28. Dasar lelaki menyebalkan!

1031 Kata
Alvaro tertawa pelan mendengar pertanyaan Erina yang menurutnya terlalu lucu. Apakah gadis itu tidak menyadarinya ketika SMA dulu? Ia lebih memilih masuk ke jurusan IPS dibandingkan IPA yang isinya anak-anak membosankan. Hal itu memang sedikit membingungkan, apalagi Kakek Wijaya adalah pemilik sekolah yang menjadi tempat dirinya menimba ilmu selama beberapa tahun. Anggaplah ia sedang mencari jati diri, dan akhirnya menemukan dirinyalah yang seharusnya di tempatkan di tepat mungkin untuk sebagian orang membosangkan. Alvaro menyukai sejarah sejak duduk di bangku SD. Saat itu, guru sejarahnya adalah Miss Kavanargh. Seorang sejarawan muda yang aktif di salah satu instansi pemerintahan di Amerika, sebelum memutuskan untuk menjadi seorang pengajar di bangku sekolah dasar yang menjadi tempat Alvaro kecil menimba ilmu. Ia memang sudah sejak dulu sekolah di Amerika. Bahkan dari pendidikan taman kanak-kanak pun sudah ada di sana. Sampai akhirnya, Kakek Wijaya memutuskan untuk cucunya kembali ke tanah air. Setelah bertahun-tahun lamanya di negeri Paman Sam. Sejujurnya, hari itu ia sangat marah sekaligus kesal pada kakeknya yang tiba-tiba sekali melakukan perpindahan tanpa menginformasikan pada dirinya terlebih dahulu. Akan tetapi, ia juga cukup sadar karena selama ini sudah mengabaikan puluhan kali, atau bahkan bisa ratusan kali panggilan dan skype dari Kakek Wijaya dan sepupunya, Dzaky. Namun, di luar dari kekesalan itu semua, Alvaro sedikit bersyukur mempertemukan dirinya pada gadis cantik yang ia kenal sebagai Akira. Gadis dengan dua sahabat lelaki di sisinya, membuat Akira terlihat seperti playgirl, atau yang menjadi sebutan sekarang adalah f**k girl. Sayangnya, nama Akira tidak lagi terucap dari bibirnya, karena sang pemilik nama sudah mengangganti nama indah tersebut menjadi Erina. Ia sendiri tidak tahu alasan yang logis dari pergantian nama itu, karena Erina sama sekali tidak menyinggungnya lagi. Setelah Jenia sudah tidak lagi bertanya. Alvaro tahu kalau istri dari kakak sepupunya itu tidak ingin membuat luka lama di hati Erina melebar, karena selama ini wanita itulah yang menyaksikan bagaimana beratnya hidup menjadi seorang Akira Khanzarumi. Kenangan itu biarlah menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa dilupakan dan tidak akan pernah habis diceritakan. Semua biarlah mengalir seperti air yang tidak akan pernah bermuara pada satu tempat. Ia akan berjalan sesuai dengan arusnya, dan tidak akan pernah melewati arus. Kini Alvaro harus membawa gadis itu pada kenangan-kenangan manis, dan mulai menyimpan kenangan pahit itu dalam-dalam. Walaupun tidak dilupakan, setidaknya ia cukup bersyukur bisa membuat gadis itu tersenyum kembali, seperti enam tahun lalu. Senyum yang tidak lebar, tetapi bisa membuat siapapun merasakan kebahagiaan. “Iya. Ini pertama kalinya ada yang bertanya sama gue soal kesukaan gue itu apa. Padahal dari dulu Bang Dzaky selalu dengar cerita gue soal sejarah yang ujung-ujungnya ditinggal tidur,” ucap Alvaro tertawa pelan. Ia ingat sekali kejadian yang menyebalkan itu di pikirannya. Erina tertawa pelan. Wajah gadis itu terlihat lebih segar daripada tadi yang menatap dirinya begitu kesal. Entah kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga gadis itu kesal. Padahal selama beberapa hari ia tinggal, Erina cukup menyibukkan diri dengan segudang pekerjaan yang tidak akan ada habisnya. “Sebenarnya, gue juga enggak terlalu suka sejarah. Tapi, untuk menjadi pendengar, gue siap kok. Karena selama ini, gue juga selalu menjadi pendengar Ulya yang sering sekali membagikan cerita di kehidupannya selama jauh dari keluarga besar.” “Enggak apa-apa. Gue juga enggak nuntut buat semua orang suka dengan apa yang gue suka. Sebab, semua orang pasti mempunyai kesukaannya masing-masing.” Keduanya pun memutuskan untuk duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sana. Walaupun terlihat ramai, di sana kebanyakan mereka berfoto dan menatap indahnya lampu-lampu dari gedung pencakar langit. “Udah lama kita enggak kayak gini ya, Ra,” ucap Alvaro menatap lurus ke depan. Erina menoleh sesaat, dan menatap garis rahang tegas dari lelaki itu yang terlihat kontrak. Diam-diam ia mulai mengagumi ketampanan lelaki itu yang sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan matang. “Dulu, gue ingat banget kalau lo sering ketemu Bang Dzaky di taman. Padahal gue berharap banget kalau Bang Dzaky itu gue.” “Dan sekarang, harapan itu terwujud. Gue berada tepat di samping lo, Kak. Persis ketika gue pertama kali kenal Bang Dzaky di taman.” “Sayangnya, harapan itu terwujud setelah bertahun-tahun lamanya gue berpisah sama lo. Tanpa ada kabar dan saling sapa yang menyertai kita berdua.” “Jadi, ceritanya lo lagi cemburu sama sepupu sendiri, Kak?” goda Erina tersenyum manis sembari mengedipkan matanya genit melihat Alvaro yang bergerak tidak nyaman. Sedangkan Alvaro hanya diam sembari memutar tubuhnya menghadap lurus ke depan. Tadinya ia memang berniat untuk menatap Erina lamat-lamat, tetapi ketika gadis itu dengan percaya dirinya mengatakan ia cemburu. Gengsi Alvaro pun meronta-ronta tidak terima. “Kak, lihat deh! Gue pengen banget ke sana,” ucap Erina mengalihkan perhatiannya sembari menunjuk salah satu kapal yang ternyata sedang melakukan perjalanan pendek di sekitar Sungai Huangpu. “Naik kapal maksud lo?” Alvaro mengerutkan keningnya bingung. “Bukan Kak, tapi ke sana. Ke tengah laut tanpa memakai kapal.” Alvaro mendelik terkejut dan langsung menurunkan lengan Erina yang menjulur ke depan, lalu menatap gadis itu kesal sekaligus marah. “Na, gue tahu lo lelah sama hidup, tapi setidaknya pikiran orang-orang yang ada di dekat lo. Jangan pernah berpikiran pendek, apalagi sampai putus asa. Semua akan indah pada waktunya, kita yang tinggal menunggu sampai saat itu tiba.” “Kak, lo kenapa sih?” tanya Erina sembari memegang kening mulus milik lelaki itu. “Lo enggak panas, tapi kenapa tiba-tiba ucapannya aneh banget.” Alvaro menyingkirkan telapak tangan gadis itu dari dahi miliknya dan menggenggam erat jemari lentik yang mulai bergerak tidak nyaman. “Erina, gue mohon jangan bunuh diri sekarang. Karena gue enggak mau jadi tersangka pertama kalau lo beneran enggak ada.” Erina menganga tidak percaya mendengar perkataan lelaki itu yang terlalu jujur. Namun, bukan itu maksud dari perkataannya, melainkan ia ingin sekali berenang di sepanjang sungai ini, dan bukannya untuk bunuh diri. “Astaga, Kak! Gue bukan mau bunuh diri.” “Lalu?” Erina menggeram kesal dan menjitak Alvaro kuat-kuat, lalu melenggang pergi setengah berlalu dan meninggalkan lelaki itu yang masih memegangi kepalanya. Jitakan itu memang cukup kuat. Bahkan Erina sendiri tangannya terasa berdenyut, walaupun ia menutupi dengan rapi. “Erina, wait for me! Don't leave me alone.” “It’s not your f*****g business!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN