“Cherry mau dibuatkan apa lagi?”
Mendadak pertanyaan itu membuat Alvaro yang berada tidak jauh dari mereka sedikit terusik. Tentu saja ketiganya sudah kembali ke apartemen milik Erina sehingga ia bisa kembali bekerja mengawasi beberapa kantor cabang yang dirasa bermasalah.
Namun, bukannya bekerja, ruangan itu malah dipenuhi kebisingan oleh celotehan Erina dan Cherry yang tidak ada Habisnya membicarakan sesuatu. Bahkan keduanya tampak tidak memedulikan keadaan atau siapa pun yang ada di sana. Padahal jelas-jelas Alvaro tengah bergelut dengan konferensi melalui sambungan skype.
“Oh tidak, bisakah suara kalian berdua itu dikecilkan? Aku sedang tidak fokus membahas berkas-berkas ini,” keluh Alvaro mengusap wajahnya frustasi.
“Makanya jangan di situ, Kak. Udah tahu gue sama Cherry mau bikin bolu,” balas Erina tidak mau kalah.
Akhirnya, demi menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat, Alvaro pun mengangkat meja yang berisikan berkas-keras serta laptop di atasnya. Tentu saja ia akan pindah ke kamar kosong untuk membahas semua pekerjaan malam ini. Karena di Norwegia masih siang hari sehingga dirinya harus segera menyelesaikan, atau tidak sama sekali.
Setelah melihat Alvaro yang berpindah tempat karena terganggu, Erina pun kembali melakukan aktivitasnya. Gadis berpakaian celemek cokelat itu terlihat sangat lihai memecahkan telur ke dalam baskom.
Sedangkan Cherry hanya tertawa pelan sembari sibuk menyiapkan tepung untuk dijadikan adonan bulu. Sebab, hari ini mereka berdua akan membuat beberapa loyang untuk diserahkan pada Cherry, Alvaro dan dirinya.
“Cherry, tolong ambilkan aku pengaduk? Seluruh tanganku kotor penuh putih telur,” pinta Erina dengan wajah memelas sembari memperlihatkan kedua tangannya yang benar-benar kotor, dan bau.
“Baiklah,” balas Cherry turun dari kursi dan berlari kecil menghampiri rak sendok, lalu meraih salah satu pengaduk berbentuk bulat. “Ini, Aunty.”
“Wah, terima kasih, sayang,” ucap Erina tersenyum lebar, lalu mulai menyalakan mixer yang ada di tangannya.
Setelah semua bahan tercampur rata, Erina pun mulai menuangkan secara perlahan ke dalam loyang berbentuk persegi. Karena ini loyang terakhir, ia tidak menambahkan kreasi apapun.
“Aunty, aku sangat lapar,” keluh Cherry.
“Baiklah. Aku ada beberapa makanan ringan di dalam lemari.” Erina melangkah mendekati lemari berwarna hitam yang di bawahnya terdapat kompor menyala sedang. Karena malam ini dirinya akan membuat hotpot sehingga harus memasak beberapa bahan untuk makan pedas tersebut.
Kemudian, Erina pun meraih beberapa kantung roti kemasan yang sengaja ia beli di minimarket ketika belanja bulanan. Tentu saja ia menyiapkan makanan itu untuk sewaktu-waktu dirinya malas memasak.
“Nih, makanlah. Aunty ingin memasukan ini ke dalam oven,” titah Erina meletakkan roti tersebut tepat di hadapan Cherry, lalu mengangkat dengan hati-hati loyang yang berisikan adonan bolu.
Setelah semua selesai, Erina tersenyum puas, dan mulai membersihkan meja dapur. Tentu saja ia sesekali memperhatikan Cherry yang sangat lahap. Menandakan kalau gadis kecil itu benar-benar sangat lapar sehingga tidak bisa menahannya lagi.
Sampah hasil karya mereka berdua itu pun terlihat menumpuk membuat Erina menghela napas pelan, lalu menatap ke arah lorong kamar yang belum ada tanda-tanda Alvaro akan keluar. Padahal ia ingin meminta bantuan lelaki itu untuk menjaga Cherry sebentar.
“Aunty mencari siapa?” tanya Cherry penasaran, dan mengikuti arah pandang gadis itu.
“Tidak ada. Oh ya, Cherry masih lapar? Mau Aunty buatkan apa?” Erina tersenyum singkat.
“Cherry sudah tidak lapar, tetapi Aunty terlihat seperti sedang menunggu sesuatu,” jawab gadis kecil itu dengan senyuman tulus.
“Apa Cherry tidak akan ke mana-mana saat aku membuang sampah?”
“Iya. Pergilah, Aunty.”
Baru saja Erina hendak berbalik, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki mendekat. Tentu saja gadis itu langsung memutar tubuhnya kembali. Akan tetapi, ia malah mendapati Alvaro yang melenggang masuk.
“Biar aku saja,” pinta Alvaro tersenyum menawan membuat gadis itu langsung membengku di tempat.
Sepeninggalnya Alvaro yang turun ke bawah untuk melakukan penguaraian, Erina pun pun mulai tersadar. Tentu saja ia terkejut bisa melihat lelaki itu sampai tidak sadar seperti ini. Padahal sejak tadi dirinya tidak ingin bertemu dengan lelaki itu sehingga berusaha menghindarinya.
“Aunty, apa kau baik-baik saja?” tanya Cherry mendadak cemas melihat Erian yang belum juga bergerak dari tempatnya berpijak.
“Ah, aku baik-baik saja, Cherry. Hanya sedikit kelelahan akibat tadi,” jawab Erina tersenyum tipis, lalu kembali mengajak gadis kecil itu melangkah ke arah dapur, kemudian menghela napas lega melihat oven miliknya masih berfungsi dengan baik.
“Aku sangat takut tadi melihat Aunty yang tidak sadar padahal Om Alva sudah ada di sana sejak tadi,” ucap Cherry lagi.
“Sejak kapan?” Wajah Erina terlihat penasaran.
“Uhm ... sepertinya sejak aku meminta semua roti ini, tapi Om Alva menyuruhku untuk tidak memberi tahumu. Maafkan aku, Aunty,” sesal Cherry penuh rasa bersalah. Tidak seharusnya ia menyembunyikan sebuah fakta seperti itu.
“Tidak, Aunty tidak marah denganmu, Cherry. Hanya saja Aunty sedikit terkejut mendengar pengakuanmu,” balas Erina berusaha tersenyum menenangkan, lalu mengusap kepala Cherry dengan sayang.
Tentu saja ia tidak akan membuat gadis sekecil itu merasakan rasa bersalah. Padahal apapun yang ia lakukan akan menjadi kenangan, dan hal tersebut pasti akan mengganggu kalau ada sebuah kenangan pahit bersama dirinya.
“Aku takut Aunty akan marah,” gumam Cherry menarik tubuh Erina dan masuk ke dalam pelukan mungilnya, membuat gadis itu ingin sekali tertawa dengan apa yang telah dilakukan oleh Cherry.
Akan tetapi, baru saja Erina hendak membalas perkataan gadis kecil itu, pintu apartemen kembali terbuka. Tentu saja keduanya langsung memisahkan diri seakan tidak pernah terjadi apapun tadi. Bahkan dengan berani Cherry menatap Alvaro tajam.
“Ada apa dengan tatapanmu itu, Cherry? Kau terlihat sangat menakutkan,” tanya Alvaro berusaha mengabaikan tatapan bak seorang pembunuh yang hendak menikam tubuhnya.
“Aku tidak akan terpengaruh lagi dengan perintahmu, Om. Aku sudah berjanji akan tetap setia dengan Aunty Erina sehingga sampai kapan pun aku akan tetap mempercayainya, termasuk tidak akan membohongi seperti tadi,” jawab Cherry dengan lantang seolah hal tersebut sangat wajar jika diucapkan oleh seorang anak kecil.
Akan tetapi, yang terkejut bukan hanya Alvaro, melainkan Erina pun sama. Keduanya terlihat benar-benar tidak percaya dengan pertumbuhan dewasa gadis kecil itu. Bahkan lebih tidak percaya lagi kalau Cherry akan berubah menjadi sesosok gadis dewasa yang menurutnya sangat menakutkan.
“Cherry, apa yang kau lakukan?” tanya Alvaro mendelik waspada.
“Apa? Bukankah ini maumu, Om? Aku akan menurutinya,” jawab Cherry tersenyum miring dengan wajah lugu yang selama ini Alvaro sukai.
“Kau bukan Cherry!” sentak Alvaro kasar sembari berusaha melepaskan dirinya dari ikatan yang entah kapan sudah ada di tubuhnya.
“Kenapa, Om? Kau terlihat sangat ketakutan membuat aku semakin ingin melihat wajahmu yang seperti itu,” balas Cherry sembari melangkah mendekat ke arah Alvaro.
Sontak Erina yang sejak tadi diam saja pun mulai mencari sesuatu. Ia mendadak ketakutan melihat wajah lugu nan mungil milik Cherry berubah menjadi iblis seperti Annabelle. Bahkan senyum menyeramkan itu tampak tidak asing, seakan ia adalah orang yang sama.
“Tidak, Chery!!!” teriak Alvaro seperti orang kesetanan.