Sejak hari itu, sikap Alvaro kepada Erina pun mulai berubah. Lelaki itu mendadak sangat perhatian dan lemah lembut. Padahal ia sama sekali tidak memiliki kedua sikap itu, karena Erina sudah paham betul bagaimana bar-barnya Alvaro ketika dalam keadaan biasa saja. Bahkan bisa lebih berani.
Namun, sudah ketiga harinya sikap Alvaro mendadak berubah membuat Erina terkadang menjadi geli sendiri. Tentu saja ia belum terbiasa dengan semua itu. Apalagi selama ini Alvaro telah memperlihatkan sisi menyebalkannya.
“Kak, lo bisa balik lagi kayak dulu enggak, sih? Gue geli banget lihat lo begitu mulu,” protes Erina meringis pelan melihat sikap Alvaro yang kini mulai seperti anak kecil.
Alvaro terdiam sesaat, lalu bangkit dari tempat duduknya menuju Erina yang tengah mengetikkan sesuatu di laptop tipis tersebut. Gadis itu ternyata masih merevisi semua naskah suntingannya, membuat Alvaro menghela napas panjang. Kemudian, merebahkan tubuh di pangkuan Erina, gadis kesayangannya.
“Gue mau manja sama lo, Na. Emang enggak boleh?” balas Alvaro menatap wajah mungil gadis kesayangannya dari bawah.
Rahang kecil dengan sepasang pipi gembil putih mulus itu tampak tergulum singkat. Seakan menandakan sang pemiliknya tengah menghela napas panjang. Meskipun dilihat dari bawah sini Erina tampak sangat menggoda, membuat Alvaro sesekali mengalihkan perhatiannya.
Namun, gerakan kepala itu malah menyulitkan Erina yang tengah sibuk bekerja, meskipun akhir pekan. Gesekan rambut kaku milik Alvaro terasa jelas sekali di hotpants milik Erina. Bahkan ia sesekali tertawa pelan seiring dengan gesekan itu terasa geli.
“Kak, jangan goyang-goyang!” sentak Erina spontan memegangi kepala Alvaro.
Sontak lelaki itu terdiam melihat wajah gadisnya yang berada tepat di atas. Beberapa anak rambut tampak berjatuhan dan memberikan sisi manis bagi seorang gadis bernama Erina Zakiyah. Terbesit rasa ingin Alvaro mencium gadis itu, tetapi ia masih mempunyai akal sehat untuk tidak melakukannya. Meskipun tinggal di negara bebas, dan ciuman pun sudah sangat lumrah.
Sedangkan Erina merasakan hal yang sama. Tanpa sengaja ia malah terpaku bibir tegas yang berwarna kemerahan padahal Alvaro sama sekali tidak memakai pewarna bibir. Tampak Erina sedikit tergoda untuk mencium lelaki itu, tetapi ia masih gengsi untuk melakukannya. Karena ia takut kalau Alvaro akan mengira kalau dirinya w************n.
“Kenapa, Na? Ngelihatin gue terus, mau cium?” sindir Alvaro membawa Erina pada kenyataan yang sangat tertampar.
Erina seketika melepaskan tangannya, lalu mendecih sinis berusaha menutupi kegugupannya. Bahkan ia langsung beralih pada laptop lagi, meskipun pikirannya sudah kacau akibat bibir menggoda tadi.
“Enggak! Kata siapa,” tolak Erina keras.
Namun, Alvaro hanya tersenyum tipis, lalu bangkit dari rebahannya. Ia menatap Erina yang masih berusaha fokus pada tulisan, walaupun Alvaro sudah paham kalau gadis itu sedang berusaha mengalihkan pikirannya.
“Yakin enggak mau cium gue?” goda Alvaro membuat Erina mencibir pelan.
Akan tetapi, tidak ada yang menduga kalau tindakan selanjutnya malah sangat menegangkan, yaitu tiba-tiba Alvaro menempelkan bibir miliknya pada bibir Erina. Ia hanya menempelkannya di sana sehingga membuat tubuh Erina mendadak panas. Tentu saja gadis itu akan lebih gugup lagi ketika mereka berdua berciuman, mungkin karena bisa dikatakan hitungan jari yang telah mereka lakukan sehingga belum terbiasa.
Respon Erina semakin tidak terduga, ia melingkarkan kedua tangannya ke arah leher berotot milik Alvaro. Membuat lelaki itu semakin tidak bisa dikuasai oleh akal sehat. Sebab, berciuman tanpa melumat saja sudah menjadikan akal sehatnya hilang, bagaimana bisa Erina meminta lebih?
Sama-sama di luar akal sehat, Alvaro dan Erina pun mulai mengecap bibir satu sama lain. Membalas semua tautan mereka dengan saliva yang saling menyatu, membuat bibir tipis milik Erina seketika menjadi basah dan mulai berdenyut akibat dari permainan Alvaro.
Perlahan namun pasti, Alvaro mulai mengangkat tubuh kecil Erina hingga berada di pangkuannya. Menghimpit kedua tubuh untuk saling merapat satu sama lain, tanpa menyisakan jarak sedikit pun. Seakan ia tidak rela jika angin bisa melewati ciuman yang cukup memabukkan malam ini.
Setelah menyelesaikan ciumannya, Erina yang merasa malu pun menenggelamkan wajah pada lekukan leher Alvaro. Menyembunyikan wajah blushing yang sangat menyebalkan ketika dilihat. Padahal ia sudah berusaha untuk tidak malu, tetapi tetap saja ketika berciuman dengan Alvaro ada hati yang bergetar seiring dengan perutnya tergelitik oleh ribuan kupu-kupu.
Sedangkan Alvaro hanya tertawa pelan, lalu memeluk tubuh mungil Erina yang masih setia di pangkuannya. Ia mengusap punggung mungil itu dengan lembut membuat rasa nyaman mulai hinggap di batin Erina. Sepertinya, sudah lama sekali ia tidak mendapatkan perlakukan seperti ini.
“Rasanya, kayak baru kemarin gue ketemu sama lo, Na,” celetuk Alvaro mengundang rasa penasaran dari Erina.
“Kok bisa?” tanya gadis itu mulai mengangkat wajahnya, lalu menatap sesosok lelaki tampan yang kedua tangannya mulai melingkari sepanjang pinggang mungil terbaluti kaus kebesaran.
“Lo polosnya masih sama kayak dulu. Padahal kita hidup udah bukan di Indonesia lagi, tapi blushing lo bener-bener ngingetin gue waktu kita masih sekolah,” jawab Alvaro menatap Erina lembut, lalu mulai menyelipkan anak rambut yang berjatuhan di sisi wajah mungil gadis itu. Tentu ia menyingkirkan rambut-rambut menyebalkan itu, agar tidak mengganggu pemandangannya menatap wajah cantik Erina.
Sejenak Erina menipiskan bibirnya sembari berpikir. “Sebenarnya, mau tanggal di mana pun itu sama, Kak. Karena gadis yang belum pernah ciuman itu ya pasti polos. Dan enggak mungkin bisa sehebat yang udah berpengalaman.”
“Kenapa bisa begitu?” tanya Alvaro mengeryitkan keningnya bingung.
“Enggak tahu. Mungkin emang belum waktunya aja jadi berpengalaman,” jawab Erina mengangkat bahunya acuh tak acuh.
“Kalau dihitung, kira-kira udah berapa kali lo ciuman, Na?” tanya Alvaro menatap Erina serius membuat gadis itu seketika mendelik tidak percaya.
“Heh! Kok nanya begitu, Kak? Privasi tahu,” jawab Erina terdengar tidak suka.
Tentu saja ia tidak akan mengatakan yang sejujurnya, karena Erina baru mengenal ciuman itu hanya dari Alvaro Kenzi Aryasatya. Bahkan ciuman mereka berdua masih bisa dikatakan hitungan jari, dan tidak mungkin Erina akan berkata jujur. Bisa besar kepala lelaki itu kalau mengetahui kebenaran Erina hanya pernah berciuman dengannya.
“Ok, I got it!” putus Alvaro.
Seketika Erina hanya bisa tertawa geli melihat wajah putus asa dari Alvaro, Meskipun itu tercetak jelas sekali kalau masih penasaran dengan pembahasan ciuman dari dirinya, tetapi demi menutupi hal tersebut Erina hanya bisa merahasiakannya dari lelaki itu. Biarlah hal ini hanya diketauhi oleh dirinya sendiri.