Di Sini Aja, Jeng

1076 Kata
Bagaimana dia tidak senyum-senyum mendengar percakapan Lintang dan Leslie. Lintang membohongi Leslie bahwa dia sedang sendiri dan tidak ditemani, padahal jelas-jelas dia duduk di dekatnya. Sepertinya Lintang juga menyadari bahwa pacarnya itu pencemburu, dan yakin marah jika tahu bahwa ada gadis lain yang sedang berada di samping Lintang, dan dirinya yang sudah nyata dicemburui Leslie, dengan beragam cara agar dia tidak mendekati Lintang. Lalu bagaimana dia tidak dekat dengan Lintang? Dia bersahabat dengan Gita dan Lintang juga selama ini telah menunjukkan sikap akrab dan bahkan sudah menganggap dirinya seperti Gita. Ajeng juga menyukai Lintang, tapi sebatas mengagumi dan menghormatinya sebagai kakak. Selesai dihubungi Leslie, Ajeng menyiapkan obat untuk Lintang, membantunya meminumkannya. Meskipun ini pertama kali dia hanya berduaan dengan Lintang di dalam rumah besar ini di malam hari, perasaan Ajeng biasa saja, dan dia dengan santai melaksanakan tugasnya. "Kata Leslie dia kasih kamu oleh-oleh gantungan kunci." Lintang tiba-tiba menyinggung oleh-oleh yang diberikan Leslie kepadanya. Sebelum Gita pergi ke Batam, Gita memberinya gantungan kunci dan mengatakan bahwa benda itu adalah oleh-oleh dari Leslie untuknya. Ajeng menerimanya dengan senang hati, tapi karena Gita tampak menyukai gantungan kunci itu, Ajeng pun menawarinya untuk memilikinya, dan dia tidak keberatan sama sekali. "Iya, tapi aku kasih ke Gita. Dia suka, Mas." "Ck, Gita." Mata Lintang menerawang, dia jadi kangen adiknya yang manja, tidak dengan dirinya, tapi juga manja dengan Ajeng. Ajeng siap-siap pergi dari kamar Lintang. "Eh, mau ke mana?" "Ke kamar Gita." "Oh, ok." "Nanti Mas kalo butuh aku, telfon aja." Lintang mengangguk dengan wajah enggannya, tampaknya, dia ingin bicara banyak dengan Ajeng. "Mas harus istirahat yang cukup," lanjut Ajeng mengingatkan. Dia tahu Lintang merasa berat dia pergi dari kamarnya. Tahu rasanya sendirian di dalam kamar dalam keadaan sakit pula. Dia saja kalau sakit, bukan main manjanya dengan ibunya dan selalu ingin ditemani. Setiba di kamar Gita, Ajeng mendapatkan pesan dari ibunya, yang tenyata malam ini tidak bisa menginap di rumah Gita karena kelelahan, setrika yang menumpuk juga harus mempersiapkan kue-kue dagangan. Ibunya akan kembali menjaga Lintang keesokan paginya. Ajeng membalas dengan kata 'baiklah' dan mengabarkan bahwa Lintang baik-baik saja dan mulai makan banyak, setelah itu dia membuka-buka buku pelajarannya menjelang tidur. Kamar Gita sangat nyaman, dengan ukuran yang luas dan ada kamar mandi besar di dalam. Dibanding kamar Lintang, kamar Gita lebih luas dan dilengkapi dengan perabotan mewah. Kata Ibu, karena Gita anak bungsu dan tentu dimanjakan. Gita tidak saja mendapatkan jatah bulanan dari mamanya, tapi juga dari kakaknya yang bekerja di Melbourne, yang bernama Anung. Mungkin karena mereka tahu betapa sedihnya Gita ditinggal Papa untuk selama-lamanya di usia belia dan tidak sempat merasakan kasih sayang seorang Papa. Lintang juga sangat memanjakannya. Satu jam berlalu dan waktu menunjukkan pukul delapan. Ajeng biasanya tidur pukul sepuluh dan di jam segini dia sudah mengantuk. Ini karena kamar Gita yang terlalu nyaman dengan mesin pendingin puluhan juta yang sangat nyaman, membuat Ajeng cepat ingin tidur. Ajeng rebahkan tubuhnya di atas kasur empuk Gita. Alis Ajeng bertaut karena merasa sedikit aneh dengan kasur Gita yang sangat nyaman. Kenyamanan kamar Gita malah meresahkan Ajeng, dan dia memutuskan rebah di atas karpet tebal yang dia alasi dengan selimut tipis. Barulah Ajeng merasa tenang. Baru saja dia memejamkan matanya, ponselnya berbunyi, Lintang menghubunginya. Ajeng hendak mengangkat, tapi malah dimatikan dari ujung sana. Ajeng menggeleng sebentar