Merasa Jijik

1284 Kata
"Mau makan apa? Biar aku pesan." Gista mendekati Freya yang sedang berbaring di sofa panjang di lokasi syuting. "Kamu saja, aku enggak lapar," sahutnya uring uringan. "Kenapa sih? Ada apa lagi?" tanya Gista sekenanya. "Nothing," dustanya. Hari sudah malam, tapi proses syuting masih berlangsung, mau tidak mau Freya dan Gista harus menggunakan waktu istirahat mereka di lokasi syuting. Sebenarnya Freya sudah terbiasa lembur seperti ini, tapi waktu itu dirinya masih single, belum berstatuskan sebagai seorang istri, seperti saat ini. Beberapa saat lalu Freya menerima pesan singkat via w******p dari Zyan. Pesan sinis yang bernada ancaman itulah yang membuatnya uring uringan seperti saat ini, padahal Freya harus tetap pada mood yang baik karena masih harus melakukan dua kali scene lagi sebelum menyudahi proses syuting hari ini. "Suami kamu lagi?" Tak ingin dikelabui oleh sang sahabat, Gista kembali menerka. "Lagian juga yah, aku heran sih sama Zyan. Dia pasti ngerti dong sama pekerjaan kamu. Masa iya CEO perusahaan entertaiment enggak paham sama kerjaan para artis. Heran deh jadinya," gerutu Gista. Freya menghela napas kasar lalu mengubah posisinya untuk duduk. Beruntung kini keduanya tengah berada di dalam sebuah kamar yang hanya di isi oleh mereka berdua. Jika tidak, tentu ini akan menjadi obrolan panas orang orang di sana. "He is my husband. Jadi wajarlah dia gitu. Suami mana sih yang tenang lihat istrinya dekat sama laki laki lain yang notabene-nya mantan calon suaminya." 'Percaya diri banget sih Frey. Mimpinya ketinggian sih,' batin Freya merasa miris. Gista memutar kedua bola matanya malas. Ia percaya dengan apa yang di katakan Freya, bahkan Gista tak mencurigai sedikit pun dengan hubungan rumah tangga sahabatnya itu. Hanya saja Gista menjadi gemas sendiri dengan tingkah Zyan yang seolah seperti anak kecil. "Lah, dia kan tahu kamu artis. Tahu dong konsekuensinya, kalau cemburuan, kenapa harus nikahin artis papan atas seperti kamu? Sudah deh Frey, kamu mending siap siap gih. Cuci muka dulu," titahnya pada sang artis. Freya menganggukkan kepalanya, mengikuti saran dari sang sahabat yang merangkap sebagai sang manager. *** Langkah kaki Freya membawanya menaiki satu persatu anak tangga yang terhubung di lantai atas tempat kamarnya berada. Rasa lelah yang menggelayut di tubuhnya membuatnya ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur empuk yang akan memanjakan tubuhnya. Baru saja Freya ingin membuka pintu kamar, tapi terlebih dahulu di buka dari dalam oleh sosok laki laki yang tidak pernah bersikap baik padanya. "Mas, belum tidur?" tanyanya sok akrab. "Masuk," ucapnya datar. "Emang aku mau masuk mas." Bergerak masuk ke dalam kamar. Pintu kamar di tutup secara kasar oleh Zyan. Freya mulai merasakan aura mencekam di seluruh ruangan. Pertanda akan di mulainya pertengkaran kembali antara keduanya. Pasti masalah Bisma lagi, pikirnya. Lalu menghela napas lesu, pasrah dengan apa yang akan terjadi. "Duduk." Mengarahkan wajahnya ke atas kasur yang ada di sebelah Freya dan langsung di ikuti oleh Freya. Sumpah demi apa pun, Freya sangat lelah hari ini. Jika boleh ia meminta untuk di liburkan satu hari saja dari pertengkaran yang entah sampai kapan akan berakhir ini. Zyan berdiri di depan Freya dengan kedua tangan yang menyilang di depan d**a, lalu menatapnya dengan tajam. "Besok mama dan Jericho akan pulang," ucapnya. Sontak mata Freya berbinar, kabar yang di dengarnya ini sungguh membuat dirinya merasa lega dan bahagia. Pasalnya, ia akan kembali mendapatkan kebebasan di dalam kamarnya tanpa harus merasa canggung karena kehadiran Zyan. "Akhirnya tidurku kembali nyenyak kedepannya," ucapnya pelan. Freya tidak menyangka jika Zyan tidak membahas masalah Bisma malam ini. Ketakutan Freya perlahan berkurang. "Tapi, mama memaksa untuk kita tinggal di sana." Sambungan ucapan dari Zyan ini langsung membuat Freya seperti terhempas ke dasar jurang yang paling dalam. Itu artinya, keluar dari jerat mangsa dan terkurung kembali ke sangkar emas, pikirnya. "Terus? Kamu setuju?" tanyanya dengan mata yang membulat. "Menurut kamu?" Zyan kembali bertanya. Freya menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Pasti enggak lah." Sudut bibir Zyan terangkat ke atas saat mendengar jawaban dari sang istri. Ia sudah menduga jika Freya dengan yakin akan mengatakan itu. "Aku setuju. Dan mulai besok kita akan tinggal di rumah mama." Freya berdiri dari duduknya, matanya terbelalak dengan mulut yang terbuka. "Ha? Setuju? Tapi kan mas, itu bisa buat mereka curiga dengan pernikahan kita." "Enggak ada yang akan curiga, selama kamu ikuti semua kata kata aku." Berjalan memutari kasur dan naik ke atas kasur melalui sisi yang berbeda. Merasa bingung dengan apa yang dikatakan sang suami, Freya pun kembali ingin melayangkan pertanyaan pada sang suami. Sayangnya tangan Zyan yang terangkat seperti menjadi isyarat untuknya agar tak kembali bertanya. Di tambah dengan posisinya yang langsung berbaring memunggunginya. "Siapkan semua pakaian dan barang barangmu," ucap Zyan sebelum menutup matanya. Malam ini Freya harus tidur dengan perasaan yang tidak tenang. Bagaimana bisa ia akan melewatkan setiap malamnya selama dua tahun kedepan dengan laki laki yang tidak menganggapnya sama sekali. *** "Ma, maaf ya aku enggak bisa pulang barengan mama. Soalnya aku masih ada jadwal syuting pagi ini, tapi aku usahain sore akan pulang ma." Freya menggenggam tangan Renata dengan penuh penyesalan. "Enggak masalah, mama paham sama pekerjaan kamu." Renata tersenyum hangat sembari menepuk pelan lengan Freya. Mereka terpisah mobil, Renata menaiki mobil yang di bawa oleh Jericho, sementara Freya bersama sang sopir pribadi yang telah menunggunya. "Barang barang kamu sebagian sudah aku bawa langsung ya," ucap Jericho sebelum masuk ke dalam mobilnya. "Makasih loh Jer." Tersenyum manis dan di jawab anggukan kepala oleh Jericho. Freya menuju lokasi syuting, di antar sang sopir pribadi. Karena Gista masih akan mengurus pekerjaannya yang lain, jadilah Freya hanya datang dan telah di tunggu oleh asisten pribadinya. Tanpa di duga, Freya kembali bertemu dengan makhluk tuhan yang tak ingin ia temui selain Bisma. Hidup ini memang enggak semudah yang di bayangkan, pikirnya. Semakin ia membenci seseorang dan tak ingin bertemu dengannya, justru semakin membuat mereka terhubung satu sama lain. "Freya," sapa perempuan yang telah menorehkan luka padanya. Freya menghentikan langkahnya, mengatur napas secara teratur dan menstabilkan mood yang nyaris hancur karena melihat wajah perempuan yang muncul di hadapannya itu. "Bisa kita bicara sebentar?" tanya perempuan itu lagi. "Sudah enggak ada lagi yang perlu di bahas di antara kita," sahut Freya ketus. "Forgive me. Aku tahu itu salah, tapi aku enggak bisa bohongi perasaan aku kalau aku juga cinta sama dia, begitu juga dia." Dada Freya ingin meledak mendengar pengakuan mantan managernya itu. Sakit sekali mendengarnya, walau pun Freya sudah menjadi istri Zyan, tapi tetap saja perasaan itu masih ada, perasaan cinta yang terbalut oleh pengkhianatan yang menorehkan luka dalam. Berbeda dengan perasaannya yang hancur, wajah Freya justru menampilkan senyum ceria. "Oh ya? Selamat kalau gitu." "Aku minta tolong sama kamu untuk enggak mengganggu hubungan kami lagi. Aku enggak nuntut apa pun dari kamu selain itu." Hilda menatapnya penuh harap. Apa katanya? Mengganggu hubungan mereka? Cih, sebenarnya siapa sih disini yang mengganggu itu? Pikirnya geram. "Seharusnya aku yang akan menuntut kalian berdua." Menunjuk dirinya sendiri yang telah menjadi korban pengkhianatan. "Kamu enggak bisa salahkan aku, Freya. Itu juga salah kamu, kamu enggak bisa buat dia puas dan terlalu sibuk dengan pekerjaan kamu. Sebagai laki laki dia perlu perhatian lebih, dan itu di dapatkannya dari aku. Kamu enggak bisa melayani keinginannya sebagai pria dewasa." Dengan percaya dirinya Hilda berbicara menohok dan menyudutkan Freya. Mata Freya terbelalak dengan bibir yang tertarik ke atas. Ia menggelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada Hilda, tak habis pikir dengan ucapan yang terlontar dari mulut mantan managernya yang dulunya selalu terlihat baik. "Beginilah kalau otak terlalu memikirkan selangkangan." Lalu pergi begitu saja meninggalkan Hilda yang terdiam. Setibanya di dalam ruangan tempatnya biasa beristirahat, Freya langsung membanting kasar tas miliknya ke sembarang arah dan merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan d**a yang terasa sesak. Air matanya meluncur bebas bersamaan dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah cantik naturalnya yang belum tersentuh make up. Freya menuangkan kekesalannya beberapa saat lalu pada Hilda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN