Sinar mentari dari ufuk Timur mulai memancarkan sinarnya dari sela-sela jendela kamar milik seorang lelaki yang masih memejamkan mata dengan nyaman. Ia sama sekali tidak terusik dengan silaunya cahaya tersebut meringsek masuk ke dalam kamar.
Bahkan suara berisik yang berasal dari depan kamarnya pun membuat lelaki itu semakin tenggelam di dalam nyamannya selimut dan hangatnya udara pagi ini. Biasanya ia akan terbangun ketika sudah kedinginan.
“Alvaro,” panggil seseorang sembari mengetuk pintu kamar.
Sayup-sayup Alvaro mendengar suara seseorang yang sangat ia kenali dari luar kamar. Akan tetapi, saat dirinya hendak membuka mata, rasanya berat sekali. Bahkan membuat lelaki itu semakin menenggelamkan kepalanya di tumpukan bantal.
“Alva, lo enggak bangun kena sama gue!” ancam seseorang dengan serius membuat lelaki yang tadi terlelap langsung mendudukkan diri.
“Apaan, sih! Gue masih ngantuk, Bang,” balas Alvaro kesal.
“Cepetan lo keluar!” titah Dzaky tidak terbantahkan membuat lelaki yang lebih muda itu mau tak mau menuruti permintaannya.
Akhirnya, tidak ingin membuat lelaki itu bertambah murka, Alvaro pun bangkit dari tempat tidurnya menuju pintu kamar yang sejak tadi tidak bisa berhenti bergetar. Tepat ketika dirinya membuka pintu, di sana terlihat banyak sekali orang yang sudah berkumpul dengan berpakaian santai.
Akan tetapi, ada satu pandangan yang membuat Alvaro langsung terpaku seakan tidak bisa digerakkan, yaitu menatap sesosok gadis tidak asing tengah bermain bersama dengan Cherry.
“Ini ada apa, Bang? Kok di apartemen gue jadi tempat pengungsian mendadak,” celetuk Alvaro ringan.
“Kita semua mau piknik. Lo ikut enggak?” tanya Dzaky menghela napas panjang mendengar perkataan adik sepupunya yang tidak masuk akal.
Tempat pengungsian? Memangnya Kota Shanghai sedang kebanjiran seperti Jakarta? Dan apa tadi? Piknik? Bukankah hari ini dirinya sedang mendapat libur?
“Bentar, Bang,” sela Alvaro mulai mencerna situasi saat ini. “Maksud lo gue libur hari ini itu buat piknik?”
“Iyalah. Emangnya lo mau ngapain?” tanya Dzaky dengan ekspresi menyebalkan.
“Sialan lo, Bang! Tahu gitu gue enggak mau libur. Mendingan di kantor daripada harus liburan sama kalian semua,” keluh Alvaro memutar bola matanya malas.
“Beneran lo enggak mau?” Dzaky mengangkat alis kanannya pongah.
“Mau, sih,” gumam Alvaro pelan sebelum kembali melanjutkan perkataannya, “Tapi, ... ya enggak begitu juga. Gue mau seharian sama Erina, Bang.”
“Erina juga gue ajak kok,” celetuk Dzaky menunjuk seorang gadis yang tadi tampak tidak asing bagi Alvaro.
“Gila, lo bener-bener niat ngumpulin semua orang buat piknik,” ucap Alvaro takjub.
“Bukan masalah niat atau enggaknya, tapi gue emang udah janji sama Cherry buat balik dari kerjaan langsung ngajak dia piknik. Parahnya, dia mau semua orang ikut,” balas Dzaky malas.
“Oh, jadi ini kemauan Cherry,” ejek Alvaro tertawa pelan mengundang tatapan kesal.
“Kalau bukan karena anak gue, lo enggak akan ada hari libur, Alva. Sana terima kasih sama Cherry! Udah dzolim banget lo, tapi tetep aja dibaikin,” keluh Dzaky menggeleng tidak percaya.
Kemudian, lelaki yang beberapa tahun di atas Alvaro itu pun melenggang pergi ke arah salah satu kamar kosong. Di sana terlihat beberapa tas besar yang bisa ditebak berisikan benda-benda piknik hari ini. Sangat mendadak sampai Alvaro sendiri saja tidak percaya. Karena dirinya belum menyiapkan apa pun.
“Kak Jenia, gue belum bawa apa-apa ini, gimana?” tanya Alvaro menghampiri seorang wanita cantik tengah menyiapkan sarapan di dapur seorang diri.
“Oh, Alva. Lo udah bangun rupanya?” Jenia membalikkan tubuh dan mendapati seorang lelaki dengan wajah bengkak khas bangun tidur. “Semua barang lo udah disiapin sama Zhou Yuan.”
“Dia ikut?” Alis tebal nan tegas itu menukik tidak percaya.
“Jelas ikut. Emangnya siapa lagi yang mau jagain Cherry? Meiying hari ini tidak bisa ikut. Dia sedang ada perjalanan bersama klien kita, jadi mau tak mau dia lain waktu,” balas Jenia mengangkat bahunya acuh tak acuh.
“Oh begitu. Berarti gue mandi dulu ya, Kak?” tanya Alvaro gamang.
“Kalo enggak mandi lo seriusan mau nyetir begitu di samping Erina?” balas Jenia dengan bertanya balik.
Seketika senyum jenaka terbit dari bibir Alvaro membuat Jenia hanya bisa menghela napas pelan. Entah kenapa sikap lelaki itu tidak pernah bisa berubah dari dulu membuat dirinya semakin ragu untuk melepaskan kendali sebagai seorang kakak.
Setelah itu, Alvaro pun melenggang pergi meninggalkan ibu dari satu anak yang masih menyibukkan diri di dapur dengan beberapa alat memasak lainnya. Ia sangat cekatan seiring dengan kompor menyala.
Sesampainya di kamar, Alvaro mulai membuka lemari besar yang berisikan pakaian santai. Ia menatap satu per satu pakaian yang ada di sana sembari sesekali mencocokkan ke arah cermin panjang. Tentu saja ia belum menyiapkan apa pun, karena semalam dirinya hanya berniat untuk menghabiskan waktu di penerbitan.
Sementara itu, di sisi lain Erina terlihat asyik bermain bersama dengan Cherry. Seorang gadis kecil yang sejak tadi bermain dengan boneka lucunya. Ia memang sangat menyukai anak kecil. Apalagi dengan wajah yang seimut dan menggemaskan seperti Cherry.
“Erina, sudah berapa lama kamu tanggal di sini?” tanya seorang wanita yang Erina tahu adalah pengasuh sewaan Jenia.
“Belum lama,” jawab Erina tersenyum singkat.
“Sepertinya Cherry sangat menyukai dirimu,” ucap wanita itu tertawa pelan.
“Tidak. Cherry hanya lebih mengenalku saja. Dulu aku juga seperti kau yang lumayan canggung, tetapi percayalah seiring berjalannya waktu Cherry pasti akan menyukaimu juga,” balas Erina tidak ingin mematahkan semangat wanita itu.
“Iya kau benar. Semua memang butuh waktu untuk beradaptasi,” gumam wanita itu pelan, lalu mengalihkan perhatiannya saat melihat Jenia datang.
Setelah membuat beberapa potong roti isi, dan semangkuk besar nasi goreng, Jenia langsung membawa semua makanan tersebut ke arah ruang tengah. Sebab, kalau mereka semua berada di ruang makan pun akan tidak cukup. Karena isi apartemen ini semua berupa minimalis.
“Cherry, makan dulu! Mama sudah buatkan nasi goreng kesukaan kamu,” titah Jenia membuat gadis kecil yang awalnya terlihat sibuk mulai tersenyum lebar.
“Benarkah, Ma?” balas Cherry tidak percaya.
“Tentu saja. Ayo, cepat makan! Sebentar lagi kita akan pergi piknik,” ucap Jenia mulai mengambilkan dua sendok besar untuk mengambil nasi. Porsi makan Cherry yang tidak terlalu banyak dan sedikit.
Kemudian, aksi berikutnya disusul oleh Erina yang mulai menyendok nasi goreng dan mengambil dua potong roti isi untuk makanan penutupnya. Karena ia memang terbiasa makan tidak terlalu banyak sehingga dalam sepiring pun cukup untuk bekal sampai makan siang tiba.
“Bagus sekali kalian, ya! Sudah menumpang sarapan, dan pemilik tempat pun tidak ditawari makan,” sindir Alvaro membuat semua orang yang ada di sana kompak memutar bola matanya malas, kecuali Erina. Gadis itu terlihat asyik makan bersama Cherry dengan sesekali tertawa dan hampir menyemburkan makanannya.
“Sudah cepat sarapan! Jangan mencari perhatian dengan Erina terus,” putus Jenia mulai mengambilkan tiga sendok nasi untuk lelaki itu, dan mempersilakannya makan.