Hari Sial Ajeng

1140 Kata
Keduanya lalu melanjutkan tidur malam itu. Merasa Lintang sudah berkeringat dingin dan dia merasa agak kepanasan, Ajeng menurunkan selimut dari badannya dan Lintang juga menurunkan selimut yang menutupi badannya. Keduanya juga tidak lagi berpelukan seerat sebelumnya, tapi tetap tidur berdua. Entah kenapa, Ajeng berpikir bahwa Lintang hampir mirip dengan Gita yang manja dan pemaksa jika berada di dekatnya. Dia ingat sikap Lintang selama ini yang kerap memaksa ingin membantunya atau menghendaki sesuatu darinya, tapi juga terkadang cuek dan pendiam. Menurut Ajeng, Lintang adalah sosok yang misterius dan dia tidak berani menebak-nebak, meskipun sebenarnya Ajeng diam-diam menyukainya, sebatas mengagumi karena Lintang yang baik dan memiliki paras dan fisik yang sempurna. Terlepas dari semua itu, Ajeng tetap tidak mau berharap lebih. Dengan berdekatan seperti ini dan bahkan berpelukan, dia tetap berpikir bahwa Lintang hanya ingin tenang karena sakit yang sedang dideritanya. Dia sadari pula Lintang yang sudah memiliki pacar dan mereka dikenal pasangan serasi di sekolah. Ketenangan sikap Ajeng ini membuat tidurnya nyenyak di kamar Lintang. Pagi pukul lima lebih dia sudah bangun, sementara Lintang tidur dengan nyenyaknya. Dia melihat piyama yang melekat di tubuh Lintang benar-benar basah, karena keringat dingin yang mengucur deras saat suhu tubuhnya menurun. Ajeng sudah berdiri di sisi tempat tidur, memandang wajah Lintang yang sudah tidak lagi pucat. Namun, dia ragu apa dia harus pamit atau langsung pergi saja ke luar dari kamar Lintang. "Mas." Akhirnya Ajeng memutuskan pamit, khawatir Lintang mencari-carinya. Lintang membuka matanya dengan malas. "Ya?" "Aku ke kamar Gita ya, siap-siap sekolah. Nanti Ibu ke sini lagi, hm ... jangan lupa sarapan dan obat juga. Nggak apa-apa kan?" Lintang menghela napas berat. "Iya." Hanya itu yang ke luar dari mulut Lintang dan dia melanjutkan tidurnya. Ajeng menghela napas lega saat meninggalkan kamar Lintang, dia akan bersiap-siap kembali ke sekolah. Saat sudah siap dengan segala sesuatunya, Ajeng turun dari lantai atas dan ke luar dari rumah. Dia berpas-pasan pula dengan ibunya saat ke luar dari gerbang rumah Widya. Tentu saja dia tidak menceritakan kejadian semalam bahwa Lintang sempat mengalami panas tinggi dan dia menemaninya tidur hingga berpelukan. Dia hanya menyampaikan bahwa Lintang sudah baikan dan sekarang sedang pemulihan. "Oh, syukurlah kalo begitu. Semalam dikit banget makannya. Ibu khawatir." Arni akhirnya bisa menghela lega mendengar penjelasan Ajeng tentang keadaan Lintang sekarang. "Obatnya sudah siap, Bu. Sarapannya yang belum." "Ya, sudah. Biar Ibu yang siapin sarapannya. Kamu hati-hati di jalan ya." Ajeng menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangannya penuh hikmad. Dalam hatinya berharap Lintang juga tidak menceritakan hal yang sebenarnya terjadi semalam. *** Saat istirahat makan siang di sekolah, Leslie diam-diam menghubungi kekasihnya. Dia juga merasa agak lega karena Lintang mengabarkan bahwa dirinya sudah sehat dan hanya masih lemas saja, mungkin dua atau tiga hari ke depan dia baru bisa kembali ke sekolah. Akan tetapi, wajah Leslie menunjukkan tidak semangat saat bertemu dua teman dekatnya yang sudah duduk menunggunya di kantin. "Kenapa, Les?" Alea bertanya dengan wajah heran dan bingung. "Lintang masih sakit?" Alea masih bertanya. Leslie menggeleng. "Tadi dengarnya udah sayang-sayang dan ketawa-ketawa, kok malah cemberut begini?" Noni menyela setelah mengamati Leslie yang sama sekali tidak ceria. "Sudah sembuh. Tapi dia ngelarang aku jenguk. Katanya sudah ada yang jagain dia." "Ya udah, ntar juga ketemu lagi. Emang siapa yang jagain dia? Ajeng?" Alea iseng menebak dengan nada gurau. "Bisa aku cincang dia." Leslie menggeram mendengar nama Ajeng disebut-sebut. "Haha, serius amat," kilah Alea. "Lagian, kamu iseng amat nebak Ajeng yang jaga. Pembantu Lintang kan banyak," Noni membela Leslie. "Nggak. Soalnya kemarin Ajeng nitip surat izin lewat Alaric dan Alaric cerita ke aku. Dia juga nanya Ajeng siapa yang jaga dan Ajeng bilang ada, cuma Alaric lupa nanya siapa, eh dia malah becanda sama aku dan bilang Ajeng kali yang jaga." Noni melirik ke arah Leslie yang masih menggeram. Setiap nama Ajeng disebut, gadis bertubuh tinggi itu selalu bersikap seperti cacing kepanasan. Noni tepuk-tepuk pundak Leslie menenangkan, dan berkata penuh nada sesal ke Alea. "Kamu tuh apa nggak punya perasaan, Al. Sudah tau Leslie ini anti sama Ajeng, eh malah manas-manasin dia." "Oh. Maaf deh." Alea berdecih malas. "Jangan mentang-mentang kamu punya hubungan yang aman dengan Alaric, dan nggak ada yang bikin kamu cemburu, trus dengan seenaknya bikin kesel Leslie." Di antara mereka bertiga, Noni memiliki pemikiran yang bijak, meskipun terkadang dia ikut larut dalam kekesalan dua sahabatnya itu, ikut-ikutan sebal dan membela keduanya, bahkan rela menindas seseorang jika dua sahabatnya sedang kesal dengan orang itu. Mungkin karena dia tidak memiliki kekasih dan berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan tinggi, membuat dirinya 'sedikit' lebih bijak. Membayangkan Ajeng yang menemani Lintang seperti yang dikatakan Alea, menyebabkan Leslie kurang bersemangat mengikuti kegiatan di sekolah. Pikirannya terus dibayang-bayangi Ajeng. Apalagi Alea bercerita bahwa Ajenglah yang menitipkan surat izin sakit Lintang ke Alaric, dan barusan dia menghubungi Lintang, lalu Lintang sendiri tidak membolehkannya datang menjenguk ke rumahnya. Ingin sekali dia memaksakan diri untuk datang ke rumah Lintang dan memastikan siapa yang menjaga kekasihnya itu. Tapi Leslie tidak kuasa melakukannya karena Lintang adalah sosok yang pemaksa dan ketika dia tidak menginginkan sesuatu hal, jangan harap bisa merubah moodnya yang sedang tidak baik. Siang itu, saat jam pulang sekolah, Leslie yang sendirian diam-diam menemui Ajeng dan bertanya siapa yang menemani kekasihnya yang sedang sakit. Ajeng yang gugup dan tidak menyangka Leslie bertanya dengan wajah bengisnya, tidak mau menjawab. Wajah Leslie yang bengis dan kejam saat menatapanya meninggalkan trauma yang cukup mendalam, terutama saat membayangkan kue-kue dagangannya yang berjatuhan di atas lantai depan kantin sekolah. Ajeng memilih pergi, bahkan berlari menjauhi Leslie. "Hei!" melihat Ajeng yang tidak mengacuhkannya, Leslie mengejarnya dan menarik tangan Ajeng. Ajeng lengah, dan terjungkal ke belakang. Untung ada Alaric yang lewat, dan dia dengan sigap menahan tubuh Ajeng agar tidak terjatuh di atas tanah dengan posisi ke belakang. "Apa-apaan sih," Alaric menegur Leslie dan seketika Leslie menjadi sopan. "Becanda, Ric." Leslie dengan wajah manisnya menjawab. Memang jatuhnya Ajeng tidak begitu mencolok dan Leslie juga tidak terlalu kuat menariknya. Tapi mungkin karena Ajeng yang syok dan seketika menjadi lemah, jadi dengan mudah dia hampir terjungkal. Ajeng yang tidak ingin memperkeruh masalah, dengan cepat membenarkannya, dia berseru dengan riang 'Bye, Kak Leslie' ke Leslie saat berjalan cepat menjauh, seolah meyakinkan Alaric bahwa dia dan Leslie memang sedang bercanda. Leslie tidak patah arang, dia sangat geram dengan Ajeng yang seolah mempermainkannya. Saat sudah berada di dalam mobil dan mengendarainya, dengan mobilnya dia kejar Ajeng dan dengan sengaja pula melewati kubangan air lumpur dan menciprat ke Ajeng, sampai mengena ke wajahnya, karena tanpa sengaja Ajeng menoleh ke arah mobilnya. Ajeng menghela napas panjang, dan hampir saja menangis. Siang itu banyak siswa yang menertawainya, tapi juga ada yang menawarkannya tumpangan. Ajeng mau tidak mau menerima tumpangan dari motor salah satu murid yang tidak dia kenal, karena mana mungkin ojek mau menerima keadaannya yang basah kuyup dan sangat kotor. Ajeng sangat berterima kasih dengan murid berkerudung tersebut yang ternyata adalah murid kelas sebelas. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN