Setelah perdebatan singkat itu, Erina pun memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Tentu saja yang mengantarkan gadis itu adalah Alvaro sendiri. Kalau tidak, lelaki itu pasti akan marah lebih besar daripada yang tadi. Karena merasa sudah diabaikan keberadaannya.
Akan tetapi, tetap saja suasana hatinya belum berubah. Ia masih kesal terhadap Erina yang belum bisa jujur kepada dirinya. Padahal banyak kenangan yang telah mereka lalui bersama, seakan itu hanyalah semu belaka membuat Alvaro sedikit tersinggung.
Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa pun, selain mendukung semua keputusan Erina. Walaupun terkadang dirinya merasa tidak adil, tetapi berusaha semaksimal mungkin agar gadis itu tetap berada di sisinya. Karena itu jauh lebih baik daripada ia harus mengejarnya lagi sampai ke ujung dunia sekalipun.
Langkah tegas nan lebar milik Alvaro terlihat menyusuri sebuah lobi yang sangat tidak asing, yaitu apartemen kantor. Di sana banyak sekali para petinggi perusahaan yang baru saja pulang dan bertemu dengan lelaki itu.
Sedangkan Alvaro hanya menyapa mereka singkat, agar tidak dikatakan sebagai lelaki sombong dan tidak tahu diri. Karena dirinya berada di perusahaan itu hanyalah sementara. Kemudian, akan segera mengambil alih salah satu perusahaan cabang milik kakaknya yang kini tengah dikelola oleh Dzaky bersama dengan sang istri tercinta.
“Presdir Alva!” seru seorang lelaki dari arah berlawanan membuat lelaki tampan tak bercelah itu langsung memutar tubuhnya, lalu mengernyit bingung.
“Sedang apