Tidak ada yang menyangka jika harusnya piknik hari ini berjalan dengan semestinya. Menikmati semilir angin dari salah satu destinasi wisata alam yang ada di Kota Shanghai bersama keluarga. Namun, sepertinya itu hanya angan-angan saja. Sebab, tidak ada yang menduga kalau ternyata di piknik mereka kehadiran seseorang.
Seseorang itu adalah Ulya Queen Qhastalani. Seorang wanita yang baru saja memiliki buah hati dari pernikahan selama tiga tahun tersebut. Wanita itu tampak memandangi dirinya dari atas sampai bawah dengan wajah menelisik seakan mencari sesuatu yang bisa mematahkan semua argumen Erina.
“Aku tidak tahu kau akan datang, Ulya,” ucap Jenia tersenyum ramah.
Tentu saja keduanya saling mengenal dengan beberapa kali pertemuan bisnis. Karena sejak Alvaro menempuh pendidikan di China, Zulfan sudah lebih dulu mengetahuinya dan berupaya untuk tetap berhubungan dengan lelaki itu.
“Sejujurnya aku sangat berat untuk datang ke sini, tapi Zulfan terus memaksaku,” balas Ulya melirik sang suami dengan pandangan kesal.
Sedangkan Zulfan yang mendapat lirikan itu hanya tertawa pelan. Seakan ia sudah terbiasa dengan perlakuan wanita itu. Karena sejak mereka menikah Ulya selalu saja mengeluarkan kata sindiran yang terdengar lucu.
“Tidak apa-apa. Lagi pula kau besok sudah pulang ke Jakarta lagi, ‘kan?” tanya Jenia sembari sibuk menyuapkan makanan ke mulut Cherry.
“Iya. Aku juga berpikiran seperti itu sejak tadi,” jawab Ulya mengangguk singkat.
Akan tetapi, beberapa kali wanita itu melirik ke arah Erina yang terlihat sibuk membincangkan sesuatu bersama dengan Alvaro dan terus berusaha untuk menghindarinya.
Namun, Jenia yang paham akan tatapan itu langsung menyeletuk, “Erina, apa kau tidak lapar? Sejak tadi aku lihat kau tidak makan.”
Erina yang mendapat pertanyaan itu pun langsung menoleh sembari meringis pelan. “Tidak, jie. Aku belum lapar. Sarapan tadi membuat perutku sangat kekenyangan.”
“Makanlah,” titah Jenia lembut sembari memberikan beberapa tanghulu pada gadis itu.
Tidak ingin membuat Jenia merasa kecewa, Erina pun mengambilnya sembari berterima kasih. Sedangkan Jenia yang melihat sikap Erina hanya tersenyum tipis.
Sejujurnya ia tahu kalau gadis itu tengah berperang melawan batinnya sendiri. Karena beberapa kali dirinya memergoki Erina tengah menautkan jemari gugup. Meskipun sudah sebisa mungkin untuk bersikap natural.
“Erina, apa kau ingin menemaniku ke sana?” tanya Alvaro mengedipkan sebelah mata mengkode agar gadis itu menyetujui permintaannya.
“Baik,” jawab Erina berpura-pura semangat mengundang kernyitan dari dahi Jenia. Akan tetapi, wanita itu hanya membiarkannya saja. Ia tahu kalau Erina masih belum siap menerima kenyataan.
Setelah itu, keduanya pun bangkit dari rerumputan yang hanya beralaskan karpet polos. Meninggalkan dua keluarga kecil nan bahagia yang masih sibuk bercengkrama.
Sejenak Alvaro membawa Erina pergi jauh dari tempat itu menuju salah satu pedagang manisan yang terlihat tengah melayani seorang anak kecil. Memang hari ini banyak sekali keluarga kecil yang menghabiskan waktu untuk berpiknik sehingga tidak sedikit anak kecil berlarian di sekeliling taman.
“Mau beli ini, Na?” tanya Alvaro mulai berbahasa Indonesia kembali. Karena ia rasa jaraknya cukup jauh sehingga tidak bisa didengar oleh keluarga dari mereka berdua.
“Boleh, Kak. Kayaknya enak,” jawab Erina tertawa pelan membuat Alvaro ikut tertawa melihat wajah manis itu kembali ceria.
Kemudian, Alvaro pun mulai memesan makanan tersebut dengan Erina yang sibuk memandangi sekitar dengan senyum mengembang. Rasanya sudah lama sekali ia tidak menikmati hidup seperti ini. Sejak dirinya berganti identitas.
“Udah lama banget ya, Na?” tebak Alvaro seakan mengetahui isi hati gadis yang ada di sampingnya.
Sejenak Erina mengangguk menyetujui ucapan lelaki itu. Memang rasanya sudah sangat lama ia tidak ke taman lagi. Padahal dulu ia yang paling sering mengelilingi taman ketika akhir pekan tiba. Bahkan saking seringnya datang, Erina menjadi kenal dengan kakak sepupu dari lelaki tampan yang ada di samping.
Baru saja Alvaro hendak berkata lagi, tiba-tiba pesanan mereka selesai. Membuat lelaki itu mau tak mau mengurungkan ucapannya, lalu membayar untuk segera pergi dari sana.
“Keliling taman sambil makan ini, ya. Lo mau, ‘kan?” tanya Alvaro menatap gadis itu sejenak.
“Iya, Kak. Gue juga masih ngerasa belum siap aja ketemu Cyra lagi,” jawab Erita terdengat lesu membuat lelaki itu seketika menjadi iba.
Ia tahu menjadi seorang Erina sangatlah berat. Apalagi selama ini gadis itu selalu berupaya untuk tidak bertemu dengan keluarga sendiri. Meskipun Alvaro tidak tahu alasan di balik itu semua.
“Na, gue boleh tanya?” celetuk Alvaro membuat Erina langsung mengernyit bingung.
“Nanya aja, Kak. Ngapain pake izin segala.”
“Kalau boleh tahu, kenapa lo berusaha buat ngehindarin keluarga sendiri?”
Sejenak Erina terdiam sembari menghela napas panjang. Memang sudah saatnya ia menceritakan semuanya pada Alvaro, meskipun tidak berharap banyak kalau lelaki itu akan membantu dirinya keluar dari masalah ini.
“Sebenarnya, masalah ini udah lumayan lama banget, Kak. Mungkin sejak gue duduk di bangku SMP. Keluarga gue selalu bersikap kasar, seakan-akan gue bukanlah anak mereka. Awalnya gue ngerasa biasa aja dan selalu berpikiran positif kalau mereka capek. Namun, lama kelamaan gue membohongi diri sendiri, gue mulai ngerasa hubungan keluarga ini mulai enggak sehat,” tutur Erina menjeda perkataannya sendiri.
Tidak ingin memotong pembicaraan apa pun, Alvaro mendengarkan semua perkataan itu dengan seksama. Tentu saja ini adalah kejadian langka untuk Erina bisa menceritakan semuanya tanpa ada rasa keberatan sama sekali.
“Gue biasa aja Kak kalau orang tua bersikap kasar, dan gue berusaha buat nerima itu semua dengan lapang d**a. Tapi, ... jauh di dalam lubuk hati merasa sangat kecewa. Gue enggak tahu kesalahan apa yang pernah diperbuat sampai-sampai keluarga sama sekali enggak nerima gue, kecuali Cyra dan Alm. Kakek Hasbi,” sambung Erina mulai menitikkan air matanya dalam diam membuat Alvaro spontan merangkul gadis itu untuk memberi kekuatan.
“Enggak apa-apa, Na. Keluarin aja kalau lo mau nangis. Gue siap nampung air matanya,” balas Alvaro setengah bercanda.
“Lama kelamaan kesabaran gue mulai habis dan gue berniat untuk mengubah semua identitas gue di masa lalu dengan identitas baru. Bahkan sempat berharap kalau apa yang gue lakuin ini enggak sia-sia. Tapi, ... sayangnya Tuhan selalu bercanda sama apa yang dialami umatnya,” ucap Erina tertawa pelan. Seakan mentertawakan dirinya sendiri.
“Lalu, apa alasan terkuat lo buat ini semua, Na? Enggak mudah ngubah identitas tanpa persetujuan orang tua,” tanya Alvaro mulai penasaran.
“Pada saat yang bersamaan gue tahu kebenaran kalau gue adalah anak kandung Kakek Hasbi, Kak. Di situ gue kecewa banget pas tahu. Karena itu bener-bener telat. Sampai kedua orang tua gue nyebutin kalau Kakek Hasbi ngewarisin sebagian hartanya sama gue,” jawab Erina mengangkat bahunya acuh tak acuh. Ia memang tidak terlalu memedulikan semua itu.