07 - Pilihan Evelyn, aborsi.

1551 Kata
Dengan langkah gontai, Evelyn memasuki kamar, lalu membaringkan tubuhnya di tengah-tengah tempat tidur. Evelyn memiringkan posisi tubuhnya sambil terus membelai perutnya. "Sekarang apa yang harus gue lakukan?" Untuk kesekian kalinya Evelyn menggumamkan kalimat yang sama, bertanya pada dirinya sendiri. Memikirkan tentang langkah apa yang selanjutnya harus ia ambil membuat Evelyn jadi mengingat kembali pembicaraan antara dirinya dengan kedua orang tuanya beberapa hari lalu. Seperti biasa, seusai menikmati makan malam bersama, Arya, Sonia dan Evelyn berkumpul di ruang keluarga. Arya dan Sonia duduk berdampingan di sofa yang sama, sedangkan Evelyn duduk di sofa yang berbeda, namun menghadap langsung ke arah kedua orang tuanya. "Jadi, apa yang mau Papah sama Mamah bicarakan sama Evelyn?" Evelyn memang terlihat santai, padahal sebenarnya saat ini Evelyn sangat gugup sekaligus juga takut. "Apa kamu menikmati pekerjaan kamu, Eve?" Bukannya menjawab pertanyaan Evelyn, Arya malah balik bertanya. Perasaan Evelyn langsung berubah menjadi semakin tak enak begitu mendengar pertanyaan Arya. "Papah kan tahu kalau menjadi seorang model adalah impian, Evelyn. Jadi Evelyn sangat menikmati pekerjaan Evelyn, Pah." "Dan kamu juga tahu kan kalau kamu satu-satunya anak Papah dan Mamah," balas Arya lemah lembut. "Evelyn tahu," jawab lirih Evelyn. "Papah sudah tua, Eve. Stamina Papah sudah tidak lagi sekuat dulu." Evelyn sudah bisa menebak, ke mana arah pembicaraan Arya selanjutnya. "Papah rasa, sudah saatnya kamu meninggalkan dunia entertainment." Sudah Evelyn duga kalau itulah kalimat yang selanjutnya akan Arya ucapkan, jadi Evelyn sama sekali tidak terkejut. "Kamu gak lupakan sama kesepakatan yang sudah kita buat, Sayang?" "Evelyn gak mungkin lupa, Pah." Ya, Evelyn tidak mungkin melupakan kesepakatan yang beberapa tahun lalu sudah ia buat dengan Arya. Dulu Arya melarang Evelyn menjadi seorang model, karena yang Arya mau adalah Evelyn fokus belajar bisnis mengingat Evelyn adalah anak satu-satunya. Larangan Arya tidak membuat semangat Evelyn untuk mengejar impiannya menjadi seorang model sirna begitu saja. Usaha yang Evelyn lakukan selama berbulan-bulan akhirnya membuahkan hasil. Arya akhirnya mengizinkan Evelyn untuk terjun dalam dunia entertainment, lebih tepatnya dunia modeling, tapi dengan berbagai syarat yang menyertainya. Arya mengangguk-anggukan kepalanya. "Baguslah kalau kamu tidak melupakannya," balasnya sambil tersenyum tipis. "Papah mau, sebelum kamu mengambil alih perusahaan, kamu pergi ke London, belajar dan bekerjalah di perusahaan milik Om Liam." "Lo-london?" Ulang Evelyn terbata. Kali ini Evelyn sangat terkejut, saking terkejutnya, matanya bahkan sampai melotot. "Iya, London. Belajar dan bekerjalah di perusahaan Om Liam selama 2 atau 3 tahun, setelah itu, barulah kamu kembali lagi ke sini untuk mengambil alih perusahaan, menggantikan posisi Papah." Sebenarnya Arya bisa saja meminta Evelyn untuk bekerja di perusahaannya, tapi menurutnya akan jauh lebih baik jika Evelyn belajar dan bekerja di perusahaan milik adiknya. Liam pasti bisa jauh lebih bersikap tegas pada Evelyn ketimbang dirinya yang sebenarnya tak tegaan. Tanpa sadar, Evelyn meneguk kasar ludahnya, sama sekali tak menyangka jika ia harus terlebih dahulu pergi ke London untuk bekerja di perusahaan milik Omnya, Liam. Arya dan Sonia menyadari keterkejutan Evelyn. Sudah keduanya duga kalau Evelyn pasti akan sangat terkejut. "Tapi kalau kamu memang tidak mau bekerja di perusahaan milik Om Liam ya tidak apa-apa." Arya tidak akan memaksa jika memang Evelyn tidak mau. "Kamu bisa langsung bekerja di perusahaan Papah atau bekerja di perusahaan milik orang lain, dan mari kita lihat, sejauh mana kamu bisa berkembang. Apa kamu layak atau tidak untuk mengambil alih perusahaan sekaligus menggantikan posisi Papah sebagai CEO." Evelyn tahu, cepat atau lambat, ia pasti akan dihadapkan dalam situasi seperti ini, tapi tetap saja, begitu menghadapinya secara langsung, rasanya sungguh sangat menegangkan. "Bagaimana? Apa kamu setuju sama rencana Papah?" "Pilihan mana yang harus gue ambil?" Itulah pertanyaan yang kini berputar-putar dalam benak Evelyn. Evelyn tak tahu, mana yang harus ia pilih? Apa sebaiknya ia bekerja di perusahaan milik Omnya? Papahnya? Atau justru bekerja di perusahaan milik orang lain? Mana dari ketiga pilihan tersebut yang terbaik? "Sayang!" Sonia menegur sang putri yang malah melamun. "Ma-maaf." Evelyn langsung meminta maaf saat sadar kalau dirinya baru saja melamun. "Papah akan memberi kamu waktu untuk berpikir, tapi hanya 1 minggu, tidak lebih dari itu." Arya tahu kalau Evelyn pasti terkejut setelah mendengar rencananya, karena itulah Arya akan memberi sang putri waktu untuk memikirkan semuanya secara matang-matang. Itulah sekilas pembicaraan antara Evelyn dengan kedua orang tuanya beberapa hari yang lalu. "Ok, sepertinya gue tahu langkah apa yang selanjutnya harus gue ambil." Evelyn meraih ponselnya, lalu menghubungi Arya, namun sayangnya, Arya tidak mengangkat panggilannya. Evelyn beralih menghubungi Sonia, dan tak lama kemudian, Sonia mengangkat panggilannya. "Halo, Mah." "Hai, Sayang." "Papah mana, Mah?" "Ada, kamu mau bicara sama Papah?" "Iya, Mah." "Sebentar ya, Sayang." "Ok." Setelah itu Evelyn mendengar Sonia berbicara dengan Arya, memberi tahu Arya kalau dirinya ingin berbicara. "Pah," sapanya setelah yakin jika Arya sudah mengambil alih. "Iya, sayang, ada apa?" "Kapan Evelyn harus berangkat ke London?" Pada akhirnya Evelyn memutuskan untuk pergi ke London, menurutnya itulah pilihan terbaik. "Apa kamu yakin memilih untuk bekerja di perusahaan milik Om Liam?" Arya yakin, Evelyn pasti tahu, seberapa keras dan tegasnya Liam, jadi sebenarnya ia cukup terkejut begitu tahu kalau sang putri memilih untuk bekerja dan belajar di perusahaan milik Liam ketimbang bekerja di perusahaan miliknya. "Evelyn yakin, Pah." Evelyn menjawab tegas pertanyaan Arya, meyakinkan Arya jika memang ia yakin dengan pilihannya. "Apa kamu yakin kalau kamu siap untuk memulai hidup baru, Eve?" Semuanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya, sudah bisa dipastikan jika kehidupan Evelyn akan berubah drastis, jadi Arya hanya ingin memastikan jika sang putri memang sudah benar-benar siap untuk memulai kehidupan barunya. "Evelyn siap, Pah." Menurut Evelyn, sekarang atau nanti tidak akan ada bedanya, toh pada akhirnya ia tetap harus melepas karirnya sebagai seorang model, dan fokus pada perusahaan yang sudah dengan susah payah Arya bangun. "Ok, kalau begitu, Papah akan segera menghubungi Om Liam, dan mengatur jadwal keberangkatan kamu ke London. Lebih cepat, lebih baik." "Iya, lebih cepat lebih baik," balas Evelyn. Setelah panggilannya dengan Arya berakhir, Evelyn langsung menghubungi Naomi. "Halo, Eve." "Hai, lo di mana?" "Gue di apartemen, kenapa?" "Apa lo lagi sama Siena?" "Enggak, gue sendirian kok." "Syukurlah," ucap Evelyn dalam hati. "Gue mau minta bantuan lo, dan gue harap lo mau bantuin gue." "Bantuan? Bantuan apa, Eve?" "Gue mau melakukan aborsi, dan gue yakin kalau lo pasti tahu kan di mana tempat untuk melakukan hal semacam itu." Dengan gugup, Evelyn memberi tahu Naomi, bantuan apa yang ia inginkan dari sahabatnya tersebut. Evelyn mendengar Naomi yang menghela nafas panjang. "Eve, apa lo yakin mau melakukan aborsi? Apa lo udah pikirin semuanya secara matang-matang, Eve?" Permintaan Evelyn tentu saja mengejutkan Naomi. Naomi tak menyangka kalau itulah pilihan yang pada akhirnya akan Evelyn ambil. "Gue yakin, Naomi!" Evelyn menjawab tegas pertanyaan Naomi. "Apa lo udah ngasih tahu si Criss kalau saat ini lo lagi hamil?" Naomi jadi berpikir jika alasan Evelyn memilih untuk melakukan aborsi karena Criss tidak mau bertanggung jawab, dan mungkin malah meminta Evelyn untuk menggugurkan kandungannya. "Awalnya gue memang berniat untuk ngasih tahu Criss kalau gue hamil anaknya, tapi setelah gue tahu kalau dia punya istri gue memilih untuk gak ngasih tahu dia tentang kehamilan gue." "Apa? Si Criss udah punya Criss?" Evelyn tahu kalau Naomi pasti akan berteriak, karena itulah, tadi ia langsung menjauhkan ponselnya. "Iya, dia udah punya istri," balas sendu Evelyn. "Gue gak mau merusak rumah tangganya, Naomi, dan karena gue juga belum siap untuk menjadi orang tua, jadi gue memilih untuk melakukan aborsi. Jadi gue mohon, tolong bantuin gue ya, please," lanjutnya memelas. Tidak ada tanggapan dari Naomi. "Naomi!" Evelyn akhirnya menegur sang sahabat yang tak kunjung membalas ucapannya. "Lo tahu, permintaan lo itu sangat sulit, Eve," balas lirih Naomi. "Gue tahu," balas sendu Evelyn. "Maaf karena lagi-lagi gue membuat lo dalam kesulitan, tapi lo tahu kan, kalau hanya lo yang bisa gue mintain tolong. Gue gak mungkin minta tolong sama Siena, lo kan tahu sendiri gimana dia." "Gue tahu," balas lirih Naomi. "Tapi kalau memang lo udah yakin sama keputusan lo, gue akan bantuin lo." Pada akhirnya Naomi memilih untuk membantu Evelyn. "Lo serius?" Evelyn tak bisa menutupi rasa terkejutnya karena memang sejak awal sudah berpikir kalau kemungkinan Naomi mau membantunya sangatlah kecil. "Gue serius, Eve. Gue akan bantuin lo." "Thanks, Naomi." Evelyn sedikit merasa lega, karena sampai sejauh ini, semuanya berjalan sesuai rencananya. "Sama-sama, Eve." "Tapi tolong jangan beri tahu Siena tentang masalah ini, Naomi." "Gue tahu, lo tenang aja, gue gak akan kasih tahu Siena." Naomi memang tidak berniat untuk memberi tahu Siena, tapi Naomi yakin, cepat atau lambat, Siena juga kedua orang tua Evelyn pasti akan segera tahu tentang masalah ini. Evelyn mengucap terima kasih, dan setelah itu, panggilan pun benar-benar berakhir. Evelyn kembali menaruh ponselnya di meja, lalu meraih tasnya. Evelyn mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih, dan dengan tangan bergetar, Evelyn mengeluarkan isinya. "Kamu masih sangat kecil," ucap Evelyn sambil tersenyum sendu. Evelyn mulai merasa ada rasa panas menjalar di kedua matanya. Semakin lama, pandangan Evelyn semakin memburam karena banyaknya air mata yang kini menggenang di kedua matanya. "Maaf," lirihnya sambil terus membelai selembar foto hasil usg yang memperlihatkan janin dalam perutnya. Evelyn mendekap erat foto tersebut sambil terus menggumamkan kata maaf diiringi air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya. Awalnya tangisan Evelyn sangat pelan, tapi semakin lama semakin terdengar jelas. Evelyn tahu, sangat tahu kalau janin yang kini ada dalam rahimnya sama sekali tidak bersalah, dirinyalah yang bersalah, tapi saat ini ia tak punya pilihan lain, ia juga belum siap untuk menjadi orang tua, maka ia memilih untuk melakukan aborsi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN