"Bermimpilah setinggi langit sampai kamu terjatuh ke dasar jurang." Seringai licik membingkai jelas di wajah Zyan. Mematahkan hati Freya berkeping keping saat mendengarnya.
Freya, Freya... Apa sih isi dalam otakmu? Sampai harus berbicara sepercaya diri itu di depan laki laki yang sama sekali tidak mencintaimu. Kuat sekali mentalmu.
Mungkin karena pekerjaannya sebagai seorang artis profesional yang telah memerankan banyak karakter, jadi hatinya telah terbiasa terlatih menjadi seperti baja.
Zyan kini berbalik badan membelakangi Freya, tak berniat untuk melanjutkan perdebatan karena matanya yang masih sangat berat untuk terbuka. Mengingat, semalam ia harus mengemasi barang barang milik Freya dan memindahkannya di dalam kamar utama yang kini sedang keduanya tempati.
"Ah, mungkin dia tadi malam lagi mimpi atau berhalusinasi, mending aku pindahi lagi aja deh barang barang milikku," ucap Freya pelan di iringi sebelah tangannya yang menggaruk pelan sudut dahinya.
Kaki Freya perlahan turun dari atas kasur dan menginjak lantai, sampai suara Zyan yang mengerikan menghentikan gerakan Freya. "Jangan berani memindahkan barang apa pun sampai aku sendiri yang menyuruhmu pergi dari kamar ini."
"Eh..." Freya kembali menggaruk pelan dahinya dengan dahi yang berkerut. "Ta-"
"Mama ada di kamar kamu!" Zyan menyela dengan nada tinggi. Sontak saja membuat Freya membulatkan matanya terkejut. "Mama? Kapan datangnya mas? Kenapa kamu enggak bilang sama aku?" tanya Freya.
"Berisik! Aku mau tidur. Pergi sana!" Melempar kasar bantal ke sembarang arah.
Melihat sikap sang suami yang nyaris mengeluarkan tanduk, mengurungkan niat Freya bertanya lebih lanjut dan memilih untuk segera mengambil pakaiannya untuk di bawa ke kamar mandi.
Butuh waktu hampir dua puluh menit untuk Freya menikmati segarnya berendam bersama busa busa beraroma vanila, aroma kesukaannya sejak masih remaja. Freya bahkan nyaris memejamkan matanya dalam waktu yang lama jika saja telinganya tidak terganggu.
"Freya! Cepat! Bukan cuma kamu yang mau mandi, cepatlah, Freya!" Suara Zyan yang tidak terlalu berteriak namun sukses membuat Freya kalang kabut.
"Iya mas, sebentar sebentar." Keluar dari dalam bathtub dan langsung membilas tubuhnya sebelum memakai pakaian yang telah di bawanya.
Klak...
Pintu kamar mandi terbuka dari dalam, membuat Freya dengan jelas melihat wajah dingin sang suami yang di iringi dengan tatapan membunuhnya.
Beberapa detik Freya berdiam diri di tempatnya dengan handuk yang melilit di kepalanya. "Sudah mas, aku sudah selesai," ucapnya merentangkan sebelah tangannya mempersilahkan Zyan untuk masuk ke dalam kamar mandi, lalu melangkahkan kakinya untuk keluar dengan wajah tanpa dosanya.
Zyan menggeram, ia langsung menarik handuk yang melilit rambut Freya sampai terlepas dari kepala sang istri.
"Eh, eh, apa apaan ini?" Freya berusaha menahan handuknya dengan cara mengikuti arah gerakan tangan Zyan, tapi sayangnya tidak berhasil.
Percikan air dari rambut panjang Freya yang masih basah mengenai wajah Zyan, sontak membuat laki laki itu memejamkan matanya. Hidungnya bahkan bisa mencium aroma manis nan menenangkan dari wangi yang senada dengan sabun yang di pakainya.
'Sial, kenapa harum sekali,' batin Zyan mencuri cium aroma yang berasal dari rambut Freya.
"Kasar banget sih, kenapa harus tarik tarik juga coba?" gerutunya dengan suara yang nyaris terbenam. Freya mengambil kembali handuk yang tergeletak di atas lantai dan langsung bergegas untuk mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer dengan perasaan dongkol karena perlakuan Zyan padanya.
***
"Mama kenapa enggak bilang kalau mau ke sini? Aku kan bisa nungguin mama semalam." Menuangkan air lemon ke dalam gelas dan memberikannya pada Renata, sebelumnya terlebih dahulu menuangkan untuk sang suami.
Renata mengurai senyumnya untuk menantu cantiknya itu sambil menjawab, "Mama enggak mau mengganggu istirahat kamu, lagi pula ini enggak di rencanakan juga."
"Em... Jericho? Mana? Enggak ikut ma?" tanya Freya mengedarkan matanya mencari keberadaan Jericho yang sejak tadi tidak terlihat.
"Kebetulan Jericho ke luar kota untuk bertemu cliennya semalam, makanya mama minta di antar ke sini, nginap di sini," sahutnya dan di jawab anggukan kepala oleh Freya.
"Freya, kamu happy kan disini? Anak mama enggak buat kamu pusing kan?" tanya Renata melirik Zyan yang sejak tadi terlihat diam.
Mata Freya mengikuti pergerakan mata Renata, melirik Zyan dengan wajah penuh keraguan. Ingin Freya berkata jujur pada sang mertua tentang apa yang sedang mereka jalani selama satu bulan ini, tapi itu tidak mungkin. Freya tidak ingin menimbulkan masalah saat ini. Ia hanya ingin terpokus pada kariernya saja, menjalankan skenario yang di buat oleh Zyan dengan hati yang terpaksa kuat dan tahan banting. Hanya saja, Freya tidak yakin sampai kapan akan menyimpan kebohongan itu. Kebohongan yang di anggapnya seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, tanpa bisa di prediksi.
"Mama tanya sama kamu, sayang."
Uhuk... Uhuk... Uhuk...
Freya langsung tersedak, air lemon yang baru saja masuk ke dalam mulutnya nyaris tersembur jika saja tidak dengan cepat ia meneguknya.
"Freya, kamu... Zyan, cepat tepuk pundaknya pelan," titah Renata.
Zyan menghela napas kasar, jika bukan karena sang mama, mungkin Zyan akan membiarkan Freya tersedak sekali pun akan muntah. Tidak akan ia membantunya.
Sebelah tangan Freya bergerak melambai dengan cepat ke arah Zyan yang sudah mendekatinya, sementara sebelah tangannya lagi memukul mukul pelan dadanya.
Seringai licik kembali membingkai wajah tampan Zyan, ia langsung memukul pundak Freya sambil sesekali mencubitnya membuat tubuh Freya bergerak gerak kesakitan.
"Jawab dong pertanyaan mama, kamu happy enggak hidup sama aku?" Pertanyaan Zyan seperti isyarat untuk Freya agar perempuan itu tidak menjawab jujur.
Freya menoleh ke samping untuk mencari keberadaan mata tajam bak elang sang suami. Freya memicingkan matanya dengan kesal, ia tahu harus menjawab apa tanpa harus di gertak sekali pun.
"Tentu saja aku happy, ma. Aku beruntung bisa menikah dengan pria baik seperti mas Zyan, hari hariku bagai di surga." Menekankan kata 'surga' sambil tersenyum miris pada Zyan sebelum mengalihkan pandangannya pada Renata.
Entah kenapa Zyan merasakan sakit yang teramat di dalam dadanya saat mendengan penekanan kata itu. Zyan tahu jika semua yang di ucapkan oleh Freya memiliki makna yang berlawanan.
"Iya? Syukurlah kalau begitu. Mama tahu kalau Zyan akan memilih seorang istri yang tepat. Meski pun kamu memiliki popularitas sebagai artis, tapi kamu tahu cara merawat dan patuh pada suami. Mama bisa melihatnya, Freya." Renata begitu terpesona dengan kebaikan sikap menantunya itu. Sejak pertama bertemu Freya, Renata memang sudah yakin jika Freya adalah perempuan yang baik.
"Cih... Baru juga satu bulan ma," cibir Zyan berguman sambil berjalan kembali ke tempat duduknya.
"Freya..." Renata menatap menantunya dengan mata berbinar.
Freya menaikkan kedua alisnya sambil mengangguk pelan.
"Kamu sudah hamil?" tanya Renata lagi.
Pppffff...
Semburan air dari dalam mulut Zyan membasahi setelan jas kerjanya sendiri.