“Om, baju sekolah Cherry mana!!!”
Teriakan melengking khas anak kecil itu tampak membisingkan suasana apartemen. Bahkan hal tersebut berlaku bagi Alvaro yang baru saja menuntaskan bersih-bersihnya. Lelaki itu langsung berlari masuk menghampiri seorang gadis kecil yang berdiri di tepi tempat tidur menyambut kedatangannya.
“Cherry, berapa kali Om bilang jangan suka teriak-teriak?” tanya Alvaro dengan wajah mengerut kesal membuat gadis kecil itu langsung mengerucutkan bibirnya lucu.
“Udah enggak apa-apa, Kak. Namanya juga anak kecil,” sahut Erina melenggang masuk ke dalam kamar.
Kompak kedua orang itu langsung menoleh. Akan tetapi, tidak dengan Alvaro yang masih terlihat kesal. Akibat dari ulah keponakannya sendiri.
“Jangan, Na. Nanti kebiasan kalau didiemin,” sungut Alvaro dengan pandangan tetap mengarah pada gadis kecil itu.
Erina mengerti maksud Alvaro pun hanya menghela napas pelan, lalu menatap ke arah Cherry yang menundukkan kepalanya penuh. Seakan gadis kecil itu baru saja menyesali perbuatannya sendiri.
“Cherry, sini sama Aunty. Biar Om Alva sendirian, kita berdua,” ajak Erina mengulurkan kedua tangannya.
Seketika wajah sumringah Cherry terlihat. Tanpa pikir panjang gadis itu langsung menyambutnya dengan antusias, lalu melompat turun dari tepi ranjang. Kemudian, melenggang pergi keluar kamar meninggalkan Alvaro yang masih menarik napas pelan. Meredakan emosinya sendiri.
“Kalau udah selesai langsung ke meja makan, Kak. Kita sarapan dulu,” ucap Erina sebelum dirinya benar-benar menutup pintu kamar meninggalkan Alvaro yang masih terdiam.
Setelah keluar dari kamar, Erina pun langsung berlari menyusuli Cherry yang sudah terduduk tepat di depan televisi. Gadis kecil itu terlihat menonton salah satu kartu kesukaannya dengan berbahasa inggris. Anehnya, Cherry sama sekali tidak kesulitan, seakan ia sudah sangat hafal dengan kosa kata tersebut.
“Cherrry, Aunty pakein rompi sama mantelnya dulu, ya. Di luar sangat dingin, jadi kau harus memakai ini dengan nurut,” titah Erian menuntun lengan kecil itu memasuki satu per satu lengan kosong di rompi dan mantel tebalnya.
“Nanti Aunty ikut mengantar Cherry, ‘kan?” tanya Cherry sembari memegang kedua pundak milik Erina. Ia telah selesai memakai pakaian tersebut.
“Tentu saja aku harus mengantarkanmu. Apa kau tidak ingat? Kalau tadi kau sudah membuat Om Alva marah besar,” jawab Erina spontan membuat ekspresi senang Cherry meredup.
“Aku tidak tahu, Aunty. Aku pikir Om Alva tidak mendengarnya tadi,” sesal Cherry menundukkan kepalanya.
“Tidak apa-apa. Itu untuk terakhir kalinya, Cherry.” Erina menyeliptkan sejumput rambut ke belakang telinga gadis kecil itu, lalu bangkit dari sofa. “Ayo, kita sarapan dulu!”
Dengan antusias, Cherry bangkit dan menggandeng jemari tangan Erina untuk membawanya ke arah ruang makan. Di sana terlihat sudah ada Alvaro yang duduk sembari memainkan ponselnya, lalu teralihkan saat mendengar suara langkah kaki mendekat.
Erina pun menggeser kursi untuk diduduki Cherry, membuat gadis kecil itu langsung berkata, “Xie xie, jie.”
Sarapan kali ini terlihat begitu bermakna bagi Erina, sebab ia terbiasa melakukan apapun sendiri. Sekarang ketika bersama-sama menjadi lebih istimewa. Bahkan bibirnya masih terulas senyum tipis dengan sesekali memberikan lauk lebih banyak kepada Cherry.
Selesai sarapan, Alvaro, Cherry, dan Erina pun langsung bergegas mengambil tasnya masing-masing. Tentu saja aktivitas pagi akan segera dilaksanakan dari sekarang. Karena hari ini merupakan hari pertamanya kembali bekerja maupun sekolah.
Mereka bertiga pun berangkat menggunakan mobil milik Alvaro yang sudah dipanaskan. Kemudian, mobil mewah itu pun mulai meninggalkan basement apartemen menuju sekolah Cherry terlebih dahulu. Sebab, sekolah gadis kecil itulah yang berlawanan dengan mereka berdua.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Cherry pun membuka pintu mobil penumpang. Gadis kecil itu terlihat melambaikan tangan, sebelum benar-benar masuk ke dalam sekolah.
“Ke redaksi, Na?” tanya Alvaro menjalankan mobilnya mencari putaran jalan.
“Iya, Kak. Masih ada buku yang proses editing sama melakukan pertemuan untuk tanda tangan kontrak,” jawab Erina menatap lurus ke depan.
“Kayaknya hari ini gue enggak bisa ke redaksi dulu. Soalnya kerjaan kantor lumayan banyak. Kak Yuan juga udah keteteran buat nge-handle semuanya.”
“Siapa suruh Kakak malah ngabisin waktu di redaksi? Padahal di kantor sendiri banyak kerjaan.”
“Bukan begitu, Na. Gue cuma mastiin kalau lo enggak akan kabur lagi.”
Sejujurnya, apa yang ditakutkan oleh Alvaro memang ada benarnya. Lelaki itu terlihat sangat trauma dengan masa lalu, sampai-sampai dirinya sendiri merasa sangat takut.
“Kak, gue enggak akan kabur lagi kok. Percaya deh. Kalau gue kabur, buat apa capek-capek pindah kewarganegaraan?”
“Erina, pelase. Sekali ini aja dengerin gue. Bukan karena gue mau ngatur lo, tetapi karena gue emang bener-bener takut.”
Seketika Erina terdiam mendengar nada permohonan dari lelaki yang ada di sampingnya. Ia melihat genggaman pada stir mobil itu terlihat mengerat seiring dengan rahangnya mengeras. Apakah sebegitu takutnya Alvaro?
Tak lama kemudian, mobil kembali terhenti tepat di depan gedung yang lumayan bersar dengan beberapa perusahaan di dalamnya. Alvaro memang tidak harus sampai sejauh ini, tetapi percayalah kalau semua orang yang ada di sini sudah mengetahui identitasnya, meskipun tidak banyak berbicara.
“Kak, gue turun dulu,” pamit Erina membuka sabuk pengaman, lalu meraih tas punggung yang ada di kursi penumpang.
Namun, Alvaro malah menahan pergelangan gadis itu, membuatnya langsung terhenti. Entah kenapa ada rasa yang begitu berat saat dirinya berpisah dengan Erina. Seakan tepat di depan matanya ada sebuah cahaya tak kasat mata yang bersiap untuk menelan gadis itu secara hidup-hidup.
“Erina, wo ai ni,” ucap Alvaro pelan. Bahkan saking pelannya hampir tidak terdengar oleh gadis itu.
Seulas senyum senang terbit di wajah Erina, membuat gadis itu langsung memeluk tubuh kokoh nan berisi itu. Meskipun sejenak dirinya merasa kalau Alvaro menegang terkejut akan respon darinya.
“Aku juga mencintaimu, Kak,” bisik Erina tepat di depan telinga lelaki itu, lalu buru-buru melepaskannya dan melesat keluar. Tentu saja sebelum lelaki itu menyadari ucapannya yang terdengar sangat manis.
Setelah keluar dari mobil, Erina langsung melambaikan tangannya singkat, dan berlari kecil masuk ke dalam gedung. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya, agar bisa membersihkan apartemen lagi. Sebab, masih ada beberapa barang yang harus ia bawa dari asrama.
Akan tetapi, sebuah tarikan cepat itu membuat Erina hampir saja limbung ke sembarang arah, dan dirinya nyaris tersungkur kalau tidak cepat berpegangan pada tembok yang ada di sisinya.
Kemudian, Erina pun menatap sang pelaku kesal. “Kenapa sih, Lusi? Kau sudah menarikku seperti pencuri. Untung saja hari ini aku tidak membawa laptop.”
Sayangnya, Lusi mengabaikan perkataan gadis itu. “Aku tidak peduli. Ngomong-ngomong, kenapa kau pagi ini berangkat dengan dia? Apakah dia menginap di apartemenmu?”