BAB 9: HAMIL

1001 Kata
SELAMAT MEMBACA  ***  3 minggu kemudian Utari sedang membantu Mbok Kem untuk memasak makan siang. Sudah hampir sebulan mereka tinggal bersama dan membuat mereka semakin akrab. Baik Mbok Kem, Utari ataupun Asep mereka sudah tidak canggung lagi saat berbincang bahkan ketimbang hubungan antar pekerja dengan majikan mereka lebih seperti keluarga. Apalagi Asep adalah pemuda yang baik dan ramah, jadi Utari sama sekali tidak canggung, dia justru menganggap Asep seperti temannya sendiri. "Asep masih nyabutin rumput Mbok?" "Iya masih, sana antar minum buat dia. Kasian kalau tidak di kasih minum." "Malas Mbok, biar Asep ambil sendiri lah ..." Utari justru mendudukkan bokongnya di kursi meja makan, dia meletakkan kepalanya diatas meja. Entah kenapa sejak pagi dia merasa malas, dan hanya ingin tidur. "Ehh kok begitu. Ayo sana antarkan minum, kasian dia." "Mbok... " Tari merengek malas untuk berdiri. "Ayooo sana, cepat..." Dengan malas akhirnya Utari membawa nampan yang berisi segelas jus dan camilan membawanya kehalaman sampun dimana Asep berada. "Minum dulu Sep," Utari meletakkan minuman yang dia bawa ke atas meja sedangkan dia duduk di kursi yang tak jauh dari tempat Asep bekerja. "Terimakasih Nya. Jangan repot-repot Nya, saya kan bisa ambil sendiri." Asep mengambil minuman yang dibawah Utari dengan sungkan. Utari sebenarnya sudah meminta Asep untuk memanggilnya nama saja seperti Mbok Kem memanggilnya, lagipula karena Asep lebih tua dari Utari jadi Utari tidak nyaman dengan panggilan Nyonya dari Asep. Namun, Asep tetap saja memanggilnya Nyonya. "Tidak repot lah, cuma ini. Ayo masuk dulu makan siang, Simbok sudah masak tadi." "Iya Nya, nanti saya nyusul. Mau selesaikan ini dulu sisa sedikit." "Yasudah, aku masuk dulu ya Sep. Nanti kalau sudah selesai, langsung makan siang didalam." "Iya Nya..." Utari langsung masuk kedalam rumah, dia merasa lapar dan ingin segera makan. Namun saat kakinya meninjak pintu dapur Utari langsung mencium bau yang membuat dia begitu mual. "Mbok ini bau apa?" sambil menutup hidungnya, Utari berjalan mendekat kearah Mbok Kem. "Bau apa sih, ini terasi," jawab Mbok Kem sambil tangannya tetap sibuk mengulek sambel. "Mbok, baunya tidak enak. Tari mual," ucap Utari dengan pelan. "Tidak enak bagaimana, biasanya kan kamu suka." Mbok Kem memperlihatkan sambel buatannya kepada Utari. Seketika Utari tidak lagi sanggup menahan mualnya. Dia berlari ke wastafel dan mengeluarkan semua isi perutnya. Hoekkk...  Hoekkk... Hoekkk... Simbok yang melihat Utari muntah-muntah langsung mengambil minyak angin dan mengusapkan ketengkuk Utari. "Kamu kenapa? Sakit? Kok muntah-muntah?" "Mual Mbok, sama bau terasi. Apalagi pas lihat sambelnya, langsung pengen mutah," Utari mengusap pelan bibirnya dengan punggung tangannya sendiri. "Kok aneh, biasanya kamu suka sama terasi." "Sekarang tidak suka," "Apa yang kamu rasakan?" "Lemes, lapar, tapi mual..." "Coba cek kedokter, siapa tau kamu sudah hamil. Kok Mbok merasa kamu hamil ya." Utari tertegun mendengar ucapan Mbok Kem. Apa benar dia hamil, selama ini dia tidak memikirkan hasil dari insemminasi yang dia lakukan beberapa minggu yang lalu. "Nanti habis makan, minta Asep antarkan kedokter. Siapa tau benar kamu sudah hamil..." Utari hanya mengangguk, mendengar ucapan Mbok Kem. ***  RUMAH SAKIT "Syukurlah, inseminasi yang kita lakukan waktu itu berhasil. Sekarang kamu positif hamil Tari..." kata dokter Bagas yang waktu itu membantu inseminasi Utari, juga yang tengah memeriksanya saat ini. Kini Utari tengah berbaring di atas brankar rumah sakit, memperhatikan sebuah layar kecil disamping penampilan gambar blur hitam putih yang tidak Utari fahami. "Jadi saya betulan hamil Dokter?" Utari masih tidak percaya dengan dengan apa yang dokter Bagas katakan. "Iya pasti Abi senang sekali, mendengar kamu hamil. Dia akan benar-benar jadi seorang ayah."  Utari terdiam mendengar ucapan dokter Bagas. Apa benar Abi akan bahagia mengetahui kehamilan. "Tapi Tari, saya tidak tau ini kebahagiaan atau tidak, ada yang harus saya katakan." Utari langsung khawatir, seperti ada hal yang tidak baik yang akan dikatakan dokter Bagas. "Apa dokter?" "Inseminasi rawan akan kehamilan kembar, seharusnya kita mencegah kehamilan kembar ini waktu itu. Karena kehamilan kembar pertama apalagi usiamu yang masih begitu muda sangat rawan. Tapi saya malah tidak mencegahnya saya tidak tau jika ini akan terjadi, semoga semua akan baik-baik saja. Kamu lihat di layar itu, ada dua kantung janin yang berkembang, kemungkinan bayi yang kamu kandung ada dua. Tapi kita akan lihat beberapa minggu lagi, apa benar kedua kantung itu akan berkembang." "Lalu bagaimana keadaan saya dokter?" "Saat ini semua baik, saya akan berikan vitamin dan beberapa obat untuk kandunganmu. Jaga pola makan, dan tidur yang cukup. Jangan memikirkan apapun yang membebani, bulan depan datang lagi kesini kita akan periksa janinnya lagi." Utari mengangguk, sambil mengusap pelan perutnya. Dia masih tidak menyangka jika benar ada kehidupan lain didalam dirinya. "Apa boleh saya minta tolong sama dokter?" tanya Utari dengan pelan. Dia tiba-tiba kepikiran akan sesuatu hal. "Apa?" "Apa dokter mau membantu saya?" "Tentu saja kalau saya bisa, pasti akan saya bantu," jawab Dokter Bagas dengan ramahnya. "Tolong jangan katakan pada Om Abi jika saya kemungkinan mengandung bayi kembar, cukup katakan saja jika saya sudah hamil. Jika dokter berkenan mengabulkan permintaan saya, tolong katakan itu saja." Utari memohon dengan pelan kepada Dokter Bagas. Dokter Bagas, merasa bingung dengan permintaan istri temannya itu namun tetap saja menyetujuinya. "Baiklah, saya tidak akan katakan apapun dengan Abi selain kehamilan kamu dan kesehatanmu." "Terima kasih Dokter."  Dokter Bagas mengangguk, setelah itu Utari pamit untuk pulang. Dia tidak sabar ingin memberitahu berita kehamilannya kepada Mbok Kem. Pasti wanita tua itu akan sangat senang. *** Apa yang Utari pikirkan ternyata benar terjadi, Mbok Kem begitu bahagia mendengar berita kehamilan Utari. "Mulai sekarang, jangan capek-capek dijaga kandungannya baik-baik ..." Utari merasa terharu mendengar nasehat Mbok Kem. Dia seperti mendengar nasehat dari ibunya sendiri. Andaikan Ibunya masih ada pasti dia sangat bahagia akan memiliki seorang cucu. Tapi mungkin jika orang tuanya masih ada, Utari tidak akan mengalami nasib seperti ini. Sudahlah tidak ada untungnya berandai-randai, lebih baik bersyukur apa yang ada. "Iya Mbok, bisa habis aku di omeli Om Abi kalau anaknya kenapa-napa hehehe..." "Dasar kamu ini, sudah sana istirahat.  Nanti Simbok buatkan wedang jahe biar kamu tidak mual lagi ..." "Siap..." Utari mengangkat tangannya, memperagakan sikap hormat. Mbok Kem yang melihat tingkah Utari hanya tertawa.  ***BERSAMBUNG**** WNG, 14 JANUARI 2021 SALAM E_PRASETYO   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN