09 - Aborsi.

1516 Kata
Semalaman Evelyn tidak bisa tidur pulas, jadi pagi ini Evelyn bangun dalam keadaan kepala pusing. Alasan Evelyn tidak bisa tidur nyenyak karena Evelyn terus memikirkan tentang apa yang akan terjadi hari ini, karena hari ini Evelyn akan pergi ke tempat yang paling tidak mau Evelyn datangi. Secara perlahan, Evelyn menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil memijat pelan keningnya yang kini terasa pusing berkunang-kunang. "Sial! Rasanya pusing banget." Evelyn dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering nyaring. Evelyn bergeser mendekati nakas, lalu mengangkat panggilan dari Naomi. "Lo udah siap, belum?" "Gue baru bangun," jawab Evelyn dengan suara yang masih serak. "Gue udah di jalan, bentar lagi juga nyampe." "Ok, kalau gitu gue mau mandi." "Ok, bye." "Bye." Begitu panggilannya dengan Naomi berakhir, Evelyn bergegas pergi menuju kamar mandi. Kurang lebih 15 menit telah berlalu sejak Evelyn bersama Naomi. Saat ini keduanya dalam perjalanan menuju tempat di mana Evelyn akan melakukan aborsi. Naomi sadar kalau perasaan Evelyn saat ini campur aduk, antara takut, juga sedih, karena itulah, sejak tadi Naomi terus mengajak Evelyn mengobrol, berharap jika apa yang ia lakukan bisa membuat sang sahabat sedikit merasa tenang. "Kita sudah sampai," ucap Naomi. Ucapan Naomi mengejutkan Evelyn yang sejak tadi melamun. Evelyn sama sekali tidak sadar kalau laju mobil yang ia tumpangi sudah terhenti, dan kini sudah berada di tempat parkir yang ada di basement. Evelyn menoleh ke luar jendela mobil, saat itulah ia melihat ada banyak sekali mobil yang terparkir. Evelyn pikir, tempat yang akan ia dan Naomi datangi adalah tempat yang sangat terpencil sekaligus sepi mengingat tempat tersebut adalah tempat untuk melakukan praktek aborsi. Evelyn melirik Naomi. "Na, lo gak salah tempat, kan?" "Ya enggaklah," jawab Naomi yang kini tengah membalas pesan Siena. "Emangnya kenapa?" tanyanya dengan atensi yang kini sepenuhnya tertuju pada Evelyn. "Gue pikir kita akan pergi ke tempat yang cukup sepi dan terpencil," jawab lirih Evelyn yang kembali mengamati suasana di sekitarnya. Naomi melirik Evelyn, menghela nafas panjang saat melihat raut wajah Evelyn yang terlihat tegang, dan jelas sekali jika saat ini Evelyn sangat ketakutan. Naomi meraih kedua tangan Evelyn yang gemetar sekaligus juga sudah mengeluarkan banyak sekali kerigat. Evelyn terkejut, dan sontak menoleh ke arah Naomi yang kini tersenyum tipis padanya. "Lo takut ya?" "Apa terlihat jelas?" balas lirih Evelyn sambil tersenyum sendu. "Iya, lo terlihat sekali sangat ketakutan," jawab Naomi sambil mengangguk. "Iya, gue takut," balas lirih Evelyn sambil menunduk. "Gue takut banget, Na," lanjutnya dengan suara bergetar. "Gue tahu, karena gue juga takut." Naomi takut jika nanti proses aborsinya tidak berjalan lancar. "Jadi apa sebaiknya kita pulang aja?" Belum juga Evelyn menjawab pertanyaan Naomi, ponsel Evelyn yang ada di dalam tas berdering, membuat Evelyn dan Naomi sama-sama terkejut. Evelyn bergegas meraih ponselnya. Wajahnya menjadi pucat pasi begitu melihat siapa nama yang kini tertera di layar ponselnya. "Siapa?" Evelyn terlihat sangat terkejut sekaligus panik, membuat Naomi jadi penasaran, siapa orang yang kini menghubungi Evelyn? "Siena," jawab Evelyn sambil memperlihatkan layar ponselnya pada Naomi. "Angkat atau enggak ya?" tanyanya dengan raut wajah kebingungan. "Sebaiknya lo angkat aja, supaya Siena gak curiga." Naomi berpikir kalau Siena pasti akan curiga jika Evelyn tidak mengangkat panggilannya. "Tapi lo harus tenang, jangan gugup, dan tolong lo loudspeaker panggilannya supaya gue juga bisa dengar." "Ok." Evelyn menarik dalam-dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Setelah merasa berhasil mengatasi rasa gugupnya, barulah Evelyn berani mengangkat panggilan Siena. "Halo." "Lo di mana?" Evelyn melirik Naomi, melalui isyarat mata meminta Naomi untuk membantunya memberi jawaban pada Siena. Evelyn bingung, jawaban apa yang harus ia berikan pada Siena? Evelyn takut, jika ia mengatakan kalau ia ada di apartemen, maka Siena akan mendatangi apartemennya, begitu juga ia memberi tahu Siena kalau ia ada di rumah orang tuanya. Naomi mengetikan sesuatu di ponselnya, lalu memperlihatkan layar ponselnya pada Evelyn. "Gue lagi cari udara segar," ucap Evelyn sesaat setelah membaca tulisan yang ada di layar ponsel Naomi. "Lo pergi sama siapa?" Siena terdengar sekali sangat penasaran. Naomi langsung menunjuk ke arah dirinya sendiri. "Sama Naomi." "Syukurlah." Siena terdengar lega, dan itu membuat Evelyn bingung. "Kenapa dia terdengar sekali sangat lega?" tanyanya dalam hati. "Jangan pernah pergi sendirian ya!" Dengan tegas, Siena memberi Evelyn peringatan. "Emangnya kenapa kalau gue pergi sendiri?" Dengan polosnya Evelyn bertanya. "Lo tahu, gue takut lo bunuh diri!" Siena takut kalau banyaknya kejadian buruk yang akhir-akhir ini menimpa Evelyn membuat Evelyn depresi, lalu memutuskan untuk bunuh diri. Jawaban Siena berhasil membuat Evelyn tersenyum tipis. "Lo tenang aja, gue gak akan bunuh diri kok." "Baguslah kalau lo gak punya pikiran atau niat buat bunuh diri." Sekarang Siena benar-benar lega. "Oh iya, lo sama Naomi mau jalan-jalan ke mana?" "Gue belum tahu." "Ya udah kalau gitu, selamat bersenang-senang ya." "Iya, bye." "Bye, Evelyn." Obrolan antara Siena dan Evelyn resmi berakhir. Berakhirnya obrolan antara keduanya membuat Naomi akhirnya bisa bernafas dengan lega. "Untung aja dia gak curiga." "Iya, untung aja dia gak curiga." Bukan hanya Naomi yang lega, karena Evelyn juga merasakan hal yang sama. "Ya udah, ayo kita ke luar." Tanpa menunggu balasan dari Evelyn, Naomi keluar dari mobil, tak lama kemudian Evelyn menyusul. Naomi mendekati Evelyn. "Gue mau tanya sekali lagi, apa lo yakin mau melakukan ini semua, Eve?" Dengan ragu-ragu, Evelyn mengangguk. Keraguan Evelyn disadari oleh Naomi. "Lo yakin gak akan nyesel?" Kali ini Evelyn menggeleng, lalu menjawab jujur pertanyaan Naomi. "Gue gak tahu, apa nanti gue akan menyesal atau enggak, Na." Obrolan antara Evelyn dan Naomi harus terjeda karena kali ini giliran ponsel milik Naomi yang berdering. "Sebentar ya, ada pesan masuk." Evelyn hanya mengangguk. "Kita harus segera naik, sebentar lagi giliran lo," ucap Naomi sesaat setelah membaca pesan yang baru saja ia terima. Lagi-lagi Evelyn hanya mengangguk. Evelyn dan Naomi lantas memasuki lift yang akan membawa mereka menuju tempat di mana Evelyn akan melakukan aborsi. *** Criss sedang memeriksa dokumen ketika di kejutankan oleh suara ponselnya sendiri. Criss meraih ponselnya, cepat-cepat menggeser ikon hijau pada layar ponselnya saat melihat nama Satria. "Halo, Sat." "Maaf kalau saya menganggu waktu Anda, Tuan." "Tidak apa-apa, katakan saja ada apa?" Criss menyandarkan punggungnya, lalu memejamkan matanya. "Seperti yang Anda perintahkan kemarin, hari ini saya mengikuti Evelyn." "Lalu apa saja kegiatan Evelyn hari ini?" Criss terdengar sekali sangat penasaran. "Evelyn dan managernya yang bernama Naomi mendatangi tempat di mana biasanya para wanita melakukan aborsi, Tuan." Jawaban Satria mengejutkan Criss. Saking terkejutnya, Criss langsung menegakan posisi duduknya dengan mata yang kini terbuka lebar, dan kini raut wajahnya pun berubah menjadi tegang. "Tuan!" Satria menegur Criss yang tak kunjung menanggapi ucapannya. "Ta-tadi kamu bilang apa, Sat?" Saat ini Criss bisa merasakan jika kini jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. "Evelyn dan Naomi mendatangi tempat aborsi, Tuan." "Te-tempat aborsi?" Ulang Criss terbata. "Iya, Tuan." Awalnya Satria berpikir jika Evelyn dan Naomi akan pergi jalan-jalan ke mall, jadi cukup terkejut begitu tahu jika keduanya mendatangi tempat praktek aborsi. Satria bisa langsung tahu karena memang Satria juga pernah mendatangi tempat tersebut untuk mengantar teman wanitanya melakukan aborsi. "Evelyn dan Naomi mendatangi tempat aborsi, itu artinya mereka akan melakukan aborsi, kan?" Criss membatin, mulai menebak siapa yang akan melakukan aborsi, Evelyn atau Naomi? Criss tidak peduli jika orang yang akan melakukan aborsi Naomi karena itu sudah pasti tidak ada hubungan dengannya, tapi jika ternyata Evelyn yang akan melakukan aborsi, maka itu sudah pasti ada hubungan dengannya mengingat beberapa bulan lalu ia dan Evelyn pernah melakukan hubungan badan. "Siapa yang akan melakukan aborsi? Evelyn atau Naomi?" tanya Criss tidak sabaran. Criss beranjak bangun dari duduknya, mulai berjalan mondar-mandir ke sana ke kemari dengan ekspresi wajah kalut. Tiba-tiba Criss jadi teringat kembali tentang Evelyn yang beberapa hari lalu mendatangi apartemennya. Sekarang Criss sedikit sudah bisa menebak, apa tujuan Evelyn mendatanginya. "Saya tidak tahu pastinya, Tuan." "Cepat cari tahu, siapa yang akan melakukan aborsi!" Tanpa sadar, Criss membentak Satria. Bentakan Criss tentu saja mengejutkan Satria. "Ba-baik, Tuan, saya akan segera mencari tahu, siapa yang akan melakukan aborsi. "Maaf, saya tidak bermaksud untuk membentak kamu, Sat." Criss yang sadar jika ia baru saja membentak Satria segera meminta maaf, lalu memejamkan kedua matanya sambil menarik dalam nafasnya, mencoba untuk mengontrol emosinya supaya tidak meledak-ledak. "Tidak apa-apa, Tuan." Satria memaklumi sikap Criss karena Satria tahu, apa yang saat ini sangat Criss takutkan. "Apa tempatnya sangat sulit untuk di masuki?" Criss tidak pernah mendatangi tempat aborsi, tapi ia yakin jika tempat seperti itu memiliki keamanan yang sangat ketat supaya tidak bisa masuki oleh sembarang orang, dan supaya tempat tersebut bisa tetap aman. "Iya, Tuan. Tapi saya akan mencoba untuk menyusup masuk." Dalam hati, Satria mulai berdoa, semoga ia bisa menyusup masuk, dan semoga ketika ia masuk, semuanya belum terlambat. "s**t!" Umpat Criss sambil mengacak kasar rambutnya. Jika keamanannya sangat ketat, pasti butuh waktu untuk bisa menyusup masuk, lalu bagaimana jika saat Satria berhasil masuk, semuanya sudah terlambat? "Saya akan masuk sekarang, Tuan." "Ok, tolong segera kabari saya jika kamu sudah tahu, siapa yang sebenarnya akan melakukan aborsi, Evelyn atau Naomi." Sebenarnya jauh dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, Criss yakin jika Evelynlah yang akan melakukan aborsi, tapi pikirannya menolak untuk mempercayai nuraninya. "Baik, Tuan." Panggilan pun berakhir. "Aku tidak akan memaafkan kamu kalau sampai kamu membunuh anak kita, Eve," geram Criss penuh amarah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN