Terlibat Kasus Serius

1561 Kata
Noi hanya duduk lemas ketika Adrian menjelaskan duduk perkara sesungguhnya, mengatakan tentang situasi Flo. Tadi malam, perempuan penyuka tato dan berbagai kehidupan liarnya meregang nyawa. Menjadi korban ke-tujuh, di kelopak mata kiri terdapat gambar yang tak begitu jelas, tetapi dengan mudah ia tahu jika sesuatu yang dilukiskan dengan jarum merupakan simbol illuminati. Baphomet, manusia berkepala kambing. Adalah satu dari puja-pujaan kaum Qabalis yang mewakili setan, lebih dikenal dengan kambing “Mendes”. Kekuatannya melambangkan kekuatan-kekuatan hitam disatukan dengan kemampuan beranak-pinak seperti halnya kambing. Apa maksudnya? Lalu, bagaimana dengan Dirga? Apa mungkin suaminya terlibat dengan pembunuhan berantai yang menurut keterangan Adrian terjadi sejak akhir tahun lalu? Noi tampak berpikir cukup keras, jika mundur pada tujuh bulan lalu, artinya pembunuhan pertama terjadi pada bulan Oktober. Dirga sudah putus dengan Flo, mereka pun telah menjalin hubungan serius. Tak ada tanda-tanda Dirga melakukan hal curang, mereka selalu bersama. Menghabiskan waktu berdua sepanjang waktu ketika luang, tak ada hal mencurigakan. “Kakak yakin jika Dirga terlibat?” Noi masih tak percaya dengan fakta yang dikumpulkan oleh Adrian beserta anak buahnya, lelaki itu meletakkan telunjuk di bibir. Isyarat diam yang cukup dipahami, tandanya mereka tidak boleh membicarakan dengan leluasa. Apa karena menyangkut nama sang suami? Noi cukup mengerti jika Adrian enggan membuat lima anak buahnya mendengar lebih banyak terkait kematian Flo. “Kita bahas di kamar. Mulai saat ini, hanya boleh mengatakan semua yang kamu tahu padaku. Mengerti?” Adrian mengatakannya dengan dua tangan memegang pundak Noi, menatap perempuan muda pemilik mata bola ping pong. Noi hanya mengangguk, lalu berdiri mengikuti sang suami alternatif. Adrian membuka pintu, memastikan semua orang benar-benar terlelap di ruang tamu. Mana mungkin mengatakan secara gamblang terkait menghilangkannya sang adik, semua orang akan langsung curiga pada Dirga. Adrian menutup pintu setelah merasa situasi benar-benar aman, mempersilakan Noi duduk di tempat tidurnya. Sebab, ini kamar kedua. Tak ada sofa atau apa pun untuk duduk, hanya single bed ukuran sedang. Noi menurut, cukup tenang. Mereka mendadak menjadi akrab seketika, membahas tentang korban ke-tujuh tentu bukan perihal sederhana. Adrian justru tak menyangka jika perempuan tersebut lebih memahami mengenai kode-kode rumit yang aneh. Adrian masih mengawasi dari jendela, apa harus serumit ini hanya untuk sekedar berbicara serius? Ia menunggu sedikit lebih lama, sang kakak ipar mengambil sesuatu. Rupanya laptop yang kemudian dinyalakan. Sembari menunggu loading, sesuatu kembali dikeluarkan. Flashdisk hitam dimasukkan, lalu Adrian mengoperasikan dengan jari. Menunjukkan beberapa hal penting di layar sehingga Noi menunjukkan wajah serius. Senyap, tanpa suara layar menampilkan wallpaper cukup bagus. Tulisan emas yang bergerak, Rastra Sewakottama. Noi melihat gerakan cepat tangan Adrian menari di atas keyboard, sabar ia menunggu. Detik berikutnya tampak file berupa video, sang kakak ipar menekan tombol play. “Dirga,” desisnya ketika melihat sosok tertangkap CCTV sedang mendorong kursi roda, wanita yang duduk tak lain adalah Flo. Perempuan dengan bibir sensual itu terlihat lemah, tetapi cukup segar ketika memberikan senyuman pada suaminya. Kedua tangan Noi terkepal, sangat kuat sehingga cukup meresahkan bagi Adrian. Pria tampan tersebut mulai berpikir buruk mengenai sang adik, apa Dirga memang sedang berselingkuh? “Dia meninggalkanmu tiga jam sebelum pernikahan, tertangkap kamera pengintai di rumah sakit Sehat Bersama satu jam sebelum resepsi. Sepertinya mereka pergi bersama, lalu ....” “Siapa saja yang melihat video ini?” tanya Noi membungkam mulut Adrian yang belum sempat menyelesaikan kalimat, “apa semua polisi itu tahu tentang keterlibatan Dirga?” Adrian menggeleng, dia memang memeriksa video yang dikirim melalui ponsel oleh pihak rumah sakit. Kemudian, ketika anak buahnya menerima salinan, polisi ganteng tersebut mengambil alih. Tak ada yang melihat video berdurasi dua menit tersebut selain mereka berdua. “Katakan padaku, apa Dirga terlibat semacam komunitas aneh atau menunjukkan gerak-gerik mencurigakan setahun terakhir?” tanyanya mulai serius menyikapi keterlibatan sang adik dengan kasus pembunuhan berantai, dia mulai gelisah jika ternyata memang saudara kandungnya tersebut berada di balik berbagai macam kejahatan yang menumbalkan nyawa. Adrian tak mau percaya dengan fakta yang didapat, tetapi semua bukti dan kesaksian Noi justru menguatkan dugaan tentang keterlibatan sang adik. Kalung berbentuk segitiga itu tentu miliknya, bagaimana bisa ada di TKP? Entah kebetulan atau memang sengaja diletakkan sebagai pengecoh, bisa pula memang benar-benar memiliki peranan penting. “Kakak curiga padanya?” tanya Noi dengan nada sedikit ketus sembari mengamati keraguan dalam tampang sang kakak ipar, “tak percaya pada adik sendiri?” “Kamu lihat semua bukti mengarah padanya, kalung dan juga video itu.” Adrian enggan percaya, tetapi saat bukti mengatakan kebenaran, tentu saja semua itu merupakan hal paling layak untuk tidak diabaikan. “Kalau kukatakan bukan Dirga pelakunya, apa Kakak akan percaya?” Noi mengatakannya dengan serius karena memang memiliki alasan terkait apa yang dilontarkan, dia menunggu sembari mengamati wajah sang kakak ipar. “Hukum tidak percaya kemungkinan dan intuisi, tetapi bukti.” Adrian menyikapi dengan profesional, ia enggan terpengaruh hanya karena hubungan pribadi dengan sosok yang kemungkinan besar terlibat kasus pembunuhan berantai. Noi terdiam, dia kembali memutar video di laptop. Benar apa yang Adrian katakan, manusia awam pun tetap tak akan menyangkal bahwa suaminya terlibat. Sekalipun bukan pembunuh, kemungkinan menjadi kaki tangan tentu sangat masuk akal. “Apa DNA Dirga ada di kalung itu?” Pertanyaan ini kembali terdengar mengingat perihal kalung yang ditemukan oleh tim penyidik di TKP, dia pun sedikit mencurigai hubungan sang suami dengan mantan kekasihnya tersebut. “Hanya ada DNA Flo.” Jawaban yang menjelaskan terkait kondisi kalung tersebut, Noi mengeriputkan kening. Tak masuk akal! Bagaimana bisa tanpa jejak DNA Dirga sama sekali? Kalung itu jelas-jelas dikenakan sejak mereka memutuskan membelinya enam bulan lalu. Noi tersenyum lega, artinya pelaku sengaja membuat jebakan. Kesalahan sederhana yang cukup melahirkan kelegaan, dengan begitu Dirga terlepas dari tudingan yang sangat mengarah padanya. Trik murahan yang begitu klasik. “Syukurlah.” Noi mengatakannya dengan senyum lega, dia yakin jika hanya perangkap untuk membuat sang suami menjadi tertuduh. “Bagaimana jika kemungkinannya justru Dirga yang sengaja menghapus jejak miliknya pada kalung itu?” Lagi-lagi Adridan mengatakan mengenai hal yang sangat serius, menghapus jejak senyum senang di wajah Noi. “Ada banyak kemungkinan lain, tapi ....” Noi menggantung kalimat di udara, jika memang pelaku adakah orang lain, seharusnya untuk menjebak Dirga bukan hanya membiarkan sosok suaminya terekam kamera pengawas di rumah sakit. Namun, membiarkan polisi menemukan jejak di kalung itu. Entah sidik jari atau DNA. Kenapa banyak sekali kejanggalan? “Kita masih punya harapan, jika ini tentang jebakan. Entah video itu yang sengaja dibiarkan bebas dilacak atau kalung milik Dirga di TKP, pasti ada bukti pengecoh.” Noi tak begitu memahami analisis sang kakak ipar, dia gelisah. Apa yang sedang menimpa suaminya di sana? Dirga sedang bersembunyi atau justru dijebak oleh pelaku sebenarnya? Jika memang bukan Dirga yang melakukan pembunuhan, lalu siapa? Baik Adrian maupun Noi tampak berpikir keras, mencoba mencari jawaban sesuai arah pemikiran masing-masing. Namun, buntu. “Boleh aku melihat wajah para korban?” tanya Noi dengan harapan akan bisa memberikan bantuan sekecil apa pun, dia hanya ingin menemukan fakta terkait keterlibatan sang suami. “Untuk apa?” “Membersihkan nama baik suamiku.” Adrian memasang wajah mengerti, tetapi tak ada anggukan. Bagaimana pun kasus ini dirahasiakan dari publik, hanya beberapa pembunuhan yang diungkap ke media. Jika sampai tersebar luas, akan membuat semua orang panik. Terlebih mereka yang memiliki putri di rentang usia dua puluh hingga dua puluh lima tahun. Sebab, mereka yang terbunuh tampaknya memang berada di umur tersebut. Para wanita muda dengan latar belakang berbeda. “Kamu bukan bagian dari kami dan ....” “Aku istri sah dari orang yang dicurigai sebagai tersangka utama.” Lagi-lagi Noi menghentikan ucapannya, Adrian tak bisa mengelak. Dia tak memiliki pilihan lain, lalu mengangguk sebagai isyarat kalah. Noi hanya tersenyum senang sembari menunggu, tetap tenang sampai Adrian benar-benar menunjukkan apa pun yang ingin diketahui. Dengan begitu, istri Dirgantara Jaya bisa lebih tenang dalam menyikapi banyak hal terkait menghilangnya sang suami. “Tidurlah, besok pagi saja. Aku tak mau yang lain curiga, bersikaplah seperti kita memang sepasang suami-istri. Berhenti keceplosan tentang Dirga di depan semua orang.” Noi tampak heran, baru kali ini mendengar ucapan panjang dari mulut suami cadangannya. Dia berdiri, melangkah pergi. Membuka pintu tanpa bersuara, sedikit berjinjit. Namun, dengan cepat diam di tempat. Adrian mencekal pergelangan tangan. “Ada apa?” Noi tetap berbisik walau kaget bukan main, posisi sedikit gelap membuat keduanya tak melihat wajah masing-masing. Satu tarikan cepat membawa dia masuk kembali, pintu kamar ditutup. “Mereka akan curiga jika kita ke luar dari kamar berbeda.” “Apa ini masalah besar? Mereka juga akan tahu jika kita sedang berpura-bura menikah setelah Dirga ditemukan.” “Sebelum itu terjadi, tetaplah berpura-pura menjadi istriku.” “Kenapa?” Adrian kebingungan, menghindari kontak mata dengan Noi. Meskipun hanya lampu tidur yang hidup, perempuan muda tersebut mampu melihat semu samar di kedua pipi kakak iparnya. Sangat aneh sekali! “Mami meminta untuk terus bersandiwara karena jika ketahuan maka keluarga besar kita akan jadi bahan untuk bergosip. Kamu tahu sendiri kalau Mami memiliki gengsi yang tinggi.” “Manis sekali jadi anak Mami,” canda Noi dengan tawa halus yang sangat pelan, “baiklah, kita akan tidur bersama malam ini.” “Bukan begitu juga.” “Eh!” “Aku bisa tidur di lantai, kamu istirahat di kasur.” “Tapi, Kak ....” “Tidurlah,” potong Adrian cepat sambil berbalik sempurna, ia menuju lemari dan mengambil beberapa selimut. Adrian menghamparkannya di lantai, Noi hanya tersenyum tipis.  Melangkah pelan, naik ke atas kasur. Lalu, tidur. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN