Mungkin bagi sebagian orang mencintai tanpa dicintai itu hal yang biasa. Tanpa balasan seperti halnya sepasang kekasih yang romantis. Impian semua orang itu hanya satu, yaitu dicintai oleh seseorang yang benar-benar tulus pada dirinya.
Namun, realita itu seakan menampar wajah begitu keras sehingga membuat setiap orang merasa tidak percaya diri. Apalagi mengetahui bahwa seseorang itu telah menyukai orang lain.
“Erina, aku harus bagaimana? Aku merasa sangat tidak percaya diri menyukai Han Shuo,” keluh Lusi yang entah sudah berapa kali Erina dengar. Mungkin gadis itu sudah merasa bosan, sebab terus menerus mendengarkan perkataan yang sama.
“Memangnya kamu kenapa lagi sama Han Shuo?” Erina merebahkan tubuhnya di samping Lusi yang bersandar di tempat tidur miliknya.
Tepat ketika ia pulang, Lusi memang langsung menghubungi dirinya. Gadis yang tengah dimabuk asmara itu datang untuk berkeluh kesah. Walaupun ia tahu kalau pembicaraan ini akan sama seperti yang sudah-sudah.
“Sewaktu kami makan di restoran tiba-tiba ada seorang gadis cantik yang datang. Kukira itu adalah salah satu fans-nya, tapi ternyata salah. Gadis cantik itu mengakui Han Shuo sebagai tunangannya.”
“Siapa namanya?”
“Aku tidak tahu.” Lusi mengangkat bahunya singkat, lalu menatap Erina yang juga menatap dirinya. “Apa kamu ingat tentang gadis yang ingin merebut kursi kita?”
“Tentu saja. Aku bahkan masih kesal dengan dia,” jawab Erina cepat yang diakhiri desisan kesal. Namun, Erina langsung merubah ekspresinya saat melihat wajah lesu dari Lusi. “Tunggu, apakah gadis itu yang membuatmu dari tadi gelisah?”
“Iya. Bahkan acara makan malamku dengan Han Shuo berantakan, sebab gadis itu terus-terusan memaksa Han Shuo untuk tidak memperhatikanku. Padahal aku sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Tapi, entahlah aku sedang kecewa dengan diriku sendiri yang begitu teguh mencintai Han Shuo yang nyatanya tidak akan pernah membalas cintaku.”
Tepat setelah mengatakan hal itu, air mata kesedihan yang sejak tadi mendesak keluar mulai meruntuhkan pertahanannya. Perlahan Lusi menangis dalam diam, membuat Erina menjadi serba salah. Karena selama ini ia tidak pernah mendiamkan seseorang menangis. Akan tetapi, dari setiap buku yang ia baca, ketika seseorang putus cinta dan menangis. Maka, kita harus diam dan mendengarkan semua keluh kesahnya sebelum memutuskan untuk memberi pengertian.
Akhirnya, Erina pun bangkit dan memeluk tubuh Lusi dari samping, lalu meletakkan kepala gadis itu di sisi bahunya yang lebih rendah. Tentu saja rendah, karena Lusi jauh lebih tinggi daripada dirinya yang hanya sebatas bahu gadis itu ketika berdiri tegak.
Isakan menyedihkan mulai terdengar seiring sungai kecil mengaliri pipi mulus Lusi yang tampak kemerahan. Raut wajah gadis itu tidak menunjukkan baik-baik saja, karena sejak tadi kedua bola matanya telah memerah. Bahkan sebelum gadis itu mulai menceritakan semuanya.
“Aku salah apa, Erina? Mengapa aku harus menyukai Han Shuo yang tidak pernah menyukai diriku? Dan kenapa harus mantanku yang datang untuk memberi hati, sedangkan kisah kita yang dulu saja belum ada kejelasan. Apakah jalan cerita cintaku akan selalu seperti ini? Mencintai orang yang salah.”
“Tidak, Lusi. Kamu tidak pernah salah. Hanya saja cinta itu butuh ruang dan waktu, termasuk hubunganmu dengan Han Shuo yang tidak pernah ada kejelasan. Aku sendiri tidak ingin menghakimi dirimu yang telah menyukai lelaki b******k, tapi aku yakin kalau kesakitanmu ini akan berbuah manis. Hanya saja kamu harus bersabar sampai pada tiba waktunya yang tepat.”
“Sampai kapan? Apa sampai aku tidak lagi mempercayai sebuah cinta?” sinis Lusi menghapus air matanya kasar, lalu mengalihkan pandangannya menghindari Erina.
“Jangan beranggapan seperti itu, Lusi. Tuhan selalu membuat hatimu kesakitan itu karena ingin membuat dirimu menjadi lebih tegar, dan belajar dari kesalahan yang lalu. Apa kamu ingat kalau kamu pernah menyukai mantanmu yang ternyata selingkuh pada perempuan lain? Lihatlah sekarang, dia malah mengejar cintamu yang sudah kadaluarsa itu.”
Sejenak Lusi terdiam mendengar perkataan Erina yang betul adanya. Bahkan apa yang dikatakan gadis itu persis dengan hati kecilnya. Bukan karena ia merasa frustasi dan mulai menyalahkan Tuhan. Hanya saja ia merasa kalau semua ini tidak pernah adil dengan dirinya yang selalu merasa kesakitan.
“Percayalah, Lusi. Kebahagiaan itu akan hadir seiring berjalannya waktu. Kamu akan merasakan kebahagiaan tanpa kekecewaan lagi, seperti yang sudah kamu alami selama ini. Bahkan aku sendiri yakin kalau kamu nantinya akan dapat sesosok lelaki hebat yang tidak akan pernah membuat dirimu meneteskan air mata kesedihan, walaupun hanya setetes.”
“Benarkah itu, Erina?” Mata Lusi terlihat berkaca-kaca, membuat Erina tersenyum dan mengangguk mantap. Ia memang selalu percaya akan ada kebahagiaan, setelah hadirnya luka.
“Maka dari itu, aku ingin kamu lebih percaya diri lagi. Biarlah kisahmu dengan Han Shuo menjadi kenangan. Sejujurnya, aku juga tidak suka kalau kamu terlalu mengejar dia. Karena sejatinya, lelaki yang dikejar itu tidak akan pernah dapat. Nah, untuk mendapatkannya kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri.”
“Astaga, Erina. Kenapa kamu tahu sekali dengan masalah percintaan seperti ini?” Lusi mendelik terkejut akan respon yang diberikan Erina. Karena selama ini ia tidak pernah tahu tentang teman rekan kerjanya yang ternyata telah merasakan pahitnya dalam masalah percintaan.
“Aku bukannya tahu persis, hanya pernah mengalaminya saja. Walaupun tidak sama dengan apa yang kamu alami,” jawab Erina yang mulai menegakkan tubuhnya dari sandaran tempat tidur, lalu bangkit untuk meraih cemilan yang ada di salah satu lemari tepat di bawah layar televisi besar.
“Bagaimana kalau kamu membuka jasa kencan buta dan biro jodoh saja, pasti banyak yang konsultasi,” ucap Lusi yang sepertinya sudah melupakan kesedihannya.
Erina tertawa pelan. “Aku terlalu sibuk untuk mengurus hal-hal yang tidak penting itu. Lagi pula kemampuanku ini hanya untuk orang terdekatku saja. Kalau diperuntukan bisnis, rasanya tidak akan pernah.”
“Kenapa? Kamu akan sangat beruntung, Erina.”
“Sudahlah, Lusi. Aku hanya tidak ingin dipusingkan masalah percintaan saja. Sedangkan kisah cintaku sendiri belum jelas.”
Erina mulai menghampiri Lusi yang mulai berpindah tempat ke arah sofa panjang tepat menghadap televisi besar. Di sana terlihat gadis itu tengah memasang salah satu K-drama on going yang tidak ia ketahui. Karena selama ini ia tidak pernah menonton K-drama selain DOTS dan THE K2.
“Ah, iya! Aku baru ingat kalau kamu baru bertemu dengan Alvaro tadi.” Lusi tersenyum penuh licik menatap Erina yang mulai memasang wajah waspada, karena kekepoan gadis itu akan melebihi para paparazzi yang sering ia temukan.
“Ni ke ma?” tanya Erina berusaha agar tidak terlihat salah tingkah.
“Tidak. Aku hanya merasa kalau ingatanku telah kembali,” jawab Lusi santai dan mulai membuka salah satu makanan ringan yang ada di atas meja.
“Ingatan apa?” Jantung Erina mendadak bertingkah saat Lusi memasang wajah menyebalkannya.
“Kalau lelaki yang kamu ceritakan padaku itu adalah Alvaro.”