Awalnya Alvaro pikir Erina tidak benar-benar marah padanya, tetapi sudah sampai tiga hari ini gadis itu selalu menghindari dirinya. Baik itu di kantor, maupun di asrama ketika ia berinisiatif menjemput.
Hari ini adalah hari ketiga Alvaro terus mengejar Erina yang sudah melenggang pergi ke arah halte tepat di depan kantor. Gadis itu terlihat biasa saja, dan tersenyum pada beberapa karyawan yang menyapa dirinya. Namun, saat ia mendekat, Erina memasang wajah jutek sekaligus kesal, dan mengabaikan semua panggilannya.
“Na, mau sampai kapan lo diemin gue?” tanya Alvaro tanpa memedulikan lagi bahwa kini ia memakai bahasa nusantara. Banyak sekali dari mereka yang menatapnya bingung sekaligus tidak mengerti, karena mayoritas orang-orang di sini merupakan penduduk asli dari Tiongkok.
Erina mengalihkan perhatiannya dan mulai menggeser pintu putar yang berbentuk lingkar. Di sana terlihat sepi, membuat ia dengan leluasa melangkah.
Namun, Alvaro seakan tidak habis pikir. Ia langsung memberhentikan paksa pintu tersebut dan memojokkan Erina tepat di sudut pintu. Tentu saja hal tersebut membuat gadis itu menatap dirinya kesal sekaligus marah.
“Kak, lo apa-apaan sih!” kecam Erina berusaha menjauhkan tubuh Alvaro yang menghimpit tubuhnya. Ia menatap sekitar yang sama sekali tidak ada orang.
Alvaro tersenyum miring, kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Erina. Ia terus menatap kedua bola mata cokelat terang yang kini mulai menciut. Sebenarnya, ia tahu kalau gadis itu masih menyukai dirinya seperti dulu. Namun, saat itu keberanian dirinya memang tidaklah seberapa dibandingkan kedua sahabat lelaki yang selalu melindungi gadis itu.
Wajah Alvaro pun semakin dekat, membuat Erina spontan memejamkan mata saat benda kenyal nan hangat itu menyapu bibirnya yang kering. Hari ini ia memang tidak sempat memakai pelembab, karena pagi tadi ia sudah terlambat bangun, ditambah kehadiran Alvaro yang membuat dirinya semakin terlambat.
Alvaro hanya menempelkan bibirnya tepat di atas bibir Erina tanpa ingin melepaskannya. Walaupun jantungnya berdebar cukup kuat, tetapi tidak membuat lelaki itu melepaskan penyatuan bibirnya.
Perlahan lengan Erina mulai melingkari tekuk leher belakangnya, membuat mereka berdua semakin mengikis jarak, dengan gerakan pelan gadis itu mulai mengecap bibir Alvaro lembut. Dan gerakan lembut itu malah membuat Alvaro hilang akal, kemudian ia langsung menarik pinggang ramping Erina untuk merapat ke arah tubuhnya.
Keduanya berciuman ringan di dalam bilik pintu yang masih terhenti di tengah-tengah. Seakan waktu tidak rela melihat keduanya kembali bertengkar. Namun, sebuah deringan ponsel milik Alvaro menyadarkan keduanya.
Sontak Erina langsung melepaskan tangannya dan berbalik memunggungi lelaki itu sembari tersenyum malu-malu. Bahkan Alvaro pun hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dan merutuki ponsel miliknya seakan tidak tahu situasi.
Di sana terpampang nama Kakek Wijaya membuat Alvaro menghela napas pelan dan tidak jadi memaki-maki sang penelpon. Karena yang menghubungi dirinya adalah sesosok lelaki yang paling ia takuti.
“Ada apa, Kek?”
“Kamu dimana sekarang, Alva? Kakek sudah mau pulang saja kamu tidak mengantar. Cucu macam apa kamu ini?” sinis Kakek Wijaya membuat Alvaro meringis pelan.
“Ya udah Alva ke sana sekarang,” balas Alvaro mematikan panggilannya dan menatap Erina yang masih setia memunggungi dirinya.
Suasana kali ini memang cukup canggung, membuat keduanya kehabisan kata-kata. Bahkan Erina yang biasanya paling berisik kini malah menjadi pendiam dan tidak bisa berkata-kata.
“Uhm ... Kakek minta gue antar ke bandara, Na. Lo mau ikut?” tanya Alvaro memberanikan diri membuka percakapan.
Sejujurnya, ia takut sekali kalau gadis itu marah pada dirinya. Akan tetapi, kalau dipikir ulang ini memang salahnya kenapa harus menempelkan bibir pada gadis itu.
Erina menggeleng kuat sembari tetap membelakangi Faray. Ia masih merona mengingat kejadian yang memalukan tadi. Bisa-bisanya bertingkah murahan seperti itu.
“Sorry, Kay. Gue bukannya mau ....”
“Enggak apa-apa, Kak!” sahut Erina cepat dan membalikkan tubuhnya menatap Alvaro yang berdiri tidak jauh dari dirinya.
Alvaro terdiam sesaat. “Kalau begitu, gue antar lo pulang, habis itu gue baru ngantar Kakek Wijaya.”
Erina yang awalnya ingin menolak pun menjadi diam saja. Ia tidak mengangguk, dan tidak pula menggeleng. Hanya diam membuat Alvaro kebingungan.
“Jadi, Na?”
“I ... iya, boleh kok.”
Setelah menjawab itu, Erina langsung melangkahkan kaki dan mulai mendorong pintu putar tersebut. Meninggalkan Alvaro yang terlihat kegirangan mendengar jawaban Erina. Ternyata gadis itu sama sekali tidak marah pada dirinya.
Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk menggenggam jemari lentik milik gadis itu dan membawanya ke arah basement. Sedangkan Erina yang berada di belakang hanya tersenyum senang dan mulai mengikuti langkah kaki Alvaro.
Tak lama kemudian, keduanya telah sampai tepat di depan asrama yang menjadi tempat tinggal Erina. Gadis itu terlihat melepas sabuk pengamannya dan mulai meraih tas selempang yang berada tepat di sampingnya, lalu tersenyum manis ke arah Alvaro.
“Makasih ya, Kak,” ucap Erina sembari menutup pintu mobilnya, lalu melambaikan tangan ke arah Alvaro.
Sedangkan Alvaro yang masih berada di dalam pun bernapas lega, dan mulai jingkrak-jingkrak kesenangan melihat gadisnya yang tidak marah lagi. Ralat, calon gadisnya, karena hingga sampai saat ini ia belum mengutarakan perasaannya. Karena Alvaro terlalu takut kalau sampai ditolak oleh gadis itu.
Sementara di sisi lain, Erina yang baru saja menutup kamar asramanya pun memekik kesenangan di balik pintu. Entah kenapa wajahnya tiba-tiba terasa panas saat mengingat kejadian memalukan di kantor. Ia sendiri tidak mengerti kenapa bisa begitu berani mencium Alvaro terlebih dahulu.
Setelah itu, Erina pun langsung membanting tubuhnya ke arah kasur yang menatap langit-langit sembari menutup yang wajah merona menggunakan bantal berwarna merah mudah yang menjadi teman hidupnya selama di China.
Akan tetapi, Erina terlalu penasaran dengan Alvaro yang masih berada di dean asramanya atau tidak. Akhirnya, ia pun berinisiatif pergi ke arah balkon dan melihat tepat di depan sana masih ada mobil jeep berwarna hitam. Sepertinya lelaki itu tidak berniat untuk pergi.
Namun, saat ia sedangkan asyik menatap sekitar tiba-tiba lengan Alvaro keluar melalui jendela mobil dan tepat menjulurkannya ke arah Erina membentuk sebuah simbol cinta dengan jari telunjuk dan ibu jari yang saling berlawanan.
Sontak, hal tersebut membuat Erina tersenyum malu-malu dan meletakkan kepalanya di pembatas balkon sembari terus menatap kepergian mobil Alvaro yang mulai keluar dari lingkungan asrama.
“Cie, Kak Erina!!!” teriak sekumpulan mahasiswi itu bersamaan.
Erina mendelik terkejut melihat para mahasiswi itu melihat dirinya dengan tatapan menggoda. Astaga, kenapa ia sampai tidak sadar kalau ada mereka sejak tadi?
“Siapa namanya? Bolehlah sekali-sekali ajak ke sini,” celetuk salah satu mahasiswi berpakaian tomboi dengan headband yang melingkari kepalanya.