“Seperti yang dilaporkan oleh Direktur Dzaky kemarin bahwa kami akan segera membangun sebuah perumahaan kecil di salah satu pesisir pantai Pasir Putih, Lampung. Penandatanganan kontrak kemarin sudah diwakilkan oleh Jenia selaku asisten pribadi Dzaky.”
Meiying menyerahkan map berwarna biru tersebut ke arah Alvaro yang sedang membaca beberapa kontrak lainnya. Lelaki itu terlihat mengalihkan perhatiannya dan langsung meneliti dengan cermat.
“Di sana sudah mulai proses pembuatan sketsa yang diinginkan. Kebetulan kami memakai arsitek yang sama dalam pembuatan Perumahan Arsyasatya. Di sana terdapat beberapa lahan kosong yang cocok untuk dijadikan sebuah taman bermain bagi anak-anak.”
Alvaro terlihat mengangkat kepalanya dan menatap Meiying kesal. “Apa kamu tidak bosan terus-terusan menjelaskan hal itu kepadaku?”
“Tidak akan pernah. Karena tugas saya menyebutkan semua hal dengan rinci, termasuk kinerja para marketing yang mulai melemah. Sepertinya kita memang harus bertindak tegas sebelum perusahaan bangkrut hanya untuk menggaji orang-orang malas,” jawab Meiying tegas.
“Ya. Saya memang sudah seharusnya bertindak tegas dengan para marketing sialan itu! Lagi pula mereka tidak berguna untukku.” Alvaro mengancingkan jas formalnya, lalu bangkit dari tempat duduk sembari membawa kontrak yang baru diberikan oleh Meiying.
“Kalau begitu, saya akan memberi kabar pada bagian departemen SDM untuk segera mensortir karyawan yang belakangan ini mulai melemah.”
Setelah itu, Meiying melenggang pergi. Wanita muda itu melangkah dengan tegas melewati Zhou Yuan yang berdiri tepat di depan pintu dengan memasang raut wajah datar seperti biasa.
Kepergian Meiying pun membuat Alvaro menghela napas pelan. Baru beberapa hari dirinya tidak hadir di kantor, tetapi sudah mendapatkan laporan yang tidak memuaskan. Apakah dirinya harus ada setiap saat? Tidak mungkin. Karena ia juga mempunyai kehidupan yang harus segera ditata dengan rapi.
Namun, sikap para karyawan itu justru membuat Alvaro muak. Mereka hanya ingin digaji tanpa mau bekerja keras. Lantas, dirinya pun sama. Semua orang juga sama. Mereka ingin cepat kaya, tetapi menantikan uang turun dari langit. Memangnya mereka pikir akan ada Aladin yang menjatuhkan sekarung penuh uang? Mustahil.
Kalau mau kaya ya bekerja. Lelah? Wajar, namanya juga kerja. Akan tetapi, kalau ingin kaya dan tidak mau bekerja, maka tidurlah sana di ranjang. Lalu, memimpikan sebagai seorang milyader yang kaya raya.
“Zhou Yuan!” panggil Alvaro pelan.
“Aku di sini,” balas Zhuo Yuan tepat di hadapan Alvaro yang terlihat memijat kepalanya lelah.
“Tolong berikan saya laporan selama beberapa minggu terakhir,” pinta Alvaro menatap asisten pribadinya.
Tanpa pikir panjang, Zhuo Yuan langsung membuka ipad di tangannya, lalu memberikan pada Alvaro.
“Apakah selama saya tidak ada di kantor para karyawan di kantor menjadi babi pemalas?” tanya Alvaro sembari meneliti grafik yang mulai merambat turun.
“Iya, Predir Alva. Saya kerap kali melihat beberapa karyawan yang tertidur di ruang dan kadang mereka keluar-masuk perusahaan tanpa izin cuti,” jawab Zhuo Yuan.
Alvaro memijat pelipisnya lelah. Ia pikir tindakannya ini tidak berpengaruh besar pada perusahaan, tetapi nyatanya tidak. Baru beberapa minggu dirinya tidak hadir di perusahaan, selain menghadiri rapat. Namun, sebuah berita yang tidak mengenakkan sampai juga di telinganya.
Jujur saja, hal ini membuat Alvaro bingung bukan kepalang. Karena beberapa hari lagi akan ada rapat pemegang saham. Tentu saja fokusnya harus diberikan pada acara bergengsi itu, karena bangkit atau tidaknya keuangan akan terlihat pada rapat besar tersebut.
“Zhou Yuan, tolong berikan perintah pada masing-masing departemen untuk segera menyiapkan proposal mereka. Karena hari ini saya mau semuanya selesai!” titah Alvaro tegas.
Zhou Yuan mengangguk singkat. “Baik, Presdir Alva.”
Setelah kepergian Zhuo Yuan yang menginfokan pada semua departemen untuk segera menyiapkan proposal. Alvaro pun langsung membuka ponselnya, terlihat di sana ada salah satu pesan yang belum terbaca. Ternyata berasal dari Erina.
‘Hari ini gue pindah di salah satu perumahan kecil dekat dengan kantor. Apa lo mau datang mampir nanti?’
Begitulah isi pesannya, membuat seulas senyum kecil terbit di bibir Alvaro. Entah kenapa mood-nya yang sempat berantakan tadi langsung tertata sempurna hanya karena mendapat pesan singkat dari pujaan hatinya. Tanpa pikir panjang Alvaro langsung membalas pesan tersebut sembari terus tersenyum.
‘Oke, tapi lo harus menyiapkan makanan yang banyak buat gue.’
Tak lama kemudian, sebuah dentingan ponsel kembali terdengar. Padahal belum lama ia membalas pesan gadis itu, tetapi sudah mendapat balasan. Alvaro pun langsung mengambil ponselnya yang berada di atas meja, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
‘Tenang aja. Si gendut Wang lagi baik sama gue, jadi hari ini gue balik cepat. Oh ya, kalau misalnya lo jadi ke sini jangan lupa bawain daun bawang, ya.’
Alvaro menggeleng pelan membaca balasan dari Erina yang selalu meminta daun bawang kering ketika dirinya datang. Padahal awalnya gadis itu tidak menyukai sayuran tersebut, tetapi gara-gara dirinya yang sering membawa makanan itu, akhirnya Erina pun sangat menyukainya.
‘Oke. Selesai ngantor gue langsung ke sana.’
Setelah itu, Alvaro mendengar pintu ruangannya yang terbuka pun langsung menoleh dan mendapati Cherry. Gadis kecil itu terlihat tengah menggendong tas mungil di punggungnya, lalu berlari kecil menghampiri Alvaro yang tersenyum lebar.
“Om Alva!!!” panggil Cherry kegirangan sembari merentangkan tangannya lebar-lebar.
Alvaro pun langsung menyambut tubuh mungil tersebut, lalu mengangkat tubuh mungil yang ringan itu, dan meletakkannya di pangkuan.
“Uhm ... makin berat, ya? Nanti Om enggak kasih cokelat, ah.” Alvaro mengalihkan perhatiannya membuat Cherry mengerucut kesal.
“Ih, Cherry itu enggak gendut ya, Om,” balas Cherry kesal membuat Alvaro tertawa pelan.
Baru saja Alvaro hendak membalas perkataan Cherry tiba-tiba seseorang masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, membuat sang pemilik ruangan menghela napas pelan. Sepertinya ia memang harus sering mengunci pintunya agar tidak dimasuki oleh sembarangan orang.
“Dasar manusia santai! Lo bosnya malah gue yang repot,” sinis Jenia sembari mendudukkan diri kasar di sofa tepat di hadapan Alvaro.
Alvaro mengangkat alis kanannya bingung melihat sikap Jenia yang tiba-tiba marah tanpa alasan.
Jenia memutar bola matanya malas melihat respon Alvaro yang kelewat menyebalkan. “Gini, Mas Alva. Apa lo lupa udah beberapa hari ini enggak masuk kantor?”
“Kan gue di percetakan, Kak,” jawab Alvaro santai, lalu menurunkan Cherry dari pangkuannya. Sebab, gadis kecil itu terlihat bergerak tidak nyaman.
“Iya gue tahu, tapi seenggaknya lo datang ke sini buat lihat kinerja bawahan lo.”
“Memangnya mereka kenapa, Kak?”
“Biasa, mulai males-malesan. Mereka ngiranya lo itu bos yang terlalu santai, makanya selama beberapa minggu ini penyewaan properti rumahan merosot rendah. Padahal banyak banget pelanggang yang protes gara-gara penyedia jasanya lelet.”
“Kalau soal itu, udah gue tindak lanjut, Kak.”
“Bagus. Gue sama Dzaky ada urusan nanti, jadi gue titip Cherry dulu.”
“Mau kemana, Kak?”
“Ke luar kota. Mau gue titipin takut Cherry enggak mau, jadi mendingan sama lo aja.”
Alvaro mendengus pelan. Ia tahu kalau kakak sepupu iparnya ini sangat tidak ingin kalau Cherry sampai diasuh orang lain. Alasannya mudah, ia hanya tidak ingin membuat Cherry merasa terasingkan saat bersama dengan orang baru.
Dan ini bukan pertama kalinya ia mendapat titipan seperti pengasuh. Bukan tanpa alasan kalau Jenia melakukan itu, karena ia yakin sepasang suami-istri itu pasti tengah sibuk membereskan hal yang tidak sempat Alvaro bereskan.
“Berarti gue selalu ngajak Cherry, meskipun gue lagi jalan sama Erina. Gitu, Kak?”