Seketika Erina yang mendengar pertanyaan Lusi pun terdiam. Ia bingung harus menjawab apa, karena semua itu terjadi secara tidak sengaja. Lagi pula mereka tidak hanya berdua saja, melainkan masih ada Cherry di sana.
“Iya,” jawab Erina pelan, lalu buru-buru mencegah gadis itu menyemprot dirinya, “Tapi, ada alasannya.”
“Apa itu?” tanya Lusi menarik napas pelan. Menetralkan emosinya yang nyaring memuncak.
“Sebenarnya, dia datang bersama keponakannya. Apa kau ingat gadis kecil yang bernama Cherry? Dia pernah datang ke sini bersama dengan ibunya.”
“Uhm ... wanita yang pekerja kantoran itu, bukan?”
“Yup, betul sekali. Tepat ketika aku memperbarui kontrak.”
“Ah, iya aku ingat! Kenapa bisa dia mengajak keponakannya datang? Apa dia hanya membuat alasan saja, agar bisa bertemu denganmu?”
“Bukan seperti itu, Lusi jie. Kau selalu berprasangka buruk terhadap semua lelaki yang mendekatiku.”
“Lantas?”
“Malam itu, sejujurnya aku yang menyarankan dia untuk menginap. Lusi, apa kau tega membiarkan seorang anak kecil pulang larut malam? Aku rasa, mungkin kalau kau berada di posisi yang sama denganku akan melakukan hal sepadan.”
Lusi pun terdiam membisu. Benar apa yang dikatakan Erina. Tentu saja ia tidak akan membiarkan seorang gadis kecil pulang larut malam. Apalagi ia sedang tertidur pulas.
“Maka dari itu, aku membiarkannya untuk menginap. Karena kebetulan sekali Alvaro sedang dititipkan untuk menjaga Cherry. Alhasil, aku mau tak mau harus membantunya, Lusi. Aku tidak bisa membiarkannya mengurus seorang gadis, meskipun ia berusia masih dini. Apa kau tahu rasa canggungnya?”
“Kau benar, Erina. Aku pikir, kau tipe orang yang acuh tak acuh pada sekitar. Ternyata, kau memiliki sisi kepedulian yang tinggi, meskipun sering tertutupi dengan sikap cuekmu itu.”
“Sekarang kau mengerti alasanku, ‘kan?”
“Iya, Erina,” jawab Lusi tersenyum geli, lalu mulai merangkul gadis itu, dan membawanya masuk ke dalam ruangan redaksi.
Sedangkan Erina hanya mendengkus kesal. Kini Lusi jelas sekali terlihat seperti seorang kakak bagi dirinya. Meskipun selama ini ia sudah menjadi anak tanggal, tetapi tidak urung dirinya kembali merasa istimewa dengan kehadiran Lusi.
Setelah itu, Lusi pun mendudukkan diri di kursi kosong yang biasanya ditempati oleh Alvaro, lalu disusul dengan dirinya mulai meletakkan tas punggung lumayan besar itu di atas meja. Tentu saja ia akan langsung bekerja ketika sudah sampai di meja kerja.
“Oh ya, semalam waktu aku mabuk tidak ada hal aneh yang terjadi, ‘kan?” tanya Lusi penasaran.
Erina menggeleng pelan. “Sepertinya tidak ada.”
“Kenapa aku merasa perkataanmu itu sangat ragu, ya? Apa kau bersungguh-sungguh?”
“Tentu saja, aku bersungguh-sungguh. Karena kau mabuk hanya mengacaukan Alvaro. Entahlah dia masih mengingatnya atau tidak, tapi yang jelas semalam kau sangat berani. Aku bahkan tidak menyangka kalau kau akan melakukan hal itu.”
Seketika mata sipit milik Lusi membulat ketika mendengar penuturan Erina. Pikirannya mendadak melakukan perjalanan yang tidak-tidak.
“Benarkah? Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Ayo, cepat beri tahu aku!” desak Lusi dengan wajah panik.
Namun, keadaan sedang tidak berpihak dengan Lusi, sehingga tanpa keduanya sadari seorang lelaki melenggang masuk ke dalam sembari membawa setumpukan kertas yang diyakini itu adalah sebuah n****+ baru.
“Bos, ada apa kau ke sini?” tanya Erina saat tanpa sengaja mendengar pintu ruangan terbuka pelan.
Sontak Lusi yang melihat Wang Junkai masuk ke dalam langsung bangkit, lalu menatap lelaki itu dengan sepasang alis tebal menaut bingung sekaligus penasaran.
“Aku membawakan naskah untukmu, Erina,” jawab Wang Junkai menyerahkan setumpukan kertas lumayan tebal, membuat gadis yang disebut namanya itu langsung tercengang tidak percaya.
“Apa kau berniat membunuhku? Naskah itu sangatlah banyak, Bos. Aku bahkan melihatnya sudah tidak sanggup,” ucap Erina menganga sembari mulai menghitung kertas yang ada di sana, dan sama sekali tidak terhitung.
“Cepat kau bereskan! Siang ini aku akan bertemu dengan investor. Ingatlah, Erina. Perusahaanku sedang menurun,” titah Wang Junkai dengan diakhir kalimatnya terdengar pelan, menandakan lelaki itu benar-benar sangat frustasi akan penurunan saham bulan ini.
“Bukankah semua pajak sudah terselesaikan? Kenapa masih mengalami penurunan?” tanya Lusi ikut nimbrung di percakapan keduanya, membuat Wang Junkai langsung menatap gadis itu aneh.
“Lusi, apa kau sedang salah ruangan?” tanya Wang Junkai terdengar sinis.
“Tidak. Aku hanya mengunjungi rekan kerjaku saja,” jawab Lusi ringan membuat lelaki berpakaian kemeja itu terlihat menghela napas berat.
“Sejujurnya semua pajak memang sudah dibayar, tetapi aku tidak tahu kalau kita masih mempunyai tagihan bersama bank. Kau tahu? Pagi ini petugas bank hampir saja menyita semua barang-barang di sini. Padahal aku hanya telat satu bulan, itu pun karena benar-benar tidak mengetahuinya.”
Seketika ingatan Erina langsung mengarah pada suatu kejadian yang tanpa sengaja ia dengar. Saat itu, dirinya hampir saja ketahuan oleh Alvaro. Ternyata, Wang Junkai menemuinya kala itu hanya untuk membicarakan hal ini. Membuat Erina diam-diam menatap bosnya prihatin.
Guratan lelah itu seakan tidak pernah bisa membuatnya mundur. Bahkan Wang Junkai sampai rela menghabiskan banyak malam untuk tetap berada di kantor. Tentu saja ia mengetahui hal tersebut dari beberapa satpam yang bertugas di sini.
“Apa kau tidak mencoba untuk mencari kenalanmu saja, Bos?” tanya Erina berhati-hati.
“Sudah banyak yang aku hubungi, tetapi tidak ada satu pun mereka mau diajak kerja sama. Alasannya, karena aku mengelola redaksi yang sama sekali tidak menguntungkan,” jawab Wang Junkai tersenyum tipis.
Seakan lelaki itu baru saja menguatkan dirinya sendiri, agar tidak terlalu larut dalam kesedihan dan kegagalan. Memang bukan pertama kalinya, tetapi ini cukup membuat siapa pun kehilangan pekerjaan.
“Begini saja, Bos. Aku mempunyai salah satu kenalan yang cukup mapan. Mungkin kau mau aku kenalkan dengan dia, tetapi aku tidak bisa menjamin kalau kau bisa meyakinkan dia untuk bekerja sama denganmu. Karena ini semua tergantung dengan perkataan dan pencapaianmu, Bos,” ucap Erina mulai memberikan usulan, membuat Lusi langsung menatap dirinya menuntut penjelasan.
“Apa kau sedang mempromosikan temanmu sendiri?” tanya Wang Junkai tertawa pelan mendengar ucapan Erina.
“Tidak. Aku benar-benar ingin membantumu,” jawab Erina cepat.
“Memangnya apa yang kau harapkan sampai rela mengenalkan temanmu padaku?” tanya Wang Junkai membuat Erina nyaris saja menoyor kepala lelaki itu.
Akan tetapi, ia jelas ingat harus sopan kepada bosnya sendiri. Apalagi lelaki itu sudah membantu dirinya lumayan besar. Atau bisa dikatakan kalau Wang Junkai adalah sesosok ayah baginya.
“Bos, aku sudah banyak kau bantu, meskipun sedikit menyebalkan karena aku harus mengakuinya. Tapi, percayalah kalau aku bisa membantumu. Walaupun semua keputusan masih mutlak di tangamu sendiri.”
“Baik. Memangnya siapa yang ingin kau kenalkan?” tanya Wang Junkai.