Tatapan penasaran sekaligus tidak mengerti tampak dilayangkan oleh Erina dan Cherry yang sama-sama bingung melihat ekspresi ketakutan dari Alvaro. Sebab, sejak tadi lelaki itu hanya diam sembari menatap sekeliling dengan penuh waspada. Padahal di dalam apartemennya sudah tidak ada siapa pun.
“Kenapa sih, Kak?” tanya Erina mencoba menghampiri Alvaro yang berusaha menghindar dari dirinya dan Cherry.
“Enggak,” jawab Alvaro singkat, tetapi tetap saja ekspresi itu terlihat kaku.
“Serius, Ka? Lo dari tadi kelihatan aneh banget. Apalagi pas Cherry mau duduk di pangkuan lo. Sebenernya, ada apa?” desak Erina semakin gencar.
“Na, lo percaya enggak kalau Cherry bisa berubah jadi jahat?”
“Mustahil, Kak. Lo tahu sendiri kalau anaknya Kak Jenia enggak bakalan bisa jahat. Mungkin nginjek semut aja enggak berani.”
“Bukan begitu, Na. Cuma mimpi gue rasanya nyata banget. Cherry bener-bener berubah jadi Annabelle. Bahkan senyumnya masih kebayang sampai sekarang.”
“Udahlah, Kak. Lupain aja. Lagi pula Cherry juga lagi tidur di kamar.”
Perlahan namun pasti, Alvaro pun mulai berangsur tenang. Tentu saja ia terlihat sangat depresi mendapat mimpi buruk tentang keponakannya sendiri. Apalagi besok mereka berdua harus kembali pulang, sebab kedua orang tuanya sudah menyelesaikan perjalanan bisnis.
Kemudian, Erina hanya tersenyum tipis, dan melanjutkan penyuntingan naskah yang akan ia laporkan besok. Karena tadi dirinya tidak sempat menyelesaikan di kantor. Banyak sekali pekerjaan di sana yang harus Erina selesaikan, termasuk pencetakan buku.
“Masih revisi naskah, Na?” tanya Alvaro mulai melirik layar laptop gadis itu yang menampilkan deretan kalimat yang membentuk sebuah paragraph rapi.
“Iya, kurang dikit lagi. Minggu depan buka pre order sekalian kontak penulis,” jawab Erina tanpa mengalihkan perhatiannya sama sekali.
“Tidur, Na. Besok lo harus kerja lagi,” titah Alvaro membuat jemari Erina berhenti sejenak.
“Sebentar lagi, Kak. Tanggung banget tanggal 5 lembar lagi. Habis ini bakalan tidur,” balas Erina bersikeras untuk tetap melanjutkan pekerjaannya. Padahal angka yang ada di jam dinding ruang tamu mulai melewati dari malam biasanya.
Tidak ingin Erina tidur terlalu malam, akhirnya Alvaro pun memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan gadis itu. Tentu saja wajah-wajah protes tercetak jelas dari Erina. Bahkan gadis itu terlihat ingin merebutnya kembali, tetapi kalah cepat dengan dirinya yang langsung bangkit dari sofa.
“Kak, balikin laptop gue!” pinta Erina sedikit kesal.
“Tidur. Gue bakalan yang ngerjain naskah ini,” tolak Alvaro seakan dirinya benar-benar mengetahui tata cara penulisan.
“Emangnya lo tahu?”
“Apa yang enggak gue tahu, Na?
“Oke, naskah itu gue serahin sama lo. Tapi ingat, besok pagi harus udah selesai apa pun caranya. Karena gue bakalan langsung ke kafe buat ketemu sama penulisnya langsung.”
“Iya gue tahu. Udah sana tidur!”
Setelah berdebat lumayan lama, Erina pun memutuskan untuk tidur dan membiarkan Alvaro bergelut dengan naskah milik salah satu penulisnya yang akan dicetak beberapa hari lagi. Karena permintaan pembaca banyak sekali. Mereka semua sama-sama menginginkan buku versi cetak.
Akan tetapi, sang ibu memang terus mengkhawatirkan anaknya. Di dalam kamar Erina berkali-kali mengubah posisi tidur seiring dengan pikirannya yang terus melayang pada naskah tersebut.
Sebenarnya, ia bisa saja menyelesaikan esok hari. Akan tetapi, bagi Erina waktu adalah uang. Sehingga dirinya selalu terbiasa untuk menghemat banyak waktu demi keberlangsungan hidupnya di negara ini.
Semua memang sudah ia pikirkan dengan matang, sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi warna negara Tiongkok. Akan tetapi, dirinya memang mempunyai sebagian darah Tiongkok, meskipun lebih kental darah Asia.
“Ini kenapa gue jadi enggak bisa tidur,” gumam Erina kesal, lalu terduduk sembari meraup wajahnya frustasi.
Kemudian, ia menoleh ke arah dinding yang menampilkan sebuah jam berbentuk bulat warna putih. Sayangnya, di sana masih menampilkan pukul 01.00 AM, artinya ia baru tidur selama 15 menit dan belum ada rasa kantuk sama sekali.
“Ya udahlah, gue mau ngelihat revisin dulu. Kayaknya emang belum tenang kalo emak enggak nengok anaknya sendiri,” gumam Erina pada dirinya sendiri, lalu meraih kunciran yang ada di atas nakas.
Erina pun turun dari ranjang sembari terus menguncir rambutnya rapi. Ia mengintip sejenak ke arah ruang tamu yang masih memperlihatkan Alvaro mengerjakan naskah di laptop miliknya. Namun, ada sebuah benda yang menarik perhatiannya, yaitu segelas kopi.
“Apa dia mulai merasa ngantuk?” tanya Erina pelan.
Tidak ingin merepotkan Alvaro terus-menerus, akhirnya gadis berpakaian piyama hitam itu menghampiri seorang lelaki yang sesekali mengecek isi ponselnya. Akan tetapi, perhatiannya langsung teralihkan ketika mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Lho, Na? Lo belum tidur juga?” tanya Alvaro tidak percaya.
“Enggak bisa tidur, Kak,” jawab Erina mendudukkan diri tepat di samping lelaki itu, lalu membaca paragraf yang terlihat mulai rapi.
“Kalau enggak bisa tidur, lo duduk di sini aja. Tapi, jangan sekali-kalinya tangan lo ikut revisi,” putus Alvaro membiarkan Erina duduk di sampingnya. Karena ia tahu kalau gadis itu pasti tidak akan pernah bisa meninggalkan tanggung jawab.
Akan tetapi, sebuah benda berat terjatuh di atas pundak miliknya, membuat lelaki itu langsung menoleh dan mendapati Erina tertidur pulas sembari menumpukan kepalanya di pundak.
“Erina, Erina, katanya enggak ngantuk. Tapi, baru beberapa menit aja udah pulas,” gumam Alvaro tersenyum geli, lalu mulai menggerakkan jemari tangannya tanpa merasa terganggu sama sekali.
Tentu saja Alvaro tidak mengerjakan naskah itu sendirian, melainkan ada Meiying yang ia repotkan tengah malam seperti ini. Akan tetapi, wanita itu malah sama sekali tidak terganggu, sebab ia memang sengaja begadang di malam hari untuk menghabiskan banyak drama miliknya.
Bahkan ketika Alvaro menghubunginya untuk membantu mengerjakan naskah pun diterima dengan senang hati oleh Meiying. Karena dirinya pernah menjadi seorang editor beberapa tahun yang lalu. Kemudian, beralih profesi menjadi seorang sekretaris di perusahaan Dzaky bersama dengan Jenia.
Akan tetapi, kembali dimutasi bersama Alvaro, dan menuntun lelaki itu untuk menyamakan langkah seperti sang kakak. Namun, gen Aryasatya memang tidak ada yang gagal, bahkan Alvaro yang hitungannya baru beberapa tahun pun mampu mendirikan kantor cabang di India dan Pakistan untuk membantu beberapa korban bencana teroris yang kebanyakan dari Indonesia.
Awalnya Alvaro memang sangat marah saat mengetahui banyak saudaranya yang ditahan untuk dijadikan tawanan bagi para tentara kejam tersebut. Seiring berjalannya waktu, Alvaro pun datang menyelamatkan mereka semua dengan mendirikan sebuah posko anti-terorris.
Semakin besar dirinya ingin melindungi, maka semakin besar pula para tentara ingin menghancurkannya. Akan tetapi, rencana itu hanya sia-sia ketika mengetahui dirinya seorang Aryasatya yang merupakan ketua dari anggota terroris tersebut. Sehingga Alvaro dengan sangat berat memubarkan organisasi tersebut.