“Gue enggak suka kalau lo kayak tadi lagi.”
Kini keduanya tengah berada di salah satu restoran yang berada di mal, sedangkan Lusi sedang bersama Han Shuo. Mereka berdua memang langsung memisahkan diri ketika dirinya bertemu Alvaro dan melenggang pergi keluar dari bioskop.
“Maaf, Kak. Tadi gue cuma bantu Lusi,” sesal Erina menunduk dalam.
Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu mengapa bisa merasa sangat menyesal. Padahal dirinya tidak melakukan kesalahanan apapun, selain tidak mengabari Alvaro. Ngomong-ngomong soal mengabari, tahu dari mana kalau dirinya ada di mal ini?
“Oh ya, dari mana lo tahu gue ada di sini, Kak?” tanya Erina penasaran.
“Enggak sengaja lewat,” jawab Alvaro santai.
“Benarkah?” Erina memajukan wajahnya ke arah Alvaro.
“Kenapa? Lo enggak percaya?” balas Alvaro mendekatkan wajahnya ke arah Erina yang spontan menjauh.
“Ni ke ma?” Erina mendelik terkejut.
(Apa yang ingin kau lakukan?)
“Enggak ada.” Alvaro tersenyum miring dan meraih salah satu menu yang tergeletak di atas meja.
Erina menghela napas pelan, kemudian melihat ponsel yang bergetar pelan. Menampilkan nama Lusi yang ia ganti dengan ‘Zhao Lusi rewel’ membuat jauh lebih menggemaskan dengan foto gadis itu yang dibuat lucu.
“Dimana kamu sekarang, gadis kecil?” tanya Erina kesal.
“Aku berada di salah satu restoran bersama Han Shuo."
“Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Han Shuo?”
“Ah, lupakanlah. Aku sedang tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Karena gara-gara aku, Han Shuo menjadi trending di beberapa kolom pencarian internet. Aku harus apa, Erina?”
“Kamu tahu dari mana? Apakah Han Shuo mempermasalahkan itu?”
“Tidak, tapi aku malu padanya, Erina.”
“Kalau begitu, baguslah. Manfaatkan kesempatan ini untuk mendekati Han Shuo di luar pekerjaan. Karena aku sendiri tidak yakin, kalau kalian berdua akan bertemu lagi.”
“Tapi ....”
“Hao la. Lakukan apa yang aku katakan.”
Setelah itu, panggilan terputus dan Alvaro langsung mengalihkan perhatiannya pada Erina. Gadis itu terlihat kesal. Walaupun ia tahu ini menyangkut perihal insiden tadi, tetapi tidak ada salahnya kalau bertanya lagi, bukan? Karena bertanya lebih baik daripada menebaknya.
“Sepertinya lo selalu marah saat nerima telepon dari Lusi,” celetuk Alvaro membuat Erina mengalihkan perhatiannya.
“Gimana gue enggak marah, Lusi itu selalu menyia-nyiakan kesempatan. Padahal gue tahu kalau Han Shuo juga suka sama dia. Tapi, entah kenapa dia selalu beranggapan kalau Han Shuo itu malah enggak nyaman sama dia.”
“Memangnya mereka berdua kenapa?” tanya Alvaro tersenyum tipis.
“Friendzone,” jawab Erina lesu, lalu menatap Alvaro serius. “Tapi, gue tahu banget sama mereka berdua itu sama-sama suka. Cuma enggak ada pengakuan aja, jadi ngambang kayak sekarang.”
“Kenapa Lusi enggak nyatain duluan?”
“Bukannya enggak, Kak. Lusi itu udah berkali-kali nyatain, tapi Han Shuo seakan memberi sinyal kalau dia emang suka sama Lusi. Namun, di sisi lain dia bertingkah seolah enggak terjadi apa-apa. Bahkan gue sendiri heran, sebenarnya mau Han Shuo itu apa? Kalau emang dia suka ya kejar, jangan tarik ulur perasaan Lusi kayak gini.”
“b******k juga dia, ya?” Alvaro tertawa pelan membuat Erina langsung mengangkat kepalanya menatap lelaki itu.
“Maksud lo apa, Kak?”
“Gini, gue sendiri sebagai laki-laki aja marah sama Han Shuo. Apa lagi lo, Na. Sebenarnya, gue juga enggak nyalahin Lusi yang terus ngejar-ngejar Han Shuo. Tapi, seenggaknya jangan jadi cewek t***l yang terus ngejar cowok yang nyatanya enggak pernah sama sekali nyatain rasa suka.”
