Keesokan paginya, Erina dibuat kalang kabut saat melihat Ulya benar-benar berdiri di depan apartemen. Untung saja Alvaro sudah kembali semalam sehingga mereka tidak kepergok berduaan di tempat ini.
Wanita yang baru saja menjadi seorang ibu itu tempak datang seorang diri. Entah ke mana buah hati perempuan berwajah bak seperti boneka, perpaduan antara China Ulya dan wajah tampan lokal Zulfan.
Pintu bel apartemen kembali berdering membawa Erina pada kenyataan yang ada. Ia memang sudah tidak bisa menghindar lagi dari wanita itu sehingga mau tak mau Erina harus segera membukanya, agar tidak menimbulkan keributan bagi tetangga apartemen sebelah.
Perlahan pintu apartemen berukuran lumayan besar itu terbuka menampilkan Erina yang terbaluti hoodie berwarna putih dengan rambut tercepol asal menjadikan beberapa anak rambut berjatuhan di sisi Wajah cantiknya.
Tanpa dipersilakan lebih dulu Ulya sudah melenggang masuk menyisakan wewangian lavender yang sejak dulu sudah menjadi kesukaannya. Sedangkan Erina hanya meringis pelan melihat tindakan dari wanita yang sudah ia anggap sebagai kakak sepupunya sendiri.
Setelah menutup pintu dan kembali masuk, Erina menatap tubuh Ulya yang tengah sibuk memandangi ke arah luar jendela apartemen. Menampilkan banyak sekali gedung tinggi seakan saling ingin memperlihatkan kekayaan yang mereka punya.
“Sejak kapan lo begini?” tanya Ulya tanpa membalikkan tubuhnya sama sekali. Akan tetapi, terdengar dari nada suara yang dihasilkan menandakan kalau ia benar-benar sangat kecewa membuat Erina meringis pelan.
“Lama,” jawab Erina seadanya.
“Kenapa enggak cerita sama gue?” tanya Ulya serius sembari membalikkan tubuhnya menatap gadis yang sama sekali belum berubah dari ingatan.
Erina terdiam membisu seakan ia tidak bisa memberikan alasan yang kuat untuk membalas perkataan Ulya.
Sedangkan wanita itu terlihat menghela napas panjang, lalu berkata, “Lo enggak ada niatan buat peluk gue setelah bertahun-tahun pisah?”
Erina yang mendengarnya pun langsung tersenyum lebar, kemudian merentangkan tangan berlari kecil ke arah Ulya. Ia memeluk dengan erat seakan tidak ingin melepaskannya begitu saja. Karena semua beban yang ada di pundaknya menghilang.
“Gimana kabar lo?” tanya Ulya tanpa melepaskan pelukannya.
“Enggak baik seperti yang lo lihat,”jawab Erina lesu membuat Ulya langsung mengeratkan pelukan.
Gerakan naik turun mengusap punggung Erina diberikan oleh wanita itu agar bisa kembali lebih tenang. Tidak seperti kemarin yang menjauh seakan mereka berdua tidak saling mengenal.
“Alvaro udah cerita sama gue semuanya,” ucap Ulya membuat Erina terkejut.
“Kok bisa?”
“Ya, karena gue yang maksa.”
Seketika Erina mengerucutkan bibirnya kesal. Ia merasa telah dikhianati oleh lelaki itu, dan lebih berpihak pada wanita yang sudah mempunyai suami ini.
“Erina, jujur dari lubuk hati gue yang paling dalam. Gue ngerasa bener-bener gagal jagain lo. Seharusnya gue ada buat lo dan enggak menghilang dan mempunyai keluarga. Maafin gue, Na.”
“Enggak, Kak. Lo udah berusaha yang terbaik. Emang gue yang mutusin buat seperti ini.”
“Tapi, gue bener-bener ngerasa kalau aja gue ada buat lo. Mungkin semua ini enggak akan terjadi. Lo dan gue masih bisa sama-sama kayak dulu.”
“Takdir cuma bisa dijalanin sekali, Kak. Enggak ada kata replay.”
Seketika Ulya menitikkan air matanya penuh haru melihat Erina yang masih sama seperti dulu. Seakan gadis itu belum pernah berubah, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya menjalani kehidupan seorang diri di negeri asing yang bahkan belum pernah ia datangi.
“Maafin gue, Na,” sesal Ulya menangis dengan derasnya ketika mengingat kembali masa-masa terberat Erina yang menjalani kehidupan layaknya di penjara.
“Enggak apa-apa, Kak. Lihat sekarang, gue baik-baik aja, ‘kan?” balas Erina cepat.
Ulya terus menggeleng membuat Erina tersenyum geli, lalu mulai mendekap tubuh wanita yang mudah menangis itu. Padahal dulu bisa dikatakan ia tidak pernah menangis. Mungkin naluri seorang ibu yang melihat dirinya tersisihkan menjadi seperti ini.
“Gue mau banyak ngobrol sama lo, Na. Enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ulya meminta persetujuan.
“Boleh sih, tapi gue masih banyak kerjaan,” jawab Erina menjeda perkatannya, “mendingan sekarang kita sarapan dulu. Kebetulan gue udah buat makanan.”
Mendengar hal tersebut, Ulya pun langsung melesat cepat ke arah dapur untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Erina benar adanya. Karena ia memang sengaja melewatkan sarapan hanya untuk menemui gadis ini. Tentu saja tanpa sepengetahuan Zulfan.
Biarlah pagi ini suaminya sesekali direpotkan oleh gadis kecil kesayangan. Sebab, ia sudah tidak bisa mempunyai waktu lagi untuk berkunjung ke kota kelahiran dirinya sekaligus tempat tinggal menetap Erina.
Sebuah masakan khas Indonesia tampak memanjakan mata Ulya yang sejak kemarin hanya memakan bahan makanan ala China. Meskipun sesekali ia selingi dengan nasi goreng. Akan tetapi, wangi segarnya tidak bisa mengalahkan masakan penuh rempah Erina.
“Beli bahan makanan di mana, Na? Dari kemarin gue nyari enggak ada yang asli dari Indonesia,” tanya Ulya mulai mengambil nasi putih beserta beberapa lauk ke atas piring.
“Semua ini gue biasa pesen ke minimarket yang ada di bawah gedung ini. Baiknya, mereka mau cari yang asli dari Indonesia, jadi gue udah langganan gitu,” jawab Erina mulai mengambilkan lauk pauknya agar lebih banyak kepada Ulya.
“Gila, lo bener-bener hebat!” puji Ulya benar-benar tidak percaya.
Sebenarnya ia tahu kalau Erina masih berat untuk bertemu dengan siapa pun, tetapi ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Karena ia begitu merindukan gadis yang ada di hadapannya. Erina tanpa ada tangis dan tawa yang menghiasi seperti dulu.
Walaupun ada beberapa sikap belum berubah, tetapi tetap saja Ulya masih merindukan ekspresif Erina yang masih jauh lebih baik daripada sekarang.
“Oh ya, lo ke sini cuma ada kontrak kerja sama Kak Alva?” tanya Erina di sela-sela kunyahannya.
Ulya mengangguk singkat. “Kak Zulfan emang ada-ada aja kerjaan kantor malah ngajak gue kayak liburan. Sebenarnya enggak mau ikut, Na, tapi dia maksa mulu. Akhirnya gue ikut, dan enggak sengaja malah ketemu lo.”
“Wah, takdir banget ya,” timpal Erina tertawa pelan.
“Ada baiknya emang gue ikut sama suami berbisnis. Padahal gue sama sekali enggak nyangka lo bakalan kabur ke tempat ini,” ucap Ulya mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh.
“Kok bisa?”
“Ya, mana saya tahu. Orang lo aja enggak pernah bilang kalau tertarik sama tempat ini,” sinis Ulya membuat Erina langsung meringis pelan.
“Bener juga,” gumamnya pelan.