Hari kedua menginap di apartemen Erina membuat Cherry semakin merasakan rasanya mempunyai seorang kakak. Gadis itu terlihat sangat bahagia ketika bangun tidur langsung keluar dan mendapati Erina tengah memasak nasi goreng di dapur.
“Pagi, Aunty,” sapa Cherry tersenyum lebar.
“Kau belum mandi, sayang?” Erina mendelik tidak percaya melihat seorang gadis yang masih lengkap dengan piyama tidurnya. “Astaga, Cherry kembali ke kamarmu. Aunty akan ke sana setelah mematikan kompor.”
Mendengar penuturan tersebut, Cherry pun mengangguk senang. Kemudian, gadis kecil itu melenggang pergi dari dapur menuju kamar miliknya yang terletak tidak jauh dari sana.
Setelah itu, Cherry meraih beberapa pakaian sekolahnya, lalu membawa keluar menuju kamar mandi yang ternyata sudah ada Erina di sana.
“Kemarilah, Cherry!” titah Erina.
“Apa hari ini aku akan keramas, Aunty?” tanya Cherry menatap Erina yang terlihat sibuk menggantung pakaian sekolah miliknya.
“Tentu saja kau akan keramas, sayang. Pagi ini Om Alva pulang ke rumahmu, jadi dia bisa membawa beberapa barang keperluan Cherry,” jawab Erina memperlihatkan satu set alat mandi berwarna pinky.
Sontak Cherry berbinar menatap itu semua. Sudah lama sekali dirinya tidak melihat barang-barang itu.
Sementara itu, Alvaro yang sudah siap sedari tadi hanya duduk sembari menikmati kopi hitamnya. Lelaki itu terlihat duduk di lobi apartemen sembari mengerjakan sesuatu di ipad. Beberapa berkas dan deretan pesan bisnis itu tampak memenuhi kolom masuknya.
Akan tetapi, di tengah kegiatan itu, tiba-tiba ponsel Alvaro berdering nyaring membuat lelaki itu langsung meliriknya sejenak. Di sana terpampang nama asisten pribadinya yang bernama Zhou Yuan.
“Aku sedang bekerja, Zhou Yuan. Apa kau tidak mempunyai waktu untuk membiarkanku sehari saja?” sinis Alvaro tepat ketika menempelkan benda pipih tersebut di telinganya.
“Maaf, Direktur Alva. Tapi, pagi ini Tuan Besar Aryasatya memerintahkanmu untuk datang ke kantor,” balas Zhou Yuan sama sekali tidak terdengar menyesal.
“Kakekku? Untuk apa?” tanya Alvaro bingung.
“Aku tidak tahu, tapi Tuan Besar hanya memerintahkanku untuk memastikan kau ke sana,” jawab Zhou Yuan terdengar kaku membuat Alvaro menghela napas panjang.
“Baiklah, aku akan ke kantor,” putus lelaki itu singkat.
Kemudian, ia pun meletakkan kembali ponselnya di atas meja sembari terus berpikir tentang kedatangan kakeknya yang terlihat sangat mendadak seperti ini. Ada yang aneh. Akan tetapi, Alvaro masih belum menemukannya.
Lelaki tampan berjas mahal biru itu pun melirik arloji yang ada di tangan kirinya. Pagi ini ia sengaja keluar lebih awal. Bukan karena tidak ingin sarapan, tetapi ia masih cukup trauma bekerja di dalam apartemen Erina. Ia takut kalau Cherry akan berubah seperti Annabelle.
Namun, lama kelamaan perut lelaki itu terasa keroncongan sehingga dengan terpaksa dirinya memesan makanan pada salah satu pelayan di apartemen tersebut. Kebetulan sekali ini tempat yang serba guna.
“Pelayan, aku ingin waffle dengan selai stoberi di atasnya,” pinta Li Xian pada seorang lelaki berpakaian jas hitam formal.
Sejujurnya, ia tahu kalau lelaki itu bukanlah pelayan. Akan tetapi, dirinya sudah terlanjur malas kalau ingin memanggil pelayan asli. Karena sedari tadi lobi hotel ini dipenuhi banyak sekali pengusaha kaya yang ingin dilayani.
Tak lama kemudian, pesanan Alvaro pun datang. Membuat lelaki itu langsung tersenyum lebar menatap makanan lezat yang ada di hadapannya. Karena selama ini Alvaro hanya memakan rumput laut dengan beberapa ikan serta sayuran yang membosankan. Sehingga dirinya menginginkan sesuatu yang berbeda.
Tidak terasa sarapan lelaki itu selesai, dan Erina pun sudah turun bersama Cherry sembari memawa rantang makanan untuk Alvaro yang tidak sempat sarapan di dalam. Padahal lelaki itu sudah membelinya tadi.
“Ayo, Kak! Gue juga udah masaki makanan buat lo,” ucap Erina menyerahkan rantang tersebut.
“Thanks, Na,” balas Alvaro tersenyum senang. “Oh ya, hari ini gue enggak ke penerbitan dulu. Kakek mendadak nyuruh ke kantor pagi ini.”
“Oh, baguslah, Kak! Emang harusnya lo kerja di sana bukan sama gue,” ejek Erina tertawa pelan.
“Ya, ya, terserah lo.”
Setelah itu, Alvaro pun melenggang keluar dari lobi apartemen menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir cantik. Tentu saja ia sudah memerintahkan beberapa satpam di sana untuk memanaskan mobil sekaligus mengeluarkannya dari basement.
Seperti biasa, Cherry akan tetap duduk di belakang seorang diri dengan Erina yang duduk tepat di samping Alvaro. Kemudian, ketiganya langsung menancapkan gas menuju sekolah Cherry yang cukup jauh dari apartemen milik Erina.
Selesai mengangat Cherry tepat di depan sekolahnya, mereka berdua kembali menancapkan gas menuju penerbitan. Karena pagi ini Erina harus menyiapkan naskah yang telah diedit kemarin.
“Erina, nanti lo ketemuan di kafe lagi atau enggak?” tanya Alvaro membuka percakapan.
“Iya, Kak. Seperti biasa selalu ngadain pertemuan di sana, tapi kali ini kliennya perempuan. Jadi, enggak terlalu khawatir,” jawab Erina.
“Naskah yang gue edit semalam gimana?”
“Bagus, Kak. Xing ku ni le.” Erina tersenyum puas mengingat pekerjaan yang Alvaro kerjakan semalam.
Alvaro menyugarkan rambutnya ke belakang, lalu melirik spion tengah yang memperlihatkan Erina tengah menatap lurus ke depan tanpa terusik sama sekali. Seakan gadis itu hendak menghafal seluruh jalan ini dengan setiap detail diingatannya.
“Uhm ... Erina, apa istirahat makan siang lo sama Lusi?” tanya Alvaro terdengar ragu.
“Kalau di luar biasanya sendiri, Kak. Tapi, kalau ngantor selalu sama dia makan siangnya,” jawab Erina melirik ke arah Alvaro singkat.
“Apa lo enggak merasa kesulitan harus bekerja seperti ini, Na?” tanya Alvaro lagi. Kali ini terdengar penasaran. Karena siapa pun tahu kalau gadis itu sangat tidak menyukai bacaan sejak dulu.
“Semua pekerjaan pasti sulit, Kak. Bahkan jadi bos magang kayak lo enggak semudah dibayangin. Tapi, setiap orang pasti menyukai pekerjaannya masing-masing, dan gue pun melakukan hal yang sama. Jadi, sulit atau enggak sulit jalanin aja,” jawab Erina tersenyum tipis.
Entah kenapa perkataan bijak itu membuat Alvaro terenyuh. Erina tidak hanya berganti nama, melainkan sifat dan cara pandang dalam berpikir sudah bukan seperti dulu. Ia seakan terlahir kembali ke dunia ini.
Melihat Alvaro yang mendadak diam pun membuat Erina sedikit terusik. Gadis berpakaian santai itu melirik ke arah samping dengan kedua alis yang saling bertaut. “Kak?”
“Ah, iya. Gue cuma agak enggak percaya aja lo bisa sebijak ini,” jawab Alvaro meringis pelan.
“Bukan, maksud gue ngapain lo lurus lagi? Ini udah nyampe di penerbitan,” ralat Erina memiringkan kepalanya tidak percaya.
Seketika Alvaro yang menyadari kemudianya pun langsung memutar balik. Tentu saja ia menaati peraturan lalu lintas, dan kebetulan sekali kendaraan masih sedikit sepi sehingga dirinya tidak perlu menunggu waktu lama telah sampai.
“Gue pergi dulu, Kak. Hati-hati di jalan,” pamit Erina turun dari mobil, lalu melambaikan tangan ke arah Alvaro.
Setelah mobil mewah itu melesat menjauhi dirinya, Erina pun berbalik untuk masuk ke dalam gedung yang sudah beberapa tahun menjadi ladang pencarian nafkah untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, tatapan gadis itu tanpa sengaja terpaku pada sepasang suami istri yang baru saja turun dari taksi.
“Mama, Papa,” gumam Erina tidak percaya.