merasa Lintang hanya salah menekan nomor. Dia memejamkan matanya lagi. Namun, dua detik kemudian Lintang menghubunginya lagi, dan lagi-lagi tidak bicara. Ajeng akhirnya dengan malas berdiri dari rebahnya dan berjalan ke luar dari kamar Gita menuju kamar Lintang. "Mas!" Ajeng kaget bukan main, Lintang menggigil dan wajahnya sangat pucat. Ajeng tanpa pikir panjang mendekatinya dan menyentuh dahi Lintang dengan tangannya. Suhu badan Lintang benar-benar sangat tinggi. "Minum ya, Mas." Ajeng lalu membimbing Lintang minum air putih yang ada di atas meja kecil samping tempat tidur. Lintang mengangguk, sambil merangkul Ajeng dan Ajeng melingkari pinggangnya, Lintang minum air dengan bimbingan Ajeng. "Mas Lintang kurang minum." Ajeng melihat bibir Lintang yang kering. Lintang hanya mengangguk lemah. "Kamu tidur sama aku malam ini ya." Lintang berkata pelan dan memohon. Ajeng mengangguk khawatir. "Hei, ke mana, Jeng?" Lintang bertanya karena Ajeng malah berbalik ke arah pintu kamar. "Ambil kasur tipis di kamar Gita, Mas." "Nggak usah, di sini aja, Jeng." Lintang menunjuk ke sisinya. Dia meminta Ajeng tidur di sampingnya. Tentu Ajeng tidak menyangka dengan keinginan Lintang. Lagi-lagi melihat wajah Lintang yang pucat dan bibir yang sangat kering, membuat Ajeng iba. "Nggak apa-apa, Mas?" Tanya Ajeng ragu. "Iya." Lintang semakin meringis, tangannya dia ulurkan seakan ingin Ajeng segera tidur di sampingnya. Ajeng pun mendekatinya lagi dan perlahan rebah di sampingnya. Suhu panas langsung menerpa tubuhnya. "Jeng." "Iya, Mas." Lintang memiringkan tubuhnya dan gerakan lemas, meraih pinggang, memeluk dan sedikit memaksa Ajeng ikut memiringkan tubuhnya agar berhadap-hadapan dengannya. Entah kenapa Ajeng sama sekali tidak merasa aneh atau merasakan getar-getar saat Lintang menyentuhnya. Dia dengan patuh menghadap Lintang dan membalas memeluknya. "Naik dikit ke atas, Jeng." Lintang ingin Ajeng sedikit menaikkan tubuhnya. Ajeng menurut, dia menggeserkan tubuhnya sedikit ke atas, lalu Lintang tanpa izin membenamkan wajahnya di leher Ajeng. Napas yang sangat panas keluar dari mulut Lintang, menerpa leher dan d**a Ajeng. "Duh, Mas. Panas banget." "Ya." Lintang mengeratkan pelukannya. "Padahal Mas tadi kan udah makan obat." "Iya, Jeng. Nggak tau kenapa." Lintang lalu menarik selimut tebalnya dan menutupi tubuhnya dan tubuh Ajeng. Mungkin pikiran Ajeng hanya fokus bahwa Lintang sedang sakit dan tubuhnya sangat panas, dan sama sekali tidak berpikir bahwa sebenarnya apa yang sedang dia dan Lintang lakukan sudah melewati batas. Entah Lintang yang memang menginginkan Ajeng atau memanfaatkannya? Tapi dia benar-benar panas tinggi malam itu dan dengan memeluk Ajeng lumayan membuat perasaannya tenang. Suhu kamar Lintang jauh lebih pas dibanding kamar Gita, tidak dingin juga tidak terlalu kering. Dan kehangatan yang diberikan tubuh Lintang kepada Ajeng, membuat jadi nyaman dan ingin cepat tidur. Beberapa menit kemudian, napas Lintang mulai terdengar teratur, mengorok sedikit dan akhirnya benar-benar tidur. Lalu Ajeng pun ikut tidur sambil memeluk Lintang. Mungkin karena tidur lebih awal, Ajeng terbangun tengah malam. Dia mendapatkan dirinya masih berpelukan dengan Lintang. Yang melegakan, tubuh Lintang berkeringat, dan suhu tubuhnya juga tidak sepanas sebelum dia tidur. Ajeng menurunkan selimut dari tubuhnya, dan ternyata Lintang ikut terbangun. "Jeng." Mata Lintang menunjukkan keengganan melihat Ajeng yang tampaknya ingin beranjak. "Mas udah keringat dingin dan nggak panas lagi, aku pindah ya." "Di sini aja, Jeng." Lintang merengek seperti anak kecil. Ajeng heran melihatnya sekarang, padahal biasanya Lintang tidak berlebihan begini. Apa memang karena dia sakit lalu berubah? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN