"Disaat orang pendiam menyukai seseorang, dia akan mulai mengawasinya dari jauh"
***
Pemuda jangkung pemilik bulu mata lentik itu masih terlihat memasukan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. Teman-temannya yang lain sedari tadi sudah berdiri di depan jalan sembari menunggu kedatangan bis. Hanya ia yang masih sibuk sendiri dengan barang-barangnya.
Pemuda berahang tajam itu dari kemarin tidak ikut bersama yang lain untuk naik bis yang telah pihak kampus siapkan. Pemuda itu terang-terangan membawa motor besarnya karena ia tidak suka satu tempat atau satu ruangan bersama orang-orang berisik apalagi yang sok akrab padanya. Pemuda itu sangat menjauhinya, bukan karena dia anti sosial hanya saja ia tidak pandai dalam membawa diri dan terlalu malas untuk sekedar membuka mulutnya dan mengobrol dengan yang lain.
Samar-samar ia mendengar suara bis yang perlahan terdengar menjauh dari tempat kamping. Dengan mengangkat ranselnya dan mengangkatnya pada bahu lebarnya ia pun melangkah menuju tempat ia memarkir motor besarnya. Langkah kaki panjangnya mampu menyapu jalan dengan cepat tanpa menghabiskan waktu lama.
Pemuda itu mengerjap pelan saat melihat adik tingkatnya terlihat berdiri dengan tidak tenangnya sembari menggigit bibir.
Tiba-tiba gadis itu menoleh padanya yang tengah berjalan pelan kearahnya, gadis berkerudung itu terlihat nelebarkan mata kaget karena kemunculannya di balik semak-semak.
"Kak Maliq ketinggalan bis juga?" Ujarnya dengan tidak percaya, pemuda itu tak menjawab malah melangkah lurus membuat gadis itu mengekorinya.
"Kakak ada ponsel gak buat telepon yang lain, soalnya ponselku di ransel dan ranselnya sudah ada di bis," cerocosnya panjang lebar namun cowok itu sama sekali tak berniat menggubris.
Azura terlihat mendesah kasar sembari menautkan alis bingung, "Ini orang bisu sekalian tuli yah, dari tadi gue ngomong gak di gubris." Kesalnya sembari bercakak pinggang.
Pemuda jangkung itu terlihat mengangkat beberapa daun yang ia pakai untuk menutupi motor besarnya membuat Azura mengerjap cepat sembari tersenyum lega. Akhirnya ia bisa pulang tanpa harus jalan kaki, tunggu bagaimana cara bilangnya kalau ia mau nebeng pulang?
Maliq terlihat merogoh kantongnya sembari mengambil kunci motor, Azura perlahan mendekat sembari tersenyum kikuk membuat Maliq menautkan alis.
"Gue boleh nebeng gak kak, kakak gak perlu antar gue sampai rumah kok kak. Sampai depan kampus juga gakpapa," tuturnya sembari memohon, namun ia memukul jidatnya menyadari kebodohannya sendiri.
"Terus gue pulangnya naik apa, kan dompet gue ada di ransel." Gumamnya lirih sembari bermonolog sendiri, Maliq yang sudah menunggang motornya masih menunggu apa yang akan gadis itu katakan lagi.
"Kali ini aja deh kak, bantuin gue yah!" Mohonnya sudah mengatupkan tangan di depan d**a, pemuda di hadapannya itu hanya mengerjap pelan masih setia untuk bungkam.
Maliq terlihat menunjuk jok belakang motor dengan dagunya sembari menyuruh gadis itu naik. Namun, Azura hanya menganga dengan kening mengkerut tidak mengerti apa maksud dari cowok itu. Jangan salahkan Azura yang susah mencerna apa yang pemuda itu lakukan, tapi salahkan Maliq yang sama sekali tidak mau berkontribusi hanya untuk sekedar membuka mulut.
"Maksudnya apa kak? Kakak nyuruh gue pergi?" tanyanya dengan wajah sendu, Maliq menghela nafas pelan sembari menyalakan mesin motor.
"Naik!" Ujarnya lirih namun masih bisa ditangkap oleh telinga Azura, tanpa basa-basi gadis itu langsung melesat naik sembari mendudukan diri pada jok belakang.
Namun, Azura terlihat kesusahan untuk duduk mengingat di tengah-tengah mereka berdua ada ransel besar milik pemuda itu.
"Kak, maaf nih sebelumnya. Bukan bermaksud lancang, tapi bisa gak ranselnya simpan di depan. Gue takut jatuh kak, ntar orang kira kakak buang sampah di tengah jalan lagi," celetuknya untuk mencairkan suasana, entahlah ia tidak tahu kenapa jadi berubah banyak bicara sekarang.
Maliq melirik kecil pada spion motornya lalu memindahkan ranselnya ke depan dengan hati-hati. Azura terlihat tersenyum lega sembari berpegangan pada ujung jaket kulit milik pemuda itu.
Keduanya pun sudah melesat dengan motor besar milik Maliq, tidak ada lagi percakapan antara keduanya. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa berniat untuk sekedar mengenal satu sama lain. Jujur Azura kenal Maliq karena memang pemuda itu adalah salah satu senior yang dulu mahasiswa baru kagumi. Jadi otomatis Azura tahu nama Maliq karena memang nama pemuda itu menjadi bahan pembicaraan cewek-cewek. Tanpa ia sadari keduanya sudah mengendara jauh dan kini hampir dekat dengan kompleks rumah gadis itu.
"Rumah?" Azura mengernyit sembari mendekat pada pemuda itu yang masih berkendara, "Dimana?" Gadis itu masih menganga kecil sembari berusaha mencerna omongan Maliq yang terbilang irit.
"Oh rumah gue, nanti lurus aja kak terus kalau ada perempatan belok kanan." Jelasnya setengah berteriak, Maliq terlihat mengangguk pelan sembari masih melajukan motornya ke tempat dimana Azura jelaskan.
Azura pun terlihat turun dari motor besar milik pemuda itu sembari tersenyum tipis pada Maliq yang masih memakai helm fullfacenya itu.
"Makasih banyak yah kak," ujarnya dengan tulus, Maliq hanya mengangguk kecil sembari melesat pergi tanpa pamitan.
"Ada mulut kok gak dipake, lagi wasir kali yah." Azura mengerjap, "Lah kalau wasir kan bagian belakang yah, maksud gue sariawan elah," ujarnya bermonolog sendiri sembari membuka pagar rumah lalu melesat masuk.
***
Maliq terlihat memarkirkan motornya di depan rumah megah dengan kolam renang di samping. Pemuda itu tampak membuka helmnya sembari turun dari tunggangannya, lalu melesat masuk kedalam rumah.
Pemuda berahang tajam itu langsung masuk di dalam kamarnya tanpa menghiraukan wanita tua yang terlihat duduk menunggunya sedari tadi.
"Kamu sudah pulang dari kamping?" Ujar wanita tua itu sembari berdiri di ambang pintu, Maliq hanya mengangguk pelan sembari membuka sepatunya.
"Gimana kampingnya?" Maliq tak menjawab malah membuka jaket dan menyampirkannya pada sisi kasur.
"Kamu pernah teleponan lagi sama Gio tidak, nak? Soalnya Gio tidak pernah ada kabar lagi. Apa dia baik-baik aja disana sama papa kamu?" Pemuda itu menghela kasar merasa khawatir begitu saja, pasalnya sang adik tinggal dengan papanya sejak adiknya sekolah menengah pertama setelah kedua orang tuanya bercerai.
Hak asuh anak di dapat oleh papanya, namun Maliq memilih tinggal dengan omanya. Mamanya meninggal setelah satu tahun perceraiannya dengan sang papa.
"Sekali-kali kamu pergi lihat dia ke sekolahnya yah, nak. Oma khawatir terjadi apa-apa sama dia, kamu dan adik kamu itu kan sama-sama pendiam, oma takut diamnya bakalan jadi masalah buat Gio nantinya," Maliq kembali mendesah pelan sembari berpikir.
Pemuda itu terlihat bangkit dari kasurnya sembari menyempatkan mengambil jaket yang tersampir pada kasurnya. Omanya mengerjap melihat pemuda itu sudah memakai sepatunya lagi.
"Kamu mau kemana?" Ujarnya sembari mengekori cucu sulungnya itu, "Sekolah," Omanya mengernyit sembari menghela nafas.
"Kamu mau ke sekolah Gio?" Maliq mengangguk pelan lalu melesat pergi ke garasi mengambil motornya yang terparkir disana.
Pemuda itu langsung melajukan motornya menuju jalan raya yang sudah padat kendaraan. Walau ia dikenal pendiam dan juga tertutup tapi ia sangat menyanyangi adik bungsunya itu. Pemuda bernama Muhammad Maliq Sabin itu sangatlah khawatir jika terjadi sesuatu pada adiknya.
Ia masih ingat bagaimana mamanya berpesan untuk menjaga Gio, karena Gio sangat lemah dan tertutup. Tidak seperti dirinya yang tertutup namun ditakuti oleh beberapa orang.
Tidak perlu menunggu lama, pemuda itu sudah sampai di depan gerbang sekolah sang adik. Ia melirik jam tangannya, tertera jam 14.00 disana dan artinya 45 menit lagi bel pulang akan berbunyi.
Namun, Maliq tidak mungkin menunggu disana selama itu. Ia memilih masuk ke dalam sembari menyusuri koridor sekolah menengah atas itu.
Salah satu guru terlihat berjalan pelan menuju kearahnya dengan alis bertautan. Maliq menatap guru itu dengan mengernyit pasalnya guru itu terlihat sebaya dengannya.
"Maaf, mau cari siapa ?" Ujar guru tersebut sembari tersenyum samar membuat Maliq menghela pelan.
"Gio,"
"Gio?"
"Giorgino Sabin," ujarnya membuat guru tersebut mengangguk paham.
"Anda siapanya Gio?" Tanyanya lagi, "Abang," jelasnya sembari menghela kasar.
"Oh saya gurunya, kenalkan nama saya Azzam." Ujarnya memperkenalkan diri sembari menjulurkan tangannya, namun Maliq sama sekali tak membalas uluran tangan Azzam membuat pemuda itu tersenyum samar.
"Mari saya antarkan ke UKS, soalnya Gio lagi sakit." Maliq mengerjap kaget lalu mengekori Azzam yang sudah melangkah duluan.
Kedua pemuda yang seumuran itu terlihat melangkah menaiki tangga dalam diam. Saat sampai di depan pintu UKS, Azzam langsung membuak pintu membuat Gio yang sedang berbaring menjatuhkan pandangannya pada pintu masuk.
Cowok berseragam putih abu-abu itu langsung terlonjak kaget melihat kemunculan sang kakak yang tiba-tiba.
"Bang Maliq?" Ujarnya sembari tersenyum lebar, Azzam yang melihat itu hanya ikut tersenyum. Berbeda dengan Maliq yang hanya menatap lurus Gio yang kini melihatnya dengan wajah berbinar.
"Abang mau jemput Gio?" Maliq hanya mengangguk lemah membuat Gio bersorak senang. Berbeda sekali dengan Gio yang pendiam dan tertutup di kelas.
Deritan ponsel Azzam membuat mereka menoleh pada pemuda itu, Azzam terlihat mengerjap sembari tersenyum lebar melihat nama siapa yang tertera disana.
"Azura!" Ujarnya dengan senyum lebarnya, Maliq yang mendengar itu jadi menoleh pada pemuda itu.
Omongan Gio pun sudah tidak ia hiraukan, mendengar nama Azura membuat perhatiannya teralihkan.
"Kamu disini? Serius?" Ujar Azzam sembari mengerjap cepat, "Aku di UKS, kesini aja." Katanya sembari menutup telepon.
Maliq masih memicing kearah Azzam yang masih tersenyum lebar setelah mendapat telepon dari Azura setelah sekian lamanya.
Deritan pintu UKS membuat ketiganya menoleh, gadis berkerudung di ambang pintu itu langsung memekik kecil sembari berlari memeluk erat Azzam membuat Gio dan Maliq menautkan alis bingung.
"Azzam gue kangen lo," ujarnya masih mengeratkan pelukannya, gadis itu baru menyadari kalau kini ia di UKS dan jadi pusat perhatian kedua orang itu.
Azura tersenyum canggung sembari menoleh ke samping, matanya membelalak melihat sosok yang tak asing itu berada disana.
"Kak Maliq!"