Sebatas Kontrak

1228 Kata
~Cinta memang tidak bisa untuk di paksa, tapi hati selalu berkata jujur tanpa harus di paksa.~ *** Memuakkan sekali rasanya, di perlakukan secara tidak langsung oleh suami dan mantan calon suami sendiri dengan kata kata yang merendahkan. Freya sudah bertindak, ia memilih untuk tidak pulang ke rumah keluarga Edward. Melainkan ke apartemen miliknya sendiri. Sebelumnya, Freya telah memberi tahu sang mertua jika dua malam ini ia tak akan pulang dengan alasan yang ia karang sendiri. Terserah mau di cap sebagai menantu pembohong atau apa lah, yang pasti Freya tidak ingin bertemu dengan suami kontraknya yang arogan itu. Dari luar pintu kamar yang tidak tertutup rapat, Bik Darmi masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali. "Mbak Freya, sudah hampir jam sepuluh. Tapi Mbak Freya belum juga makan." Bik Darmi menyentuh sisi selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh Freya tanpa terkecuali. Sejak sampai di apartemennya, Freya memang langsung bergumul di bawah selimut dengan perasaan yang tak menentu. Ia bahkan melupakan makan siang dan malamnya. Bukan ingin menyiksa diri sendiri, bukan. Tapi memang tidak berselera untuk makan saat pikirannya hanya tertuju pada kejadian beberapa jam yang lalu itu. "Enggak bik, aku enggak lapar," sahutnya tanpa menunjukkan wajahnya. Bik Darmi merasa curiga dengan suara Freya yang terdengar sengau itu. "Mbak Freya sakit?" Semakin mendekatkan diri pada sisi kasur dan mencoba meraba permukaan kulit sang majikan. Merasa tidak sampai hati membuat Bik Darmi menjadi panik, Freya pun membuka menyibak selimutnya hingga menampilkan wajahnya yang sendu dengan mata sembab. "Iya bik, aku sakit," ucapnya sambil beringsut duduk menyandar di kepala ranjang. "Astaga, kenapa enggak bilang sama bibik? Yang mana yang terasa sakit mbak? Biar bibik carikan obatnya." Menempelkan tangannya pada dahi Freya. 'Enggak panas, normal kok suhunya,' batin Bik Darmi. Freya langsung memukul pelan dadanya. "Di sini bik, hati aku yang sakit." Menatap ke langit langit kamar untuk mencegah air matanya mengalir deras. "Ya ampun mbak, bibik panik." Menghela napas panjang. Sebenarnya Bik Darmi ingin lanjut bertanya mengenai sakit hati majikannya itu, tapi segera di batalkannya karena tak ingin terlalu mencampuri urusan sang majikan. Freya menarik napasnya secara kasar, lalu menyeka setetes air mata yang berhasil lolos dari pelupuk indahnya. "Begini banget ya rasanya sakit hati. Rasanya semua berwarna hitam." Baru kali ini Bik Darmi melihat Freya menangis sampai matanya sembab dan terlihat uring uringan seperti itu. Wajahnya pun terlihat begitu bersedih, membuat perempuan yang hampir paruh baya itu ikut merasa sedih. Tak lama nada dering panggilan dari handphone Freya terdengar. Membuat perempuan bermata hazel itu mencari keberadaan benda pipih kesayangannya dan langsung mengambilnya. Segera di bantingnya benda pipih itu ke sisi kosong kasur saat matanya melihat nama si penelpon tampil dengan jelas di dalam layar berukuran hampir tujuh inchi tersebut. "Ngapain nelpon nelpon, cih..." umpatnya pelan. Tak ingin membuat Freya merasa risih dengan kehadirannya. Bik Darmi segera undur diri dari hadapan Freya dan menutup rapat pintu kamar sang majikan. Berulang kali handphone Freya berbunyi, tapi tak kunjung di angkatnya. Dan berakhir dengan menonaktifkan ponsel cerdas itu tanpa menghiraukan ada beberapa pesan suara yang masuk melalui pesan singkat via aplikasi w******p. "Untuk apa menghubungi aku? Pasti mau mencaci maki lagi." Lalu berbaring dan kembali menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut tebal bermotif abstrak itu. *** Mata Freya masih terasa sangat berat untuk terbuka, tentu saja akibat semalaman dirinya menangis dan baru bisa tertidur di jam tiga pagi. Tapi karena sinar matahari yang masuk langsung dari luar jendela dan menembus permukaan wajahnya membuat tubuh perempuan itu menggeliat. "Aku masih mau tidur bik. Tutup lagi jendelanya." Menarik kembali selimut. "Sudah cukup tidurnya Freya." Menarik paksa selimut dan membuangnya jauh dari Freya. Merasa suaranya berbeda dengan Bik Darmi, Freya langsung membuka matanya. "Astaga, Gista. Kenapa kamu disini?" tanyanya tanpa menghiraukan tatapan sang manager yang mengerikan. "Masih tanya kenapa? Hah?" Membulatkan matanya sempurna. "Coba kamu lihat sekarang sudah jam sepuluh Freya. Dari tadi aku hubungi enggak di angkat angkat, aku cari ke rumah kamu enggak ada. Kamu benar benar deh ya, Freya." Berkecak pinggang sambil menggelengkan kepalanya samar. Tubuh Freya langsung terduduk dengan mata yang tak kalah membulat sempurna. "Apa kamu bilang? Ke rumah? Rumah Mama Renita?" tanyanya memastikan kembali ucapan Gista. Gista menganggukkan kepalanya sambil menyeringai. "Yap, betul. Kenapa? Mau protes?" tanyanya. Total, Freya melongo dengan mulut yang terbuka. Habis sudah, dengan begitu semua kebohongannya dengan Renata di telfon kemarin sudah terbongkar. Freya mengacak acak rambutnya sendiri. "Aaaa... Habislah aku," rengeknya. "Kamu bi-" "Aku enggak akan menjerumuskan kamu. Tenang saja, enggak ada yang tahu kalau kamu berbohong dan bersembunyi di sini." Gista langsung menghapus keputusasaan Freya. "Jadi?" "Aku cuma pura pura untuk minta di ambilkan beberapa sepatumu." Haah... Freya menghela napas lega. "Cepat mandi dan bersiap siap. Aku tunggu kamu di mini bar." Freya menganggukkan kepalanya dan bergegas turun dari atas kasur. "Enggak pakai lama. Sudah telat ini," sambung Gista sebelum melangkah keluar kamar. "Siap manager cantikku." Mengedipkan sebelah matanya pada Gista. Baru saja Gista akan membuka pintu, terlebih dahulu pintu terbuka dari luar. Pemandangan wajah tampan dengan setelan rapi tiga potong yang berdiri di hadapannya nyaris membuat Gista terpukau jika saja tatapan mematikan itu tidak terlihat oleh matanya. "P-pak ... Zyan." Menundukkan kepalanya. "Dimana Freya?" tanya Zyan. Gista hening beberapa detik, sebelum akhirnya suara pintu kamar mandi yang terbuka memecahkan fokus keduanya. "Gista, kamu li-" Masih menggunakan baju tidur mininya, Freya berniat ingin mengambil scrub mandi yang baru saja di belinya semalam, langsung menghentikan langkah dan ucapannya saat menyadari kehadiran Zyan di depan pintu. Tak ingin terjebak dalam situasi perang dingin yang terjadi antara suami istri itu, Gista memilih untuk segera keluar dari dalam kamar dan menutup pintunya dengan rapat. Freya menghela napas panjang, lalu mengalihkan tatapannya dan berjalan untuk mengambil kantong plastik berisi perlengkapan mandinya yang ia letakkan di sofa tunggal santai miliknya. "Kenapa dari semalam sulit sekali menghubungimu, Freya? Kamu sengaja enggak pulang kerumah? Ha?" Zyan berjalan mendekati Freya dengan wajah kesalnya. "Memangnya kenapa? Bersyukur dong harusnya. Kamu kan bisa dengan bebas ketemu sama perempuan itu," sahut Freya santai. Tangannya sibuk mengeluarkan satu persatu perlengkapan mandi dari dalam kantong plastik putih. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Freya. Kenapa kamu enggak pulang semalam?" Menarik pergelangan tangan Freya sampai posisi tubuh sang istri berhadapan dengannya. Sungguh, Freya sangat lelah untuk berdebat pagi ini. Tujuan Freya kembali ke apartemennya saat ini untuk menenangkan diri dan perasaannya yang kacau. Bukan untuk berdebat dengan siapa pun. "Sudahlah mas, aku sudah kesiangan. Mau mandi dan ber-" "Jawab pertanyaan aku!" Mengetatkan rahangnya sempurna. Iris hazel Freya menatap lurus pada iris pekat sang suami. Terlihat jelas kebencian di dalamnya, membuat Freya semakin merasa tidak ada harapan cinta yang akan tumbuh pada laki laki itu. "Apa bedanya aku pulang atau enggak mas? Itu enggak akan bisa merubah perasaan kamu juga kan?" Sakit sekali sebenarnya Freya melontarkan kata kata itu. Tapi mau tidak mau lagi, tidak ada pilihan lagi. "Aku berhak atas hidupmu!" bentaknya. Freya sudah tidak tahan, kali ini ia akan berteriak dengan lantang menyuarakan keberatannya. "Untuk apa mas? Cuma untuk me-" "Karena aku suami kamu, suami sah kamu!" Semakin meninggikan suaranya sambil menunjuk dirinya sendiri. Air mata Freya nyaris keluar jika saja tidak dengan cepat kepalanya sedikit menengadah ke atas untuk menjaga pertahanannya. Setelah mengatur ritme napasnya, senyum getir tersungging di bibirnya. "Sayangnya semua itu hanya sebatas kontrak saja, mas. Bukankah kamu sendiri yang meminta ini semua?" Bahkan suaranya sudah bergetar hebat. "Terimakasih, terimakasih sudah menyadarkan aku dari mimpi indahku dalam berumah tangga yang enggak akan pernah bisa aku rasakan." Lalu berjalan dengan langkah lebar menuju kamar mandi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN