62. Kerabat Jauh

1121 Kata
“Habis ini lo mau ke mana, Kak?” tanya Erina sembari memakai tas punggung yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Sebenarnya, Ulya sudah mengusulkan untuk tidak bekerja, tetapi Erina masih memiliki banyak pekerjaan yang ditinggal begitu saja. Apalagi katanya, gadis itu masih memiliki buku revisian yang belum diterbit, dan harus segera selesai dalam minggu ini. Agar bisa mempercepat proses pencetakannya. “Kayaknya gue mau balik aja. Soalnya Zulfan masih ada kerjaan lagi hari ini,” jawab Ulya merapikan penampilannya di depan cermin besar yang ada di dalam kamar pribadi milik Erina. “Lo di sini masih berapa hari, Kak?” tanya Erina di sela-sela kegiatannya yang menyiapkan beberapa buku catatan untuk laporan penyuntingan semalam. “Sekitar tiga hari lagi, Na. Kerjaan Zulfan bukan di sini, jadi mau enggak mau gue harus balik ngikut dia,” jawab Ulya lesu, lalu menghampiri Erina. “Wah, berarti lo udah lumayan lama, ya?” ucap Erina sedikit tidak percaya. “Iya. Mungkin kalau dihitung bisa sampai seminggu gue udah di sini, tapi dalam dua hari gue perjalanan ke Jakarta. Jadi, jarak harinya kerasa banget,” balas Ulya mendudukkan diri di kursi kosong yang menjadi meja belajar Erina selama ini. “Berapa kali transit? Kok lama?” Erina menatap wanita tersebut penasaran. “Karena gue punya bayi bisa tiga kali transit, Na,” sanggah Ulya tanpa minat. Tentu saja ia bukan seorang ibu yang kejam membiarkan buah hatinya berlama-lama di dalam benda berbentuk memanjang ke belakang itu. Karena pasti akan banyak sekali aroma yang tercium dari masing-masing keringat dan parfum. Sebenarnya bisa saja Zulfan menggunakan pesawat pribadi, tetapi Ulya jelas tidak mau. Ia terlalu takut untuk memakai pesawat pribadi sejak kepergian keluarganya kala itu. Dan sejak saat itulah, Ulya jarang memakai benda terbang tersebut. Terkadang ia hanya menaikinya saat terdesak, kalau tidak mungkin akan tetap memutuskan untuk melalui air. Menurutnya, tidak apa-apa sampai dengan waktu yang cukup lama asalkan bisa tetap selamat dan berkumpul lagi seperti sedia kala. Sebab, Ulya terlalu takut untuk ditinggal pergi lagi. Apalagi ia sudah ditinggal kedua kalinya dengan orang yang sangat Ulya cintai. “Gimana sama trauma lo? Kayaknya udah enggak bermasalah lagi.” tanya Erina menatap wanita di sampingnya yang tengah sibuk mengaitkan tali sepatu di bangku khusus rak sepatu. “Lumayanlah enggak terlalu nyusahin kayak dulu. Apalagi gue juga udah berkeluarga, Na. Jadi, enggak mungkin kalau gue manja sama suami yang udah punya anak,” jawab Ulya bangkit dari tempat duduknya, lalu menatap Erina. “Emang nama anak lo siapa, Kak? Gue belum dikasih tahu nih,” sindir Erina sembari sibuk merapikan penampilannya lagi di hadapan cermin besar dengan berisikan rak sepatu di dalamnya. “Nama anak gue Queisha Raihan. Queisha nama dari Queen Isha, dan Raihan ngambil dari nama belakang Zulfan. Jadi, anak gue bisa dipanggil Isha,” balas Ulya menjelaskan asal usul dari nama anak pertama mereka berdua. Sejenak Erina mencerna perkataan Ulya, lalu mendelik tidak percaya kalau nama anak dari kakak sepupu palsunya ini sangatlah unik. Atau bisa dikatakan memang belum ada yang Erina temukan nama seperti itu. “Waw, unik banget!” puji Erina tertawa pelan. “Ya begitulah, kan enggak mungkin gue kasih nama Ayah. Jadi, mau gue sambungin sama nama Zulfan kurang cocok, dan berakhirlah menjadi Raihan yang katanya diambil dari nama bapaknya dia,” tutur Ulya mulai melenggang pergi dari apartemen Erina menuju lobi. “Enggak apa-apa, Kak. Yang penting anak udah ada nama daripada belum. Kasihan nanti enaggk ada yang bisa manggil dia,” sanggah Erina tersenyum tipis. Kemudian, kedua wanita yang sama cantiknya itu mulai melangkah menghampiri elevator kosong. Tentu saja pagi ini belum ada penghuni yang terbangun sehingga mereka bisa dengan leluasa menggunakan fasilitas tanpa harus mengantri seperti biasa. Erina memencet tombol ke arah lobi membawa Ulya untuk segera menaiki taksi, dan dirinya menggunakan fasilitas antar-jemput dari kantor. Sebab, ia tidak mungkin mengantarkan Ulya menggunakan fasilitas tersebut, nanti tagihannya bisa menjadi double. Bukan berarti ia pelit terhadap uang, tetapi hidup sendirian di negeri orang butuh uang yang lebih. Mungkin saja Erina bisa merasa sangat kewalahan, dan butuh teman untuk bercerita. Akan tetapi, kembali mengingat dirinya seorang diri membuat ia memang harus membutuhkan seorang teman. Dan kini, sudah ada Alvaro yang rela menemani dirinya sampai tidak memedulikan pekerjaan kantornya sama sekali. Padahal lelaki itu sudah sering dimarahi jika mengabaikan kantornya lagi. Sesampainya di sebuah taksi yang biasa berhenti di depan lobi, Erina langsung menghampiri salah satu satpam penjaga pintu lobi apartemen. Ia ingin menitipkan Ulya pada supir taksi agar bisa kembali dengan selamat sampai di tujuan. “Pagi, shifu,” sapa Erina menghampiri salah satu penjaga yang terlihat asyik berbincang. Sekumpulan lelaki berpakaian satpam itu pun menoleh dan mendapati Erina di sana. Mereka yang sudah biasa bercengkrama dengan Erina langsung tersenyum lebar. Tentu saja keakraban gadis itu kepada siapa pun membuatnya disenangi, meskipun terkadang suka mengabaikan kalau dalam mood yang cukup buruk. “Wah, pagi-pagi sudah mau pergi bekerja, ya?” tanya salah satu satpam berpakaian lengkap. “Iya, shifu. Aku masih banyak sekali pekerjaan di penerbit,” jawab Erina dengan nada lesu, lalu mengkode agar Ulya berdiri tepat di sampingnya. “Oh ya, ini sepupuku yang bernama Ulya.” “Wah, kau ternyata yang pagi tadi memaksa untuk bertemu Erina,” celetuk salah satu satpam mengundang tatapan penasaran dari semua temannya. “Apa yang kau katakana, lao-shi?” tanya salah satu satpam bertubuh kurus. “Iya, pagi-pagi tadi aku dikejutkan oleh seorang wanita datang menghampiriku dengan wajah garang. Aku pikir dia sedang memergoki suaminya selingkuh, tapi dia datang malah menanyakan Erina,” jawab satpam tersebut tertawa pelan. Sedangkan Ulya yang tengah disindir pun hanya mendengus kesal. Ternyata satpam menyebalkan semalam adalah seorang lelaki paruh baya. Pantas saja begitu berhati-hati saat dirinya menanyakan keberadaan kamar milik Erina. “Shifu, kau memang benar-benar sangat menyebalkan tadi. Untung saja aku memiliki kesabaran yang cukup besar, jadi aku tidak akan membalas apa yang kamu lakukan kemain,” sungut Ulya bak seorang anak kecil tengah berkeluh kesah pada ayahnya sendiri. “Maafkan aku. Sebenarnya Erina selama ini tidak memiliki banyak kerabat yang mengunjunginya sehingga agak aneh kalau ada kerabat jauh datang tanpa tahu di mana letak kamar dengan tepat,” sesal satpam tersebut sembari meringis pelan. “Sudahlah, shifu. Aku ke sini bukan untuk melihatmu terus meminta maaf pada Ulya, tetapi aku ingin memintamu mencarikan taksi untuknya pulang. Aku tidak bisa mengantarkan, karena hari ini aku memiliki banyak sekali pekerjaan,” sela Erina. “Baiklah, ayo ikut aku!” ajak salah satu satpam bertubuh kurus. Sedangkan Erina langsung menoleh ke arah Ulya yang mulai beranjak dari sana. Sejenak gadis itu menatap Ulya sendu, sebelum akhirnya ia memeluk tubuh wanita itu erat. “Hati-hati ya, Kak. Jangan lupa kabarin gue kalau udah sampai di penginapan,” ucap Erina tersenyum sendu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN