Sontak Alvaro terdiam membisu saat mendengar penuturan Erina yang di luar dugaannya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau hidup gadis itu akan sangat terasa berat. Meskipun ia tidak pernah merasakannya sendiri, tetapi melihat bagaimana Erina berusaha untuk menjauhi keluarganya sudah menjawab semua pertanyaan itu dengan gamblang.
Bahkan Alvaro lebih tidak percaya lagi kalau Erina sudah mendapatkan perlakuan tidak adil itu sejak lama, mungkin bisa dikatakan sejak gadis itu masih belia. Dan semua pertanyaan itu kian terjawab dengan fakta yang mulai muncul ke permukaan. Kebenaran tentang siapa sebenarnya Erina.
Memang tidak ada yang lebih mencengangkan saat mengetahui kakeknya sendiri adalah orang tua biologis. Bahkan saat mendengar tentang kebenaran itu membuat Alvaro sendiri agak tidak percaya. Karena selama ini ia telah mengenal Kakek Hasbi dengan sangat baik, dan tidak pernah menemukan perlakuan istimewa yang lebih dari sekedar cucu semata wayang.
“Lantas, harta warisan keluarga lo gimana?” tanya Alvaro penasaran.
“Entahlah,” jawab Erina acuh tak acuh.
“Apa Ulya tahu masalah ini?”
“Mungkin belum tahu, karena gue enggak pernah cerita masalah ini sama siapa pun, selain lo. Dan kayaknya enggak akan pernah gue kasih tahu siapa pun lagi.”
“Kenapa?”
“Orang tua gue kemarin nemuin gue lagi, Kak.”
Mendengar hal yang tidak terduga itu membuat Alvaro spontan menghentikan langkahnya. Ia sama sekali tidak mengerti bagaimana rumitnya keluarga dari kekasihnya.
“Untuk apa?”
“Mungkin mau minta pengesahan gue buat harta warisannya jatuh sama mereka.”
Alvaro terlihat tidak suka, lalu menyanggah, “Enggak mungkin, Na. Lo jangan berprasangka buruk dulu.”
“Terus, kalau enggak begitu, mau ngapain lagi? Mustahil mereka nemuin gue cuma karena rindu,” balas Erina tersenyum sinis, kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi taman yang kosong.
“Erina, coba berpikiran positif,” jeda Alvaro menatap Erina penuh, lalu kembali melanjutkan, “Apa kesan pertama lo pas ketemu mereka? Senang atau sedih? Jujur dari hati yang paling dalam.”
Melihat tatapan Alvaro yang tampak meluluhkan hatinya, membuat Erina mengalihkan perhatian ke arah lain. Namun, gerakan itu seakan tidak diizinkan oleh lelaki yang kini menjepit kedua pipinya menggunakan tangan kanan besar nan kosong tersebut.
Memang tidak ada yang lebih menyakitkan, selain bertemu dengan keluarga. Namun, kalau keluarga itu justru membuat batinnya tersiksa bagaimana? Apa yang harus dilakukan? Itulah yang sejak tadi menjadi pertanyaan Erina di dalam batinnya sendiri.
“I’m not feeling like that, Kak. First time yang gue rasain kemarin itu cuma benci sama keadaan. Yang seakan-akan menjadikan gue seperti orang bodoh melihat betapa menyedihkannya ekspresi mereka,” celoteh Erina tertawa sinis, lalu menghela napas panjang menatap lurus ke depan. Ia tahu kalau kesedihan kemarin itu hanya dibuat-buat saja.
“Erina, jangan pernah membohongi diri sendiri,” balas Alvaro bijak.
Mendengar hal tersebut membuat Erina hanya diam membisu. Ia memang sudah tidak peduli sama sekali dengan apa yang akan dilakukan oleh kedua orang tuanya nanti. Bisa jadi dirinya memang sudah acuh tak acuh. Bahkan kalau pun mereka hilang ditelan bumi, Erina akan bersikap biasa saja.
“Okelah, gue enggak akan maksa lo buat bertindak sewajarnya. Cuma saran dari gue, jangan pernah menyesal dengan apa yang telah lo perbuat hari ini,” putus Alvaro mengangkat kedua tangannya untuk mengkode kalau ia benar-benar pasrah.
Diam-diam Erina melirik ke arah lelaki tampan itu. Ia tahu kalau Alvaro pasti kesal dengan sikapnya yang tidak pernah berubah. Selalu saja keras kepala. Bahkan tidak akan pernah mendengarkan sarah dari siapa pun, membuat sikapnya sering menjadikan semua orang terdekat angkat tangan.
“Gabut banget gue di sini. Padahal niat awalnya gue mau ngajak lo kencan,” ucap Alvaro mengalihkan pembicaraan.
Spontan Erina menoleh dengan kerutan tercetak jelas di keningnya. “Ke mana?”
“Tempat yang bisa buat lo makin jatuh cinta sama gue,” jawab Alvaro mengedipkan sebelah matanya genit.
“Ish, apaan sih, Kak!” sungut Erina menyembunyikan senyumannya, agar tidak terlihat oleh lelaki tampan itu.
Sontak tawa lepas terdengar dari Alvaro melihat kegugupan Erina yang terlihat jelas. Walaupun gadis itu sudah berusaha menyembunyikan salah tingkahnya, tetapi tetap saja ia masih bisa melihat dengan jelas.
“Serius, Na. Gue Kemarin udah rencanain mateng banget buat ngajak lo kencan, tapi mendadak batal. Gara-gara Bang Dzaky maksa kita buat liburan bersama,” keluh Alvaro menghela napas kesal. Tentu saja ia masih sangat mengingat kejadian menyebalkan pagi tadi.
“Oh ya, bener banget!” sahut Erina tertawa pelan. “Gue juga sempet enggak percaya, Kak. Soalnya sore-sore gitu Kak Jenia nyamperin gue di penerbitan buat ngundang piknik hari ini. Sempat enggak percaya aja, tapi karena gue terus dibujuk, akhirnya mau deh.”
“Sepasang suami istri itu memang sama-sama menyebalkan,” sungut Alvaro meluruskan kedua kaki panjangnya ke depan, membuat kaki Erina yang bersanding tampak sangat pendek.
Erina mengangkat bahunya acuh tak acuh. Karena ia sedikit bersyukur bisa diundang menjadi bagian dari Keluarga Aryasatya, meskipun kehadiran Ulya tadi sempat membuat mentalnya breakdance.
“Uhm ... Kak, lo enggak mau tanya kenapa gue belum ngasih tahu masalah ini sama Ulya?” sindir Erina membuat Alvaro langsung menoleh.
“Kalau lo mau cerita sih boleh-boleh aja,” balas Alvaro tertawa pelan.
Sejujurnya ia memang sedikit tertarik dengan masalah gadis itu, tetapi untuk menanyakan secara keseluruhan sepertinya tidak mungkin. Karena itu sama sekali sudah mengusik privasi Erina yang belum diketahui oleh siapa pun, dan Alvaro berusaha untuk tidak pernah mengungkitnya kalau gadis itu sendiri tidak membicarakan.
“Cerita aja deh, Kak. Takutnya lo penasaran, jadi stalker gue,” canda Erina membuat Alvaro menarikkan alis kanannya tidak percaya.
“Iya, lo benar!” balas lelaki tampan itu tanpa beban.
Sejenak Erina mengembuskan napasnya pelan, lalu berkata, “Ada suatu alasan yang membuat gue sama sekali enggak mau Ulya tahu masalah ini, yaitu dia sebenarnya bukan siapa-siapa gue, Kak. Kedatangan dia kala malam itu hanyalah suruhan dari Kakek Hasbi yang enggak mau ngerasa gue sendirian mulu. Jadi, beliau memerintah Ulya buat datang menginap di rumah. Padahal malam itu dia lagi ada masalah di kantornya sendiri.”
“Kok lo tahu, Na?” tanya Alvaro bingung.
“Sebelum gue mutusin pindah identitas, gue udah pastiin semuanya, Kak. Tentu gue enggak mau saat pindah identitas itu kebenaran malah terungkap. Pasti akan ribet urusannya. Apalagi selama ini gue selalu berada di sini enggak pernah ke mana-mana,” jawab Erina masuk akal.
“Oke, sekarang gue ngerti. Kenapa lo bisa enggak mau ada siapa pun yang tahu,” gumam Alvaro tersenyum tipis sembari menatap gadis polos yang ada di sampingn