“Masalah hati susah, Kak. Sedangkan Lusi sendiri aja udah suka sama Han Shuo itu waktu mereka sama-sama kuliah. Walaupun di balik itu semua, Lusi sebenarnya masih punya mantan yang masih ngejar-ngejar dia, Kak. Mereka bertiga itu diibaratkan saling mengejar orang yang enggak pernah bisa digapai.”
“Mantan?”
“Iya, mantan waktu Lusi SMA.”
Alvaro tertawa pelan. “Ternyata dunia itu lucu, ya. Mereka ngejar orang yang bukan milik mereka.”
“Itulah yang buat gue enggak ngerti sama Lusi. Padahal jelas-jelas ada cowok yang masih suka sama dia, tapi malah mempertahankan cowok yang enggak pernah ketahuan suka sama dia.”
“Kenapa lo enggak coba nasehatin dia?”
“Udah sering, Kak. Tapi, namanya cinta juga enggak akan ada yang bisa dipaksa. Sama seperti lo yang selalu nunggu gue, ‘kan?” Erina tersenyum menggoda menatap Alvaro yang tersenyum miring.
“Dan Tuhan mendengarkan semua doa gue. Buktinya tanpa gue tarik lo hadir,” balas Alvaro membuat Erina memutar bola matanya malas.
“Terserah deh. Tapi, yang buat gue enggak habis pikir itu sama mantannya Lusi, Kak.”
“Kenapa memangnya?”
“Jadi, mereka berdua itu emang hubungannya enggak lama, cuma enam bulan doang. Karena Lusi langsung mutusin mereka tepat ketika hubungannya enam bulan.”
“Sebentar berarti, ya?”
“Sebentar banget. Itu juga putus gara-gara mantannya enggak ada kabar selama enam bulan penuh. Padahal waktu Lusi lihat sosmednya sering online, tapi enggak sama sekali ngehubungin Lusi. Mungkin dari sana juga yang membuat Lusi susah menerima dia.”
“Maksudnya mantannya itu selingkuh?”
“Gue juga enggak tahu, Kak. Tapi, dari ceritanya Lusi, mantannya ini emang sering dikabarin kalau lagi dekat sama kakak kelas. Awalnya sih biasa aja bagi Lusi, karena dia tahu kalau mantannya ini cukup dekat sama orang lain. Yang jadi permasalahannya adalah selama tiga bulan setelah Lusi dengar mereka dekat, disaat yang bersamaan pula hubungannya itu renggang.”
“Berarti udah jelas kalau mereka selingkuh?”
“Pernah sih Lusi enggak sengaja mergokin mereka berdua lagi ketemuan. Tapi, bodohnya Lusi sama sekali enggak ngelabrak dia, malah langsung pergi gitu aja.”
“Benar pilihan Lusi untuk enggak balik lagi sama mantannya.”
“Emangnya kenapa, Kak?”
Alvaro tersenyum tipis. “Gini Na, perselingkuhan dalam setiap hubungan itu emang enggak pernah ada toleransi, karena sekalinya selingkuh maka akan terus selingkuh.”
“Tapi, gue kasihan aja lihat mantannya, Kak.”
“Itu resiko dia udah buat luka yang cukup menganga buat Lusi.”
“Luka sakit hati itu menyakitkan, tapi luka yang lebih menyakitkan itu hilangnya kepercayaan. Dan sekarang gue sadar, kalau lo enggak seperti yang gue bayangin, Kak.”
“Maksudnya?”
“Awalnya, gue mikir lo itu b******k, karena waktu lo masih sekolah banyak banget anak-anak yang ngejar lo. Sedangkan gue, jangankan mengharapkan lo, untuk hadir di hidup lo aja gue insecure parah.”
“Erina, look at me!” Alvaro menatap lurus ke arah Erina yang terdiam. “Dari dulu sampai sekarang perasaan gue sama lo itu enggak pernah berubah, malah semakin bertambah. Jadi, gue harap lo enggak akan pergi tanpa sepengetahuan gue lagi. Karena pada saat itu juga, gue bakalan nutup hati gue buat selamanya.”
“Kok gitu?”
“Karena pemilik hati gue sedang berkelana, dan tugas gue di sini menunggu dia sampai pulang ke rumahnya lagi.”
“Kalau misalnya enggak pulang, gimana?”
“Gue akan terus menunggu sampai Tuhan berkata, ‘Waktunya pulang.’ Dan gue akan meninggal tanpa penyesalan.”
Erina terdiam mendengar perkataan Alvaro yang terlalu menembus lubuk hatinya. Ia memang terlalu bisu untuk berkata-kata. Bahkan untuk berekspresi pun dirinya tidak sanggup. Karena semua perkataan Alvaro begitu menyentuh sehingga membuat dirinya merasa terharu sekaligus bahagia telah dipertemukan oleh lelaki yang benar-benar mencintai dirinya.