5. Cerita Hari Ini

1065 Kata
“Assalammu’alaikum!” seru Salwa saat memasuki rumahnya. Sang ayah dan ibu yang sedang menonton tv di ruang keluarga menoleh ke arah pintu. Tak lama kemudian Salwa muncul dengan senyuman di wajahnya yang ayu. “Aku lolos, Yah, Bun.” Salwa menghampiri kedua orangtuanya lalu memeluk ibunya erat. “Alhamdulillah,” ujar Rahmi menepuk nepuk pundak anaknya bangga. “Berarti kamu sudah jadi karyawan Ganesha ya, Wa,” imbuhnya kemudian. “Iya, Bun, alhamdulillah.” Salwa melepaskan pelukannya. “Kalau ayah sih sudah mengira kamu akan keterima, Wa,” kelakar Karsa pada putrinya. “Selamat ya, Nak, semoga pekerjaan ini bisa membuatmu nyaman, menjadi yang lebih baik, jangan lupa selalu berdoa dan dekat dengan Allah SWT,” nasehatnya seraya mengusap usap punggu putrinya. “Pasti, Yah.” Salwa mengangguk yakin. “Terus gimana dengan wawancara tadi? Kamu udah dapat teman baru?” tanya Rahmi penasaran. “Ehm, ya... masih kenalan sih, Bun. Dia ikut tes wawancara bareng aku. Kita sempat ngobrol, makan siang bareng dan ternyata kita berdua dinyatakan lolos tes dan diterima jadi karyawan Ganesha. Malahan kita satu divisi, Bun, jadi nanti kita akan kerja bareng,” celoteh Salwa menceritakan kenalannya tadi di Ganesha. “Wah, bagus dong,” ujar Karsa ikut menimpali. “Namanya siapa?” tanyanya kemudian. “Namanya Ibra, Yah. Dia lebih tua dari Salwa,” jawab Salwa. “Laki laki?” Rahmi mengerutkan keningnya samar. “Iya.” Salwa mengangguk, ia melirik ayah dan ibunya sekilas. “Tenang aja, Yah, Salwa nggak akan macam macam kok. Salwa tahu batasan pertemanan laki laki dan perempuan,” ucap Salwa berusaha menjelaskan supaya orangtuanya tidak salah paham. “Bunda tahu kok, Wa. Kamu nggak mungkin merusak kepercayaan ayah sama bunda.” Rahmi tersenyum hangat. “Lagipula, kamu itu kan bukan lagi anak remaja. Kamu perempuan dewasa yang sudah bisa menilai sendiri mana yang baik dan mana yang buruk,” imbuhnya kemudian. “Tapi nasehat kami tetap ya, Wa.” Karsa bersuara dengan suara tegasnya. “Tidak boleh ada norma yang di langgar, batasan kalian harus jelas dan yang paling penting... jangan mengecewakan kami sebagai orangtua kamu,” nasehatnya. “Kita tidak melarangmu untuk berteman dengan lawan kenis, tapi ayah harap kamu punya prinsip dengan hubungan pertemananmu.” “Iya, Yah.” Salwa mengangguk lalu tersenyum. “Bagus.” Karsa tersenyum puas. “Oh, iya, Yah, Bun!” seru Salwa teringat dengan kejadian salah paham tadi. “Tadi masa’ ada yang mengira kalau aku itu karyawan di Ganesha,” ocehnya mulai bercerita. “Hah? Maksudnya?” tanya Rahmi tak mengerti. Karsa, meskipun tatapannya lurus ke arah tv, tapi sebenarnya ia juga mencuri dengar pembicaraan anak dan ibu tersebut. “Jadi tadi aku naik lift kan, terus ada laki laki yang masuk ke dalam lift. Dia kerepotan gitu, bawa banyak berkas terus sampai telfonan yang sepertinya ada sesuatu yang salah hingga membuatnya marah.” Salwa diam sejenak. “Terus?” tanya Rahmi penasaran. “Nah, ternyata lantai tujuan kita itu sama, yaitu lantai 15,” ujar Salwa. “Terus tiba tiba aja dia nyuruh Salwa untuk bawa berkas berkas yang dibawanya ke ruang rapat, dia mengira kalau Salwa itu salah satu karyawan Ganesha.” “Hah? Kamu nggak jelasin sama dia?” tanya Rahmi kemudian. “Gimana aku bisa jelasin kalau setelah ngasih berkas, dia pergi gitu aja,” sahut Salwa. “Terus gimana? Kamu beneran naruh berkasnya di ruang rapat?” “Iya.” Salwa mengangguk. “Terus aku ditanya kenapa bisa bawa berkas tersebut, lalu aku jawab jujur aja.” “Hahahaha.” Rahmi tertawa kecil. “Lucu banget sih,” komentarnya kemudian. “Itu tandanya, kerja di Ganesha emang udah jodoh kamu, Wa, sampai orang salah oaham sama kamu padahal kamu belum keterima,” komentar Karsa. “Ehm, gitu ya, Yah.” Salwa tersenyum kecil. “Jangan jangan dia atasan kamu, Wa,” ujar Rahmi tiba tiba. “Ehm, kayaknya nggak mungkin deh, Bun. Dia sepertinya punya jabatan yang cukup tinggi, jadi nggak mungkin atasan aku yang notabenya baru masuk kerja.” Salwa menggeleng pelan. “Oh.” Rahmi mengangguk mengerti. “Ya sudah, cukup ceritanya. Sekarang kamu ke atas, mandi terus ganti baju. Bunda akan masak makanan spesial untuk merayakan keberhasilan kamu!” serunya kemudian. “Siap, Bun!” seru Salwa lalu pamit ke lantai atas. ***** Ibra masuk ke dalam rumah dengan senyuman lebar di wajah tampannya. Pria itu berjalan melewati ruang tamu, lalu mendekat ke arah ibunya yang sedang menonton tv. “Malam mamaku sayang.” Ibra mencium pipi ibunya kanan dan kiri. Pria itu tersenyum lebar di hadapan sang ibu. “Kamu kenapa? Senyam senyum kayak orang gila,” ujar Sofia menatap Ibra heran. “Tadi tesnya gimana? Lolos nggak?” tanyanya kemudian. “Alhamdulillah, lolos dong.” Senyuman Ibra semakin lebar. Membayangkan jika hari hari ke depannya akan semakin cerah mengingat ia dan juga Salwa bekerja di lantai dan juga divisi yang sama. “Alhamdulillah.” Sofia berseru senang. “Sekarang tinggal nyari calon menantu buat mama ‘kan?” imbuhnya kemudian. “Wah, kalau itu mama nggak perlu khawatir.” Ibra tersenyum menyeringai. “Ibra juga sudah punya calon menantu buat mama. Tinggal eksekusinya aja, Ma. Makanya Ibra minta doa, supaya apa yang Ibra inginkan itu tercapai,” jelasnya kemudian. “Serius? Siapa?” tanya Sofia tak percaya. “Ada, Ma. Dia juga ngelamar kerja di Ganesha, kita sama sama diterima,” jawab Ibra. “Oh, rekan kerja.” Sofia mengangguk mengerti. “Memangnya kalian sudah berapa lama pacarannya?” tanyanya kemudian. “Kita nggak pacaran, kan baru kenal tadi pas wawancara,” oceh Ibra. Plak! Sofia langsung menepuk pundak anaknya cukup kencang. “Kok di tampol sih!” seru Ibra mengaduh kesakitan. “Ya soalnya halu kamu itu kebangetan!” omel Sofia. “Kalian baru kenal hari ini terus udah bilang kalau perempuan itu calon menantu mama. Dia aja belum tentu mau sama kamu kok,” ocehnya kemudian. “Ya maka dari itu aku tadi minta doa, Ma,” ujar Ibra gemas. “Lagian ucapan itu kan doa juga. Siapa tahu nanti beneran jadian terus married,” imbuhnya masih mengaduh kesakitan. “Kamu kan belum tahu dia. Bibit bebet bobotnya gimana? Latar belakangnya gimana? Keluarganya gimana? Kamu fikir modal nikah itu cuma perasaan nyaman aja,” omel Sofia tak habis fikir. “Tau ah. Ngomong sama mama tuhbikin capek,” keluh Ibra lalu pamit ke kamarnya. "Yee, kamu aja yang nggak ngerti," komentar Sofia mencibir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN