Alvaro yang baru saja sampai di rumah besarnya pun terburu-buru masuk ke dalam, karena Dzaky sudah mengabarkan bahwa Kakek Wijaya sudah siap sedari tadi, dan hanya menunggu dirinya yang tidak kunjung datang.
Dengan setengah berlari, Alvaro memasuki ruang tengah yang hanya berisikan Kakek Wijaya beserta koper besarnya, sedangkan Dzaky tengah membereskan pelaratan milik Cherry. Lalu, Jenia sedang mengatur jadwal keberangkatan papah mertuanya yang terhitung satu jam lagi. Sebab, beliau mengambil tiket pada jam penerbangan malam, katanya biar sampai di Jakarta pagi-pagi.
“Akhirnya, lo dateng juga!” ucap Dzaky kesenangan melihat adik sepupunya yang datang sembari melepaskan dasi.
“Kok lo enggak bilang sama gue, Bang!” protes Alvaro kesal, lalu melepaskan jas formalnya yang ia sandarkan pada sandaran sofa.
“Mau bilang gimana, coba? Gue aja baru tahu pas Jenia bilang,” balas Dzaky sembari mengangkat mainan milik Cherry, lalu membawanya ke arah salah satu lemari yang kosong, dan meletakkannya di sana.
“Gue lagi nganterin Erina tadi. Untung aja lo ngasih tahunya pas gue lagi di kantor.”
“Jangan salahin gue. Tuh, salahin Kakek lo yang tiba-tiba ngebet balik.”
Alvaro menatap ke arah Kakek Wijaya yang terlihat sibuk dengan ipad di tangannya. Wajah tua keturunan Aryasatya memang menurun padanya, sehingga terlihat dewasa. Padahal umurnya sudah lebih dari setengah abad.
“Kek, kenapa pulangnya mendadak begini? Bukannya udah janji mau nemenin Alva rapat tahunan besok?”
Kakek Wijaya terlihat melepaskan pandangannya dari ipad, lalu menatap kedua lelaki yang mulai beranjak dewasa. Padahal belum lama beliau melepaskan Dzaky untuk segera menikahi Jenia, lalu Alvaro yang selama ini beliau anggap kecil sudah beranjak seperti kakak sepupunya. Mampu menjalankan perusahaan sebesar itu, walaupun bukan itu yang akan diwariskannya nanti.
Akan tetapi, semua penerus Aryasatya mempunyai tes dalam perkembangan perusahaan raksasa di China. Karena persaingan dan perseteruan di sana cukup berat, tidak semua mampu melewatinya dalam waktu singkat. Namun, Alvaro dan Dzaky telah menunjukkan bahwa mereka mampu dalam kurun waktu lima tahun saja.
“Kakek tiba-tiba ada urusan di sekolah. Mungkin rapat besok hanya Dzaky yang menemani kamu.”
Dzaky yang merasa namanya disebutkan oleh Kakek Wijaya pun berkerut bingung.
“Bukannya besok yang berangkat Jenia, Pah?”
“Kamu ini, Jenia itu udah Kakek suruh untuk mengawasi perusahaan kamu,” jawab Kakek Wijaya setengah kesal.
Sedangkan Dzaky hanya meringis pelan melihat wajah mengejek dari Alvaro. Kalau ia tidak melihat ada Kakek Wijaya di sana. Mungkin wajah mengejek itu sudah ia pukul sedari tadi.
“Jadi, besok Alva sama Bang Dzaky? Lalu, Kak Jenia tetap di perusahaan.”
“Iya, Kakek sudah mengatur semuanya. Jadi, tidak boleh ada yang bermain curang, karena setiap jam, menit, detik, Kakek selalu mengawasi kalian.”
“Disangka Alva buronan kali, Kek.”
“Memang kamu buronan, Alva. Kalau Kakek tidak seperti ini, sudah pasti rapat tahunan kali ini kamu kabur. Betul apa betul?”
“Betul, Pah! Jangan kasih kendor sama orang nyantai kayak Alva. Bisa-bisa perusahaan Papah bangkrut gara-gara bosnya pemalas.” Dzaky tersenyum kemenangan saat Alvaro mulai menatap dirinya kesal.
“Bang Dzaky juga pamalas, Kek!” sahut Alvaro tidak mau kalah.
Namun, Kakek Wijaya tidak memerdulikan perdebatan keduanya. Lelaki paruh baya itu malah tertarik akan ucapan Alvaro yang baru saja mengantar Erina pulang.
“Kakek dengar, tadi kamu baru ngantar Erina? Siapa dia?”
Alvaro mengerutnya keningnya bingung. Bukannya ia pernah cerita pasal pergantian nama sekaligus kewarganegaraan pada kakeknya? Apakah lelaki paruh baya itu lupa?
“Erina itu Akira, dan Akira itu Erina. Mereka satu orang yang sama, Kek.”
“Tunggu! Maksud kamu, Akira itu sebenarnya ganti nama?”
“Iya, Pah. Jadi, Erina itu datang ke sini untuk ganti semua yang berhubungan dengan dia. Bahkan saat Dzaky cari riwayat hidup dia di internet, sama sekali tidak menyebutkan bahwa dia itu dulunya pernah tinggal di Indonesia. Hanya sekedar alamat tempat tinggal dia yang baru, lalu riwayat pendidikkan terakhirnya di Shanghai,” sahut Dzaky panjang lebar.
Memang setelah berbincang dengan Erina waktu lalu, Dzaky sempat menghubungi pihak KBRI yang ada di China, lalu menanyakan semua perihal tentang gadis yang selama ini menghantui Alvaro. Siapa sangka, kalau ternyata gadis itu benar-benar menghapus jejaknya di sini. Seolah-olah Akira itu tidak pernah ada di dunia.
“Apa alasan Akira hingga membuat dirinya seperti itu? Apakah dia benar-benar tidak mempunyai keluarga lagi di Jakarta?”
Alvaro mengangkat bahunya tidak tahu, lalu menatap Cherry yang asyik bermain. Sedangkan Dzaky tengah menyusul Jenia yang tidak kunjung keluar dari dapur.
“Kakek dengar kamu jadi salah satu karyawan Wang Junkai,” celetuk Kakek Wijaya membuat Alvaro langsung menoleh dan terkejut.
“Kakek tahu dari mana?”
Belum sempat Kakek Wijaya menjawab, tiba-tiba Jenia datang sembari membawa nampan berisikan beberapa potongan bolu besar, lalu disusul oleh Dzaky yang membawa beberapa jelas minuman segar.
“Dari gue, Al!” sahut Jenia sembari meletakkan nampan tersebut di atas meja.
Alvaro langsung menoleh ke arah Jenia dengan tatapan kesal. Sebenarnya, ia sudah tidak asing lagi dengan perlakuan wanita itu pada dirinya. Akan tetapi, ia masih tidak menyangka sudah bertahun-tahun lamanya, wanita itu tidak pernah berubah. Selalu saja menjadi mata-mata yang tidak pernah disuruh oleh kakeknya.
“Kak, kenapa lo masih sama kayak dulu, sih! Heran gue,” sungut Alvaro kesal.
Jenia mencebikkan bibirnya sembari mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu mengangkat tubuh kecil Cherry untuk duduk di sofa. Gadis kecil itu terlihat berbinar saat mendapati bolu kesukaannya di atas meja.
“Terus, kenapa Erina enggak diajak ke sini sekalian?” tanya Kakek Wijaya.
“Lah, bukannya Kakek sendiri yang bilang mau ke bandara? Jadinya, Alva antar pulang. Karena dia juga enggak mau ke bandara, mungkin masih takut untuk bertemu orang-orang sekitar.”
“Kenapa?”
“Alva juga enggak tahu, Kek. Yang pasti, waktu Bang Dzaky sama Kak Jenia ke sini aja, dia kayak agak takut gitu.”
Jenia mengerutkan keningnya. “Pantes aja, waktu Kakak ajak ngomong dia sempat ragu-ragu. Ternyata dia punya trauma.”
“Kurang lebihnya begitu, tapi yang pasti enggak tahu juga. Karena Erina juga belum cerita sama Alva. Katanya, nunggu waktu yang pas untuk nyeritain semua.”
“Gue rasa, Erina berat nyeritain ke kita itu karena masalah hidupnya lebih besar daripada yang kita bayangin. Dan pilihan Alvaro buat nemenin Erina itu sepertinya bener. Karena semakin dia dekat sama orang lain, semakin perasaan ketakutannya itu hilang.”
“Cherry! Lihat ayahmu, ternyata dia sudah besar,” seru Alvaro sembari mengangkat tubuh Cherry yang berada tepat di sampingnya, lalu mengarahkan pada Dzaky. Lelaki itu terlihat menyembunyikan kepalanya tepat di belakang punggung Jenia, membuat Cherry mengerucutkan bibirnya kesal.
“Ayah!!!” teriak Cherry kesal, membuat semua yang ada di sana tertawa bahagia.
Sedangkan Dzaky mengangkat kepalanya sembari meringis pelan, lalu menggendong tubuh Cherry dan memberikannya pada Jenia. Ia tahu kalau anak gadisnya ini tengah cemburu, karena Jenia lebih dekat dengan dirinya, dibandingkan dengan Cherry yang nyatanya adalah anak kandung mereka sendiri.