Satu per satu keluarga besar Erina mulai mengetahui keberadaannya yang selama ini sudah terpendam sejak lama. Bahkan semua dari mereka tidak sedikit yang terkejut karena sikap nekatnya sudah merajalela hingga ke luar negeri.
Padahal selama ini Erina sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga jarak dengan keluarganyanya sendiri. Sudah bertahun-tahun ia berlindung dengan identitas baru, tetapi tetap saja hal tersebut diketahui sampai Erina mulai merasa perjuangannya sia-sia saja.
Memang tidak ada yang bisa menduga kalau hal ini akan terjadi. Apalagi selama ini Erina terbiasa hidup sendiri dan selalu menyemangati dirinya sendiri untuk tetap semangat menjalani hidup. Meskipun sudah tidak ada lagi yang bisa diandalkna.
Kini Erina mulai berpikiran, apakah kedua sahabatnya lambat laun akan mengetahui kebenaran ini? Sanggupkah ia menjelaskan semuanya tanpa berlinangan air mata. Sebab, Erina terlalu sulit untuk tetap bisa bangkit dan berlakon tidak terjadi apa-apa.
Namun, nyatanya memang tidak semudah itu. Erina tetap saja merasa sangat terpuruk saat setelah mengetahui sedikit demi sedikit kerabat terdekatnya mulai mengetahui kebenaran ini. Bahkan ia menjadi sedikit tidak percaya diri dengan kehidupan yang sudah menemani dirinya selama beberapa tahun belakangan.
Di tengah lamunan itu, tiba-tiba dari arah lain terlihat sesosok wanita berwajah tegas menghampiri Erina dengan raut wajah datar seperti biasa. Ia hanya mengernyitkan keningnya bingung saat mendapati Erina tengah melamunkan diri di depan komputer.
“Dor!” seru Xiao Yu mengejutkan Erina di alam bawah sadarnya.
Sontak gadis itu langsung terjengit kecil, lalu menatap sang pelaku kesal sekaligus geram. Hampir saja jantungnya terlepas dari tempat yang telah menjadi wadah selama ini.
“Ada apa, Xiao Yu? Kau tidak perlu mengejutkanku seperti itu,” sinis Erina kembali mengetikkan sesuatu di komputer kerjanya.
“Aku hanya penasaran. Sejak tadi kau melamun saja tanpa bergerak sama sekali,” ucap Xiao Yu tanpa minat, lalu mendudukkan diri di samping Erina sembari menatap layar komputer yang masih menampilkan banyak sekali tabel pekerjaan.
“Kau sangat menganggur, Xiao Yu. Sampai datang ke sini hanya untuk mengacaukanku,” sindir Erina saat merasakan bangku sebelahnya bergeser.
“Tidak. Aku datang ke sini untuk curhat denganmu. Apakah kau bersedia mendengarnya?” tanya Xiao Yu menatap Erina dengan memohon.
“Apa itu? Masalah seorang lelaki?” Erina langsung menebak dengan tepat sasaran membuat gadis berpakaian santai itu mengangguk pelan.
“Jadi, seperti ini, ada seorang lelaki yang menyukaiku. Tapi, aku sendiri malah yang tidak bisa menerimanya secara lapang d**a. Dan sekarang, aku malah yang menyukai seorang lelaki. Itu sudah pasti jelas. Bahkan jelas sekali, dan aku sangat yakin nanti dia tidak akan menyukaiku kembali,” papar Xiao Yu tertawa pelan. Seakan apa yang dikatakannya sebuah lelucon.
Erina yang mendengar hal tersebut menghela napas pelan. “Semua itu memang relatif, Xiao Yu. Yang kau alami hanyalah seleksi alam untuk membantumu milih pasangan. Sebab, kita hidup untuk memilih yang terbaik, bukan pasrah begitu saja kalau mendapat pasangan biadab. Semua itu sederhana. Tinggalkan yang nyakitin, lanjut kalau memang serasi. Modal sayang tetapi tidak nyaman dan tidak ada frekuensi kecocokan, untuk apa? Cari pasangan itu enggak seperti menemukan uang yang di jalan, lalu main asal main simpan di dalam kantung? Itu namanya tidak waras.”
“Terus aku harus bagaimana?” keluh Xiao Yu menyandarkan kepalanya pada pundak Erina.
“Mau aku kenalkan dengan salah satu temanku?” tanya Erina membuat gadis yang semula lesu mendadak bingung.
“Sebenarnya aku memang ingin sekali berkencan, tetapi aku malah merasa risih saat didekati lelaki mana pun. Walaupun terkadang iri sama kalian yang mempunyai pacar. Terbesit sebuah rasa ingin diperhatikan persis seperti orang bersama pacarnya. Dan selalu berpikiran, kapan aku bisa seperti itu? Selalu itu yang keluar dari segala banyak pertanyaan di benakku. Walaupun aku tahu kalau senior di sini sangat baik, tapi tetap saja aku tidak bisa membuka hati. Rasanya seperti ada yang kurang dengan dia, sedangkan aku sendiri tidak tahu apa itu,” papar Xiao Yu sekenanya.
“Apa kau sudah mencoba untuk pergi bersama?” tanya Erina mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini.
“Aku melakukan banyak hal dengannya. Hang out sudah, dinner sudah, tetapi tetap saja aku tidak bisa merasakan bahagia sampai membuncah hingga perutku kram seperti melihat interaksi kalian berdua tadi. Apa aku terkena uwuphobia?” Xiao Yu setengah bertanya pada dirinya sendiri membuat Erina langsung menatap gadis itu aneh.
“So, what do you want?” tanya Erina jengah.
“Apa sebaiknya aku saja yang mengejar seorang lelaki? Akan tetapi, permasalahannya di sini sama sekali tidak ada lelaki yang sesuai dengan semua kriteriaku,” jawab Xiao Yu tanpa tenaga.
Sejenak Erina berusaha mengambil napas dalam-dalam. Ia tidak ingin emosinya tumpah begitu saja saat menghadapi bocah labil seperti ini. Pantas saja selama ini tidak ada yang mau berteman lebih lama dengan Xiao Yu.
Nyatanya gadis itu memang sedikit merepotkan dari apa yang ia duga selama ini. Meskipun terkadang Xiao Yu bisa menjadi dewasa dengan caranya sendiri. Atau bahkan ia memang belum pernah bisa menjadi dewasa. Karena selama ini hidupnya dipenuhi dengan banyak sekali drama percintaan sehingga kurang realistis dalam menjalani sebuah kehidupan nyata yang cukup berat untuk dilalui seorang gadis.
“Lantas, kamu sendiri ingin menjadi seperti apa, Xiao Yu?” tanya Erina tersenyum paksa, agar gadis itu bisa mengerti perkataannya.
“Aku ingin mendapatkan sifat seorang lelaki yang tidak pasaran, melainkan penasaran,” jawab Xiao Yu meringis pelan memamerkan deretan gigi putihnya yang terlihat rapi berbaris sesuai dengan gusi miliknya.
Seketika Erina menepuk dahinya lelah. Jujur saja, lebih baik ia mengoreksi banyak naskah daripada harus mendengarkan semua ocehan tidak masuk akal dari gadis itu. Karena jawabannya pun pasti akan tetap sama. Ia tidak akan mau berhubungan dengan siapa pun.
“Memangnya ada lelaki seperti itu di dunia ini?” tanya Erina tidak percaya,
“Entahlah. Aku hanya bisa berharap kalau Tuhan akan menurunkannya satu untukku,” jawab Xiao Yu membuat alis kanan Erina dengan spontan terangkat bingung.
Memang tidak masuk akal, tetapi bisa dicoba. Sebab, tidak ada salahnya mengharapkan sesuatu yang bukan menjadi bagian dari hidup kita. Apalagi sampai menyalahkan takdir yang sebenarnya bukan salah dia. Atau bisa jadi malah menjadikan takdir itu sendiri sebagai nilai ukur seseorang. Tidak ada yang benar selagi kita bisa menjalaninya tanpa ada hambatan apa pun.