Di sela-sela sarapannya, Alvaro terlihat sibuk memperhatikan apa yang dilakukan oleh Dzaky. Sejak dirinya bangun tadi, memang lelaki itu belum terlihat sarapan sehingga mengundang tatapan bingung. Karena siapa yang akan menyetir nanti?
“Kak,” panggil Alvaro pelan pada seorang wanita yang kini tengah menyiapkan rantang makanan.
“Kenapa, Al?” tanya Jenia tanpa mengalihkan perhatiannya.
“Memangnya kita mau piknik ke mana?” Alvaro terus menyuapkan mulutnya dengan nasi goreng seiring dengan rasa penasaraan yang terus bertanya-tanya. Sebab, jarang sekali mereka mengadakan libur kalau bukan terjadi bencana.
“Entahlah. Gue juga enggak tahu. Semua ini urusannya abang lo,” jawab Jenia spontan mengangkat kedua bahunya.
“Kalau enggak tahu kenapa mau pergi?” gumam Alvaro semakin tidak mengerti. “Padahal hari ini gue mau bersantai sama Erina.”
Mendengar gumaman Alvaro yang terdengar sedikit kecewa membuat Jenia menyembunyikan senyumannya, lalu menatap lelaki itu datar.
“Jadi, lo lebih memilih liburan sama Erina daripada keluarga sendiri?” sindir Jenia membuat lelaki itu langsung menyadari ucapannya sendiri.
“Bukan begitu, Kak,” sanggah Alvaro cepat, lalu melanjutkan perkataannya, “Tapi, ... agak kecewa aja. Soalnya enggak bilang dulu sama gue.”
“Emangnya kalau bilang lo bakalan setuju?” tanya Jenia menatap lelaki itu penuh.
“Enggak,” jawab Alvaro ringan.
Seketika Jenia langsung melayangkan tinjuan kesalnya pada Alvaro membuat tawa geli menghiasi mereka berdua. Tentu saja hal tersebut mengundang tatapan setiap orang yang ada di sana, termasuk Dzaky.
Lelaki berpakaian santai dengan celana selutut berwarna hitam itu tampak tersenyum geli melihat kedekatan Jenia yang tidak pernah berubah terhadap adik sepupunya. Mereka tetap saja sering kali bertengkar dengan hal-hal kecil seperti sekarang.
“Lo emang bener-bener nyebelin, ya!” sungut Jenia mengabaikan tawa Alvaro yang kian melebar tanpa dosa.
“Baru tahu, Kak? Selama ini lo ke mana aja? Jadi sekretaris gue kok enggak tahu,” balas Alvaro dengan nada mengejek, lalu bangkit dari tempat duduknya untuk membawa piring kotor tersebut ke arah dapur.
Sedangkan Jenia yang melihat Alvaro bangkit pun hanya diam saja. Ia tahu kalau lelaki itu pasti ingin membersihkan piring kotor. Karena memang sudah tugasnya sebagai tuan rumah membersihkan barang yang kotor akibat ulah dari tamu.
Namun, kebiasaan itu memang sudah turun temurun dari dulu. Bahkan sebelum Alvaro pindah untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ia kerap kali membersihkan rumah Dzaky, saat pemiliknya sedang perjalanan bisnis.
Sementara itu, Erina yang sudah menyelesaikan sarapannya pun ikut menyusul Alvaro ke dapur. Tentu saja ia ingin membersihkan piring kotornya sendiri. Namun, sesampainya di dapur Erina sama sekali tidak melihat lelaki itu di sana.
“Ke mana Kak Alva?” tanya Erina pada dirinya sendiri, lalu berpikiran positif untuk tetap mencuci piring.
Kemudian, saat dirinya hendak memutar keran air, tiba-tiba ada sebuah telapak tangan besar yang menarik lengan kanannya. Membuat gadis itu limbung ke samping. Untuang saja ada tangan lainnya yang menahan. Kalau tidak, mungkin dirinya akan terjerembab ke bawah.
Merasa kesal dengan sang pelaku, Erina pun mencubit perut atletis itu dengan gemas. Lalu, mendongak seakan tidak takut apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kok dicubit, Na? Sakit tahu,” keluh Alvaro meringis pelan merasakan cubitan gadis yang ada di dalam pelukannya ini benar-benar mematikan.
“Siapa suruh main tarik-tarikan? Emangnya gue tambang,” balas Erina mendesis kesal.
“Iya, lo tambang hati gue yang mendadak longgar,” timpal Alvaro tersenyum menawan.
“Udah, ah! Gue mau nyuci piring dulu, Kak,” putus Erina berusaha melepaskan kedua tangan lelaki itu yang bertengger di pinggang rampingnya.
Namun, bukannya terlepas Alvaro malah semakin mengeratkan membuat Erina mendelik tidak percaya. Ia mendelik penuh seakan-akan bisa menjadikan lelaki itu takut pada dirinya. Akan tetapi, bukannya merasa takut Alvaro tertawa geli.
“Jangan melotot gitu, Na. Nanti gue pengen,” ucap Alvaro dengan makna tersirat.
Kerutan di alis lentik nan sedikit tebal itu terpancar bingung membuat sang pemiliknya langsung terdiam berpikir.
“Emangnya kalau gue melotot kenapa, Kak?” tanya Erina penasaran. Ia mendadak tertarik dengan ucapan lelaki itu.
Perlahan wajah Alvaro mulai mendekat ke arah gadis itu membuat Erina seketika memundurkan tubuhnya. Tentu saja ia tidak ingin dicuri kesempatan oleh lelaki m***m yang ada di depannya.
Seketika senyum geli milik lelaki itu terbit melihat betapa polosnya gadis yang selama ini sudah mengisi relung hatinya. Entah kenapa ia merasa kalau Erina belum pernah berubah, meskipun sudah beberapa tahun terlewat.
“Gemes aja, jadi pengen cepet dinikahin,” jawab Alvaro ringan seakan apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak memberi efek bagi gadis itu.
Semburat merah di kedua pipi Erina pun muncul membuat Alvaro tertawa dalam hati. Akan tetapi, ia tidak ingin merusak suasana manis ini sehingga lebih baik membiarkannya saja.
“Apaan, sih! Enggak jelas banget,” timpal Erina mengalihkan wajahnya ke arah lain.
Entah kenapa Alvaro merasa posisi seperti ini sangat menyenangkan, selain bisa menatap wajah Erina lebih dekat, ia bisa memandangi setiap lekuk wajah mungil gadis itu. Mulai dari hidung mungil, pipi chubby yang masih memerah, bulu mata lentik bak baru saja dijepit, dan sepasang alis lentik sedikit tebal membikai wajahnya dengan sangat pas.
“Uhm ... Kak, lepasin dong. Enggak enak kalau kepergok,” ucap Erina setengah berbisik.
“Biarin aja,” balas Alvaro ringan tanpa beban.
Mendengar hal tersebut, Erina hanya diam dan mulai menikmati pelukan lelaki itu yang terasa hangat di tubuhnya. Melingkup seluruh tubuh mungilnya dengan pas. Membuat rasa nyaman menyambut pada lubuk perasaan hati Erina.
Di tengah keterdiaman itu, entah dorongan setan dari mana tiba-tiba bibir Alvaro mendarat tepat di atas bibir mungil milik Erina. Ia hanya menempelkannya di sana tanpa ada niat memanggutnya sama sekali. Akan tetapi, tindakan itu malah membuat jantung Erina semakin berdetak cukup kuat.
Tanpa sadar bibir Erina mulai terbuka membuat lelaki itu diam-diam tersenyum. Ia sangat menyukai Erina yang selalu memimpin sebuah ciuman. Karena dapat diketahui kalau gadis itu masih belum mahir tentang berciuman dan harus beberapa kali ia ajarkan untuk menyeimbangi semua gerakannya.
Namun, hari ini Erina-lah yang memimpin ciuman. Meskipun terasa sangat lambat dan lembut seakan terus menyapu satu per satu bibir berisi milik Alvaro yang mulai basah akibat dari saliva mereka berdua mulai menyatu.
Ciuman singkat nan ringan itu tampak membuktikan kalau Erina sudah lebih mahir daripada saat awal mereka berdua bertemu. Akan tetapi, di balik itu semua, Alvaro cukup bersyukur bisa mendapatkan Erina kembali. Gadis yang selama ini mulai menghantui setiap malamnya.
Erina yang menyadari ulahnya sendiri pun langsung menjauhkan wajah, lalu menenggelamkannya pada d**a bidang Alvaro. Tentu saja ia sangat malu saat berciuman seperti ini. Padahal bisa dikatakan mereka berciuman sudah beberapa kali.
“Kak, gue malu!!!” pekik Erina teredam akibat d**a bidang lelaki itu.
Sedangkan Alvaro langsung memeluk erat gadis itu sembari tertawa geli. Ia memang agak terkejut tadi, tetapi setidaknya itu sudah menunjukkan kalau Erina benar-benar memiliki perasaan yang sama seperti dulu.