08 - Rahasia gelap Liam, sadomasokisme.

1732 Kata
Suara desahan penuh nikmat Liam dan Clara saling bersahutan diiringi deru nafas keduanya yang sama-sama memburu. Liam dan Ckara tengah memadu kasih, berbagi nikmat juga keringat, ditemani derasnya hujan, membuat suasana percintaan keduanya semakin syahdu. Tempat yang kali ini Liam pilih untuk mewujudkan fantasi liarnya adalah hotel. Liam memiliki banyak sekali fantasi liar, dan Clara akan dengan senang hati mewujudkan semua fantasi liarnya. "Aku aman, Liam." Clara tahu kalau sebentar lagi Liam akan o*****e, jadi ia langsung memberi tahu Liam jika ia dalam kondisi aman, sehingga Liam bisa bebas memilih, mau mengeluarkannya di dalam atau di luar. "Kamu udah minum obat?" "Ud-udah," jawab Clara dengan susah payah. Liam menampar kuat pinggul Clara. "Akh!" Clara spontan menjerit. Jeritan kesakitan Clara membuat Liam semakin bersemangat. Liam kembali menampar pinggul Clara, kali ini jauh lebih kuat dari sebelumnya. Saking kuatnya tamparan yang Liam berikan, pinggul Clara sampai memerah, dan bekas telapak tangan Liam terletak jelas di sana. Lagi-lagi Clara menjerit. Tamparan dari Liam memang terasa sakit, namun di saat yang sama, Clara juga merasakan nikmat. "Apa kamu menyukainya, Clara?" Clara mengangguk. "Jawab, Clara!" "Aku menyukainya, Liam." Clara akhirnya menjawab pertanyaan Liam. Jawaban Clara membuat Liam semakin bersemangat. Semakin lama, gerakan pinggul Liam semakin cepat, menimbulkan bunyi yang membuat gairah keduanya semakin membara. "Aahh...." Desahan panjang Liam dan Clara kembali terdengar ketika akhirnya sepasang kekasih tersebut berhasil mencapai puncak kenikmatan. Liam melepas ikatan di kedua tangan Clara, setelah itu barulah menyingkir dari atas tubuh Clara. Liam membaringkan tubuhnya di samping Clara dengan posisi terlentang. Clara merubah posisinya menyamping menghadap ke arah Liam. "Bagaimana? Apa kamu puas?" bisiknya sambil membelai d**a bidang Liam yang berotot, dan penuh keringat. "Tentu saja, Clara." Liam menjawab jujur pertanyaan Clara. Liam ikut merubah posisinya, menghadap ke arah Clara. "Hanya kamu yang selalu bisa memuaskan aku," lanjutnya sambil menyeka keringat yang membasahi kening Clara. Nyatanya, sebelum akhirnya memutuskan untuk berselingkuh dengan Clara di belakang Evelyn, Liam sudah sering bermain wanita, tentu saja tanpa sepengetahuan Evelyn. Wanita-wanita yang sebelumnya pernah melakukan hubungan sexs dengannya tak pernah mau lagi melayaninya begitu tahu kalau dirinya menyukai aktivitas seksual yang dibumbui kekerasan. Liam akan merasa puas jika partner sexsnya menjadi pasif. Sadomasokisme, itulah diri Liam yang sebenarnya. Evelyn tidak tahu jika Liam adalah seorang sadomasokisme, dan sejauh ini hanya Claralah yang tahu tentang kelainan yang Liam miliki. Itulah mengapa ketika Clara meminta Liam memilih dirinya atau Evelyn, Liam tidak bisa memilih salah satu di antara keduanya, karena Liam mencintai Evelyn, namun Liam sadar kalau ia membutuhkan Clara. Alasan kenapa Liam tidak memberi tahu Evelyn tentang kelainan yang dimilikinya karena Liam takut kalau Evelyn tidak bisa menerima kekurangannya tersebut. Liam takut kalau Evelyn merasa jijik padanya, lalu Evelyn akan memilih untuk pergi meninggalkannya. Meskipun kini pada akhirnya Evelyn pergi meninggalkannya.. Pujian Liam membuat Clara berbunga-bunga. Clara bahagia. Ini memang bukan kali pertama Liam memberinya pujian, tapi Clara sama seperti wanita lain pada umumnya yang senang sekaligus bahagia jika mendapatkan pujian, apalagi dari pria yang kini bersatus sebagai kekasihnya. "Clara." "Hm." "Apa Evelyn mempunyai penyakit?" Sebenarnya Liam ingin bertanya, apa saja alasan seorang wanita mendatangi dokter kandungan, selain ketika hamil? Namun setelah Liam pikirkan lagi, lebih baik ia tidak mengajukan pertanyaan tersebut, karena Clara pasti akan berpikir yang tidak-tidak. Dalam sekejap, ekspresi wajah Clara berubah. Senyum manis yang awalnya menghiasi wajahnya kini sirna, binar bahagia di kedua matanya pun hilang, kini tatapan matanya berubah menjadi tajam. "Maksudnya?" tanyanya ketus. Liam menyadari perubahan nada bicara juga ekspresi wajah Clara. "Lupakan," ucapnya sambil merubah posisinya menjadi terlentang. Tanpa sadar, Liam malah melamun, memikirkan Evelyn. "Gue harus segera mencari tahu, apa alasan sebenarnya Evelyn mendatangi dokter kandungan?" ucapnya dalam hati. "Pasti dia lagi mikirin si Evelyn!" Clara membatin, 100% yakin jika saat ini Liam sedang memikirkan Evelyn. Liam tiba-tiba menuruni tempat tidur. Pergerakan Liam mengejutkan Clara. "Kamu mau ke mana?" "Aku mau mandi." Liam pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Clara yang kini masih berbaring di tempat tidur. "Sial! Sial! Sial!" Umpat pelan Clara sambil memukul-mukul ranjang. "Ternyata sampai sekarang dia masih memikirkan wanita sialan itu!" Tanpa sadar, Clara meremas kuat selimut yang kini menutupi tubuh telanjangnya. Selama 2 minggu belakangan ini, Liam tidak pernah lagi menyinggung tentang Evelyn, membuat Clara berpikir kalau Liam sudah melupakan wanita itu, tapi ternyata sampai saat ini Liam masih memikirkan tentang Evelyn, membuat Clara luar biasa kesal. Saking kesalnya, rasanya Clara ingin sekali berteriak, tapi ia tak bisa melakukan itu karena Liam pasti akan mendengar teriakannya. "Apa lagi yang harus gue lakukan supaya dia bisa ngelupain wanita sialan itu?" gumamnya dengan kilat amarah yang terpancar dari kedua matanya. *** 1 hari sudah berlalu sejak Criss mencari tahu tentang siapa wanita yang kemarin siang mendatangi apartemennya. Meskipun wanita tersebut mengenakan topi, masker, dan juga kaca mata hitam, tapi Criss yakin jika wanita tersebut adalah Evelyn. Sejak kemarin, Criss terus bertanya-tanya, kira-kira apa alasan Evelyn mendatanginya? Criss mencoba untuk mengabaikannya, namun sayangnya, semakin Criss mencoba untuk tidak memikirkannya, sosok Evelyn malah terus memenuhi pikirannya, membuatnya sampai tidak bisa fokus menjalankan segala kegiatannya. "Akh, sial!" Spontan Criss mengumpat sambil memukul stir mobil, merasa frustasi karena otaknya terus memikirkan Evelyn. Criss meraih ponselnya, lalu menghubungi asisten pribadinya yang bernama Satria. "Iya, Tuan." "Tolong cari tahu kegiatan Evelyn untuk 1 minggu ke depan." "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi Anda jika saya sudah mendapatkan informasinya." "Ok, terima kasih." Secara sepihak Criss mengakhiri panggilannya dengan Satria. Criss mengamati sekitarnya dibarengi senyum sinis yang kini menghiasi wajah tampannya. "Ternyata dia belum pulang," gumamnya. Criss keluar dari mobil, lalu memasuki lift berada tak jauh tempat mobilnya terparkir. Begitu lift terbuka, Criss mendengar suara obrolan dari kedua orang tuanya, Raka dan Diana. Saat berada dalam lift, Criss terus berdoa, semoga saja ia tidak bertemu kedua orang tuanya, dan sayangnya, ternyata doanya tidak terkabul. Dengan perasaan malas, Criss keluar dari lift. Sebenarnya Criss malas bertemu orang tuanya, tapi tak ada jalan lain yang bisa Criss lewati untuk sampai ke kamarnya, jadi mau tak mau, Criss harus melewati ruang keluarga, tempat di mana kedua orang tuanya berada. Suara dari lift yang baru saja terbuka menarik perhatian Rafa dan Diana. Keduanya sontak menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang datang. "Criss." Diana tak bisa menyembunyikan rasa senangnya begitu melihat kepulangan sang putra. Kedatangan Criss bukan hanya mengejutkan Diana, tapi juga Rafa. Keduanya terkejut ketika melihat kedatangan Criss mengingat sudah hampir 1 bulan ini Criss tidak pulang ke rumah karena Criss memilih untuk tinggal di apartemen. Berbeda dengan Diana yang terlihat bahagia, Criss justru terlihat biasa saja, bahkan kini raut wajahnya tampak datar. Diana bergegas menghampiri Criss. Diana ingin memeluk Criss, namun sayangnya Criss malah menghindar. Ini bukan kali pertama, kedua, atau ketiga Criss menolak untuk ia peluk, jadi Diana sama sekali tidak merasa tersinggung atas penolakan yang anaknya tersebut berikan. Tapi meskipun ini bukan kali pertama Criss menolak pelukannya, tetap saja Diana merasa sangat sedih. Diana menutupi rasa sedihnya dengan tetap tersenyum. "Kenapa gak bilang dulu sama Ayah atau Bunda kalau kamu mau pulang, Nak?" Diana mengamati penampilan Criss, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Diana merasa lega sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Diana bahagia karena Criss terlihat sehat, sedih karena Criss baik-baik saja meskipun tanpa kehadirannya. "Kenapa? Bunda gak suka kalau aku pulang ke sini?" Criss bertanya dengan nada sinis. Balasan Criss mengejutkan Diana, juga Raka. "Maksud Bunda bukan seperti itu, Criss," balas sendu Diana. Criss memilih untuk tidak lagi menanggapi ucapan Diana. Criss melanjutkan langkahnya menuju lift yang berada di hadapannya. Sikap tak sopan Criss pada Diana barusan membuat marah Raka. Raka marah bukan hanya kerena Criss yang baru saja bersikap tak sopan pada Diana, tapi juga karena Criss menganggapnya seolah tak ada. Raka yakin kalau Criss pasti menyadari kehadirannya, namun Criss tidak menyapanya, menganggapnya seolah tak ada. "Criss!" Ini bukan kali pertama Criss mendengar Raka membentaknya, jadi Criss sama sekali tidak terkejut. Sudah Criss duga kalau Raka pasti akan membentaknya. Bentakan Raka mengejutkan Diana. Diana segera menghampiri sang suami yang kini sudah beranjak bangun dari duduknya. "Yah, sabar." Diana mencoba untuk menenangkan Raka yang terlihat sekali sangat marah. "Anak itu sudah bersikap kurang ajar, Bun!" "Sudah, sudah, ayo kita duduk lagi." Diana menuntun sang suami untuk kembali duduk. Tidak adanya penolakan dari Raka membuat Diana lega. Diana melirik ke arah Criss yang kini sudah memasuki lift. "Itu anak makin lama kok makin kurang ajar," gumam Raka sambil menghela nafas panjang. "Yah, Criss butuh waktu," balas lirih Diana sambil tersenyum sendu. Helaan nafas panjang Raka kembali terdengar. Kini raut wajah Raka pun berubah menjadi sendu. "10 tahun, 10 tahun sudah berlalu sejak kejadian hari itu, apa waktu 10 tahun masih kurang bagi Criss untuk bisa menerima semuanya, Bun?" "Ini semua salah, Bunda." Seandainya saja waktu bisa diulang, maka ada banyak sekali hal yang ingin Diana perbaiki, termasuk kejadian 10 tahun yang lalu. Kejadian yang membuat Criss berubah menjadi seperti sekarang ini. Raka memeluk erat Diana yang kini sudah berkaca-kaca. "Ini semua bukan salah Bunda, tapi salah Ayah. Seharusnya dulu Ayah tidak membawa orang lain masuk ke dalam kehidupan kita," bisiknya sambil terus mengusap punggung sang istri, memberi sang istri kekuatan melalui sentuhannya. Pelukan Raka membuat Diana akhirnya tak bisa membendung tangisannya. "Bunda merindukan Criss yang dulu, Yah." "Ayah, tahu," balas lirih Raka dengan mata terpejam. Bukan hanya Diana yang merindukan sosok Criss yang seperti dulu, tapi Raka juga sangat merindukannya. Dulu Criss adalah sosok anak yang penyayang, lemah lembut, manja juga ceria, tidak seperti sosok Criss yang sekarang. Criss baru saja keluar lift saat ada panggilan masuk dari Satria. Cepat-cepat Criss mengangkat panggilan Satria. "Bagaimana? Apa kamu berhasil mendapatkan informasi tentang kegiatan Evelyn selama 1 minggu ke depan?" "Sudah, Tuan. Dari informasi yang baru saja saya dapatkan, besok Nona Evelyn tidak memiliki kegiatan apapun, tapi di hari sabtu pagi, Nona Evelyn akan terbang ke London." Langkah Criss sontak terhenti. "Evelyn akan terbang ke London?" "Iya, Tuan." "Tujuannya? Liburan atau karena ada jadwal pemotretan di luar negeri?" Criss terdengar sekali tidak sabaran.. "Maaf, Tuan, saya belum tahu pasti, apa tujuan Evelyn pergi ke London. Saya masih mencari tahunya, Tuan." "Ya sudah, tidak apa-apa." Criss tahu kalau mencari informasi tentang orang seperti Evelyn tidaklah mudah. "Apa jadwal saya besok sangat padat?" tanyanya harap-harap cemas. "Besok Anda harus terbang ke Singapura, Tuan." "s**t! Kenapa gue bisa lupa kalau besok gue harus ke Singapura!" Umpat Criss dalam hati. "Saya lupa kalau besok saya harus terbang ke Singapura." Padahal Criss berharap kalau besok ia luang supaya ia bisa pergi menemui Evelyn untuk menanyakan, apa alasan wanita itu kemarin mendatanginya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN