitipkan surat izin serta menceritakan keadaan Lintang yang sebenarnya. "Jadi dia di rumah sama siapa, Jeng?" tanya Alaric yang ikutan khawatir. Lintang selama ini dikenal sehat-sehat saja dan tidak pernah sakit, apalagi dia rutin basket. "Ada yang jaga kok." Ajeng tidak mau gegabah menyebut ibunya, khawatir jadi pembicaaraan, meskipun beberapa orang sudah tahu keluarga kecilnya dan keluarga Lintang sangat akrab, dan wajar Alaric mempertanyakannya karena dia adalah sahabat dekatnya. "Oh, oke. Makasih ya, Jeng." "Sama-sama, Kak Al. Aku yang makasih." Alaric meskipun dikenal cuek dan dingin, dia sangatlah sopan, tergantung bagaimana cara berbicara dengannya. Ajeng salah satunya, dia murid perempuan baru yang juga sopan dan tidak centil di depan siswa ganteng seperti Alaric dan Lintang misalnya. Merasa amanatnya sudah selesai, Ajeng langsung bergegas pergi ke kelasnya. Dia juga sudah memegang surat izin Gita di dalam tasnya. Hari itu Ajeng merasa harinya kurang lengkap tanpa celoteh Gita di sampingnya. Akan tetapi, ada murid lain yang mendekatinya, menanyakan tentang keadaan Gita dan Ajeng menjelaskan bahwa keluarga Gita sedang mengalami kemalangan. *** Karena Arni sudah menjaga Lintang sedari pagi hingga siang, dia harus pulang karena masih harus menyelesaikan pekerjaan menyetrika di rumah. Selanjutnya, gantian Ajeng yang bertugas menjaga Lintang dari siang hingga malam. Mamanya akan menyusul menginap di sana setelah pekerjaannya sudah selesai. Ajeng sudah mandi dan rapi dengan pakaian rumahnya. Dia juga sudah menyiapkan pakaian sekolah serta tas berisi peralatan sekolah untuk besok, dan dia bawa saat menginap di kamar Gita, yang berada tepat di sebelah kamar Lintang. Sesampainya di lantai atas, Ajeng melewati pintu kamar Lintang yang terbuka, sekilas melihat Lintang yang tidur dengan posisi tubuh menyamping membelakanginya. Ajeng menghela napas pendek, iba melihat Lintang yang lemah. Padahal di keseharian, laki-laki berwajah tegas itu tidak pernah tampak lemah, karena rajin berolah raga. Ajeng melanjutkan langkahnya menuju kamar Gita. Menjelang malam, Ajeng menghampiri kamar Lintang sambil membawakan makan malam untuk Lintang. Dia mendapatkan Lintang yang terduduk lemas. "Aku lagi nggak selera makan, Jeng." "Tapi Mas harus makan. Siang tadi kata Ibu, Mas sedikit banget makannya." Lintang menggeleng lemah. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya. Ajeng menghela napas panjang, tak kuasa melihat Lintang yang tak berdaya. Dia akhirnya duduk di tepi tempat tidur. "Aku suapin Mas mau?" Ajeng berusaha membujuk. "Sedikit nggak apa-apa." Lintang menoleh, melihat wajah Ajeng yang menunjukkan iba padanya. "A." Ajeng mendengus tersenyum, dia mengambil makan malam Lintang dan menyuapinya dengan pelan. "Jadi titip surat ke siapa, Jeng?" tanya Lintang. Sudah tiga sendok nasi yang dia lahap. "Kak Alaric. Ketemu dia di dekat kelas. Dia nanyain Mas, trus aku ceritain." "Ok." Lintang yang senang dengan sikap Ajeng, mengacak rambut Ajeng gemas. Entah bagaimana selera makannya meningkat dan tanpa sadar dia menghabiskan makan malamnya. Setelah beberapa saat, Ajeng lalu mempersiapkan obat untuk Lintang. "Kamu nggak jualan lagi sekarang di kantin?" tanya Lintang yang perutnya sudah tenang. Padahal dia sudah tahu bahwa sudah beberapa hari Ajeng tidak lagi membawa dagangannya dan juga tidak menumpang mobil dengannya. Tidak tahu kenapa dia mempertanyakannya, mungkin hanya sekadar basa-basi. "Nggak. Aku mau fokus belajar aja, Mas. Aku juga nggak nitip kue di warung dekat sekolah." Ajeng tentu menyembunyikan fakta yang sebenarnya, bahwa ada campur tangan Leslie yang menyebabkan dia tidak lagi menitipkan kue dagangannya. Tiba-tiba ponsel Lintang terbunyi. Leslie yang menghubunginya. Cara bicara Lintang berubah seketika dan manja. "Halo, Sayang." Ajeng menarik diri dari tepi kasur dan duduk di atas kursi dekat meja belajar. Mendengar Lintang berbicara dengan Leslie lewat ponsel dengan mesra menyebabkan pikirannya melayang entah ke mana. Suara Lintang yang rendah dan berucap sayang, dia bayangkan ada seorang laki-laki yang berucap kata yang sama kepadanya seperti suara Lintang. Ah, Leslie sangat beruntung berpacaran dengan Lintang, karena Lintang adalah sosok yang baik dan penyayang. Ajeng menyadari bahwa mereka adalah pasangan yang serasi, yang satu cantik sekali dan yang satunya tinggi dan tampan. Ajeng senyum-senyum mendengar percakapan Lintang dengan Leslie malam itu. "Nggak kok, sendiri aja. Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu datang, lusa pasti aku sehat dan sekolah lagi. Hm? Apa, Sayang? Oh, iya, kamu telfon aja Mamaku. Dia pasti angkat kok, kalo nggak angkat berarti dia sedang nggak mau dihubungi atau sedang sibuk di sana. Mmm? Iya, aku juga kangen kamu. Mmmuaaah. Bye, Sayang." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN