“Untuk apa kamu malam-malam ke sini, Lusi? Apakah apartemenmu itu sudah tidak layak dihuni?”
Erina menatap teman sepekerjaannya itu sinis, karena ia sudah menebak kedatangan Lusi kemari bukan hanya sebuah kunjungan, melainkan pasti ada sebuah urusan mendadak. Yang tidak lain tidak bukan adalah gebetannya.
“Astaga, Erina! Kamu selalu saja seperti itu. Aku datang ke sini karena rindu padamu,” jawab Lusi memeluk lengan Erina erat, sedangkan gadis itu hanya memutar bola matanya malas.
“Sudahlah jangan berlakon lagi, aku sudah hafal semua tentangmu.“ Erina menyingkirkan lengan Lusi yang berada di lengannya, lalu menatap gadis itu intens. “Ada apa lagi dengan gebetanmu itu?”
Lusi menegakkan tubuhnya sembari mendengus kesal. “Aku memang tidak pernah bisa menyembunyikan apapun darimu, Erina. Selalu saja kamu mengerti akan maksud kedatanganku.”
“Tentu saja! Kamu tidak akan ke sini kalau tidak memiliki urusan. Lagi pula kelakukanmu itu sudah aku hafal di luar kepala. Bahkan jam-jam kamu datang kemari pun sudah aku baca. Jadi, bersikaplah seperti rencanamu yang akan datang ke sini.”
“Ya, ya, ya. Aku memang memiliki urusan padamu, tapi bisakah kamu berjanji dulu untuk memenuhi permintaanku?” Lusi menatap Erina dengan memohon.
“Permintaan apa itu? Jangan seperti kemarin, kamu meminta aku untuk membuntuti gebetanmu, sedangkan dia sendiri saja sudah mengetahui aku. Tidak, ya!” Erina melipat kedua tangannya di depan d**a, lalu menatap lurus ke depan sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur.
“Aku bersumpah! Kali ini tidak akan membuntuti dia,” ucap Lusi mantap sembari memasang tiga jemari tepat di samping tubuhnya.
Perlahan Erina mulai menatap Lusi yang terlihat sangat bersungguh-sungguh. Sebenarnya, bukan ia tidak mau membantu gadis itu, tetapi percayalah. Membuntuti seseorang tanpa diketahui itu sulit, apalagi dirinya sempat bertemu dengan Han Shuo.
“Kali ini kamu ingin meminta bantuan apa?” tanya Erina sembari menatap Lusi yang tersenyum lebar.
“Aku ingin kamu menemaniku ke salah satu bioskop. Di sana ada Han Shuo sedang melakukan gala premiere salah satu film yang baru saja tayang hari ini,” jawab Lusi.
“Dimana itu?”
“Mal yang biasa kita datang. Kebetulan acaranya malam ini.”
“Tapi, kita baru saja ke mal kemarin.”
“Maka dari itu, Erina. Aku ingin ke sana dengan bantuanmu.”
Sesaat Erina terdiam memikirkan permintaan Lusi. Tidak sulit, hanya menemani gadis itu melihat gebetannya, tetapi ini akan menyulitkan dirinya yang tidak terlalu menyukai bioskop. Apalagi sampai banyak sekali pengunjung, itu pasti akan memecah konsentrasinya menonton film.
“Gimana, Erina? Apa kamu mau menemaniku ke sana?” tanya Lusi lagi.
“Boleh. Hanya saja ....”
“Iya, aku tahu. Kamu tidak akan bisa pulang malam. Percayalah, aku akan membawamu pulang sebelum asrama ini tutup.”
“Memangnya kamu sudah membeli tiket?” tanya Erina sebelum mereka benar-benar memutuskan untuk pergi ke sana.
“Sudah!” jawab Lusi cepat sembari meraih tas selempangnya yang berada di nakas, lalu mengulurkan dua lembar tiket yang ternyata adalah VVIP. Artinya, mereka akan duduk di dekat sang artis.
“Astaga, Lusi! Ternyata kamu memang sudah seniat itu?”
“Aku memang sudah mempersiapkan diri dari bulan yang lalu, karena aku memang sangat ingin melihat dia lebih dekat. Setelah kami berdua berhubungan minggu lalu.”
“Apa dia tahu kamu datang?”
“Tidak. Aku hanya mengatakan tidak bisa datang, karena sibuk.”
“Lantas, dia tahu kamu sekarang tidak datang ke sana?”
“Mungkin. Aku juga tidak bisa percaya diri, karena waktu aku bilang seperti itu raut wajahnya biasa saja. Padahal aku ingin sekali melihat raut wajah kekecewaannya saat mendengar diriku yang tidak datang ke sana.”
Erina memegang bahu mungil Lusi, lalu tersenyum manis. Ia tahu bagaimana perasaan gadis itu saat melihat ekspresi yang di luar dari ekspetasinya.
“Ya sudah. Kita pergi sekarang.”
“Kalau begitu, kamu sekarang ganti baju. Aku akan menuggumu di basement.”
Setelah itu, Lusi keluar dari kamar Erina sembari membawa tas selempangnya dan membawa kunci mobil dengan gantungan boneka beruang yang sangat lucu. Sedangkan Erina mulai membersihkan diri di dalam kamar mandi.
Tak lama kemudian, mereka berdua pun sampai di salah satu mal yang terkenal di Shanghai. Lusi pun mencari parkiran yang cukup untuk mobilnya, karena malam ini parkiran yang biasanya sepi menjadi sangat ramai. Sepertinya, mereka berbondong-bondong untuk menyaksikan gala premiere dari salah satu aktor tampan bernama Han Shuo.
Kedua gadis cantik itu, akhirnya menemukan parkiran yang pas, yaitu dekat salah satu mobil jeep berwarna hitam. Lalu, keduanya pun turun dan mulai memasuki mal yang sangat ramai. Terlihat dari mereka kebanyakan adalah perempuan.
Lalu, keduanya pun mulai memasuki elevator menuju lantai paling atas. Sesampainya di sana, mereka melihat keramaian yang luar biasa. Bahkan keramaian itu sampai di depan pintu elevator. Namun, Lusi langsung membuka tiket yang sudah ia beli kemarin.
Di sana terlihat studio yang akan mereka tempati, dan senangnya ternyata tepat menghadap layar besar. Tanpa pikir panjang, Lusi langsung menarik Erina untuk mencari studionya yang ternyata tidak jauh dari tempat mereka berpijak.
Di dalam banyak sekali orang, dan hanya menyisakan dua kursi yang Erina yakin itu adalah kursi yang telah Lusi pesan jauh-jauh hari. Namun, pandangannya terpaku pada salah satu gadis yang berdiri tepat di samping kursi tersebut.
“Ini kursi kita, Erina!” ucap Lusi berbinar kesenangan sembari menggandeng Erina untuk duduk di sebelah kirinya.
Akan tetapi, belum sampai mereka berdua mendudukkan diri tiba-tiba gadis yang menjadi pusat perhatian Erina mencegah mereka berdua. Tentu saja Lusi langsung berkerut bingung menatap tingkah seorang gadis yang ia yakin masih berusia sangat muda.
“Maaf, Kakak! Aku ingin bertukar tempat duduk dengan kalian, awalnya aku yang memesan ini, tetapi karena tiba-tiba saldo WeChat-ku habis. Jadi, dengan terpaksa aku kehilangan tiket ini,” ucap gadis itu datar sembari terus menatap Erina yang mengangkat alisnya bingung.
“Lalu?”
“Bisakah kalian menyingkir dari sini?”
Lusi yang awalnya ingin berbicara pun langsung Erina cegah. Ia tahu bahwa temannya itu tidak akan pernah menang dalam pertarungan adu mulut, terlebih ini adalah remaja yang dimabuk cinta.
“Maaf ya, gadis kecil. Sepertinya sangat tidak sopan kamu mengusir kita berdua yang nyatanya sudah mempunyai tiket. Lalu, untuk masalah tiket kamu telah direbut oleh kami itu jangan salahkan kami. Salahkanlah dirimu yang tidak pernah mau mengalah. Kalau sudah tidak bisa memiliki, jangan memaksa.”
“Tapi, aku yang pertama kali memesannya!” seru gadis itu tidak terima.
“Oke, persetan dengan tiket yang kamu pesan. Karena ini sudah menjadi milik kami, tolong biarkan kami menikmatinya sejenak.” Erina tersenyum tipis menatap wajah gadis itu yang mulai memerah. “Untuk kamu, tolong jangan berkata seolah-olah ini adalah tiket kamu yang kami curi. Lagi pula ini sudah kami beli, dan kamu tidak berhak untuk mengungkitnya lagi.”
“Tapi ....”
“Hao la. Aku tidak ingin berdebat denganmu.”
Setelah itu, Erina langsung menyuruh Lusi untuk segera mendudukkan diri. Walaupun ia tahu wajah temannya itu sudah berubah tidak enak hati. Akan tetapi, ia tidak ingin melihat Lusi yang terus-terusan mengalah hanya untuk orang lain.