Rahasia

1528 Kata
"Pura-pura tegar di hadapan orang lain itu sungguh melelahkan" *** Langit begitu cerah seakan tidak menyisakan awan sedikitpun diatas sana. Pemuda jangkung dengan hidung mancung itu sedari tadi duduk cemas karena tidak menemukan Azura di dalam bis. Entah kenapa dia jadi khawatir akan gadis itu. Yena yang duduk di sebelahnya sesekali melirik kearah pemuda itu dengan mata memicing. Gadis itu tahu betul apa yang Alvaro pikirkan sekarang. Karena itu, Yena harus menjadi pengecut hari ini dengan menyuruh orang lain memberitahu Azura kalau Alvaro ingi menemuinya. Padahal itu hanyalah cara Yena untuk menjauhkan pemuda itu dari Azura. Licik ? Memang, Yena akui itu memang tindakan licik. Tapi pernahkah kalian mencintai seseorang dalam kurun waktu yang lama namun orang itu sama sekali tidak pernah menoleh kearahmu. Walau begitu banyak cara yang Yena lakukan, tetap saja Alvaro akan terus berjalan meninggalkannya tanpa berniat meraih tangan Yena untuk memberi harapan. Gadis itu terdengar berdehem pelan, "Al, nanti kita ke pasar malam yuk. Gue udah lama gak kesana, setelah dari Jepang kan gue belum pernah keluar rumah jalan-jalan, gue terlalu takut. Lo tahu sendirikan kalau gue gak punya teman dekat," ujarnya panjang lebar, namun nampaknya Alvaro masih terlihat menatap lurus kursi di depannya dan itu berarti pemuda itu sedang melamun. Yena berdecak lirih sembari memukul pelan lengan pemuda itu, Alvaro terlonjak kaget sembari menolehkan kepalanya pelan. "Lo dengerin gue ngomong gak ?" Alvaro tergagap sembari menggeleng membuat gadis itu mendesah panjang. "Lo mikirin cewek itu lagi kan ?" Alvaro menghela pelan, "Jangan mulai deh, Na." Katanya sembari menjatuhkan pandangannya pada jalan raya. Bis pun berhenti tepat di depan gerbang kampus membuat Alvaro sontak melesat turun tanpa menggubris omongan Yena yang memanggilnya. Pemuda itu mengedarkan pandangannya sembari mencari Azura, ia pun melangkah mendekat pada beberapa teman kelas Azura yang tengah mengobrol kecil. "Lo lihat Azura gak ?" Ujarnya pada gadis berambut cepol itu, gadis itu mengernyit sembari menoleh kanan-kiri tak menemukan gadis yang di cari pemuda di hadapannya itu. "Eh ada yang lihat Azura gak ?" Teriak gadis itu pada anak-anak kelas, mereka kompak menggeleng membuat Alvaro menggigit bibir kesal. "Ya ampun, apa jangan-jangan dia ketinggalan disana. Soalnya tas ada di gue, gue kira tuh anak lupa tasnya makanya gue angkutin naik di bis." Jelas salah satu teman sekelasnya, Alvaro sontak melebarkan mata sembari mendesah cemas. "Telepon woe telepon," "Ponselnya kan di sini b**o," balas yang lain, "Eh kak Maliq kayaknya masih disana, kan kak Maliq bawa motor." Alvaro mengerjap dengan alis bertautan. "Maliq ?" "Iya, dia kakak tingkat. Yang semalam nolongin Azura," Alvaro mengepalkan tangannya erat merasa kesal begitu saja. "Kak Adam," Alvaro menoleh kecil saat gadis berambut cepol tadi melambai pada kakak tingkat itu. "Kenapa ?" Ujar pemuda itu sembari melirik Alvaro sesaat. "Kak Maliq udah nyampe rumah belum ?" Adam mengangguk pelan, "Terus Azura dimana ?" Geram Albaro membuat keduanya termundur kaget. "Kalian itu bisa gak sih sebelum pergi cek semua mahasiswa-mahasiswi yang belum ada ?" Sentaknya membuat Adam mengangguk membenarkan. "Kita bukan anak TK yang harus urus semuanya, lagipula Azura udah dewasa pasti bisa ngurus dirinya sendiri." Jawab ketua jurusan dengan santainya, Alvaro berdecak kasar sembari langsung menendang kasar wajah pemuda itu. Melihat itu anak-anak memekik kaget dengan ulah pemuda itu, "Lo itu ketua dan juga panitia anjing, lo harusnya urus semuanya. Jangan cuma urus cewek-cewek aja lo b*****t !" Sentaknya sembari melayangkan tonjokannya kuat membuat pemuda malang itu terkapar di tanah. Yena yang melihat itu meringis kecil sembari menelan salivanya kasar. Bagaimana bisa Alvaro begitu pedulinya pada Azura ? Bagaimana bisa Alvaro masih tetap menjaga hatinya untuk Azura ? Yena berharap ia bisa menjadi Azura, agar cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Karena cinta sendiri sangatlah melelahkan dan menyakiti. *** Azura terlihat berjalan pelan menuju sekolah lamanya, mengetahui sang kakak yang mengajar disana membuat ia langsung bergegas cepat menuju Garuda. Gadis itu terlihat merogoh ponselnya sembari menelepon sang kakak, rasanya sudah lama tidak menelepon Azzam. "Halo Azzam," pekiknya nyaring membuat Azzam terkekeh di seberang sana, gadis itu tak henti-hentinya tersenyum lebar mendengar suara berat Azzam yang merdu ditelinganya. "Jadi lo di UKS ? Oke gue kesana sekarang," tutupnya lalu berjalan cepat menuju tempat yang Azzam sebutkan. Sampai di UKS pun ia menyempatkan menghela nafas merasa gugup seketika. Padahal ia hanya akan bertemu sang kakak, "Azzam." Pekiknya nyaring sembari langsung mengerarkan pelukannya pada tubuh tegap milik kembarannya itu. "Gue kangen lo tahu," katanya sembari masih melingkarkan tangannya pada tubuh Azzam. Azzam hanya sesekali tersenyum samar sembari membelai lembut kepala mungil gadis itu. Azura berdehem pelan saat menyadari dirinya kini jadi perhatian dua orang yang berada disana. Gadis itu mendongak kecil sembari melebarkan matanya kaget, "Kak Maliq ?" Ujarnya dengan tangan yang menunjuk tak sopan pada wajah pemhda itu, sontak Maliq menepis pelan telunjuk Azura di hadapannya membuat gadis itu tersenyum canggung. "Jadi kak Maliq punya adik disini, namanya Gio." Ujarnya sembari melambai manis pada pemuda jangkung di sebelah Maliq. Dari penglihatan Azura, Maliq dan Gio sangatlah berbeda. Maliq memang tampan tapi kulitnya lebih sedikit gelap, wajahnya datar dan menakutkan. Sedangkan Gio, manis, lucu apalagi pemuda berseragam putih abu-abu itu memiliki lesung pipit pada kedua pipinya. Sungguh menggemaskan bagi Azura. "Gimana kalau kita makan di kafetaria sambil ngobrol-ngobrol," ajaknya membuat Azzam mengangguk pelan, begitupun Gio yang terlihat mengangguk ragu. "Kak Maliq setuju ?" Pemuda itu tak menjawab malah berdiri dengan wajah datarnya membuat Azura terkekeh pelan untuk mencairkan suasana. "Anggap aja kak Maliq setuju," ujarnya langsung menggandeng tangan Maliq dan Gio bersamaan, Azzam hanya menggeleng pelan sembari mengekori ketiganya yang memimpin. Gio dan Maliq sama-sama pendiam dan tertutup, bedanya Gio terlihat menggemaskan sedangkan Maliq menakutkan. Apalagi mata tajamnya, jika bertemu dengan pemuda tolong hindari tatapan matanya kalau tidak anda akan kena dua kemungkinan. Pertama, takut dan menjauhinya. Kedua, takut namun tetap mendekatinya. Karena cinta awalnya dari mata kemudian turun ke hati. Jadi, berhati-hatilah. Azura terlihat mengajak Gio ke kasir setelah menyuruh Maliq duduk bersama Azzam disana. Gadis itupun terlihat sesekali menoleh pada pemuda yang terlihat malu-malu itu. "Lo kelas berapa ?" Ujarnya membuat Gio menunduk padanya, karena memang Azura dasarnya pendek. "Kelas XI kak, kelas berbeda." Azura menautkan alis mendengar itu, "Kelas berbeda ?" Gio mengangguk membenarkan. "Kelas berbeda itu kumpulan anak-anak yang tidak bisa diatur, yang notabennya di asingkan oleh sekolah. Kata kasarnya dibuang kak," jelasnya sembari tersenyum masam, "Emang ada ?" Ujar Azura dengan polosnya, Gio tak sadar tersenyum begitu saja melihat wajah cengo Azura. "Gila sih sekolah sekarang, terlalu menyiksa muridnya. Sekarang aja kan pulang sekolah hampir jam empat kan ?" Kesalnya membuat Gio terkekeh lagi, "Gakpapa, itu namanya suka-duka pas sma," katanya sembari tertawa kecil, Gio jadi ikut tertawa entah kenapa. Azura menoleh pelan, lalu menautkan alis bingung melihat kemunculan Maliq dengan garis wajah yang datar. Gadis itu mengerjap saat pemuda jangkung itu menarik Gio pergi dari sana membuat ia sontak mengekori keduanya. Azzam yang sedang duduk pun jadi ikut mengekori walau keduanya tertinggal jauh. Langkah kaki Maliq yang panjang tidak bisa tertandingi. "Itu mereka kenapa ?" Ujarnya pada Azzam di sebelahnya, keduanya menghentikan langkahnya saat melihat Maliq menarik kasar seragam Gio. Azura melebarkan mata kaget melihat banyaknya luka di tubuh remaja itu, gadis itu menelan salivanya kasar sembari mengerjap. "Gue gakpapa kak, gue beneran gakpapa." Ucapan ketakutan dari Gio membuat ia ingin menangis saja, Azzam di belakangnya hanya memegang lembut pundak sang adik. Dari jauh ia bisa melihat Maliq meninju tembok dengan kuatnya, ada titik darah muncul pada pergelangan tangan pemuda itu membuat Azura ingin mendekat namun Azzam menahannya. "Belum waktunya lo ikut campur, ini masalah mereka berdua. Peduli boleh, tapi ada batasnya. Batas yang tidak boleh kita lewati, mungkin ada beberapa orang yang senang jika ada yang peduli pada masalah mereka. Namun, beberapa orang juga tidak suka jika orang lain ikut campur. Karena apa ?" Azura mengerjap sembari menatap Azzam dengan bibir melengkung kebawah. "Karena itu bisa jadi rahasia terbesar mereka," tambahnya membuat Azura mendesah panjang, ia menatap punggung Maliq yang perlahan menghilang di balik pilar dengan Gio yang mengekorinya sampai ke parkiran. "Jadi gimana sekarang ?" Azzam menautkan alis, "Gimana apanya ?" Azura mendesis sembari memukul pelan bahu sang kakak. "Lo gak izinin gue buat ikut campur masalah mereka kan, kalau ikut campur masalah lo boleh, kan ?" "Emang ada masalah apa sama gue ? Eh aku ?" Ralatnya membuat Azura menarik kedua pipi kakaknya dengan gemas. Azzam pasrah saja, "Lo katanya lagi dekat sama salah satu ustadzah di pondok kan ?" Azzam menggeleng cepat, "Gak, kata siapa ?" Azura memutar matanya jengah. "Kata kak Jaelani," "Lo kenal Jaelani ?" Azura mengangguk, "Dia teman smp gue dulunya," Azzam mengangguk paham, "Pantes saja dia sering ngomonging lo ternyata gitu," katanya sembari menggetok kepala Azura pelan membuat gadis itu mengaduh kasar. "Jangan kebiasaan pegang tangan cowok apalagi gandeng kayak tadi," omelnya membuat Azura menyeringai lebar. "Sorry," ujarnya membuat Azzam terkekeh pelan. "PAK, PAK AZZAM !" Teriak salah satu murid sembari berlari kecil menuju keduanya, "Kenapa Daewhi ?" Tanya Azzam pada pemuda berambut belah tengah itu. "Itu pak anu, anu apayah tadi gue lupa." Ujarnya sembari mengingat-ngingat apa yang hendak ia katakan. Azura hanya menganga kecil melihat penampakan murid di depannya itu, "Coba istigfar tiga kali, terus sholawat satu kali, lalu baca taawudz." Ujar Azzam membuat pemuda itu menurut. "Saya ingat pak, itu anak-anak lagi hajar anak unggulan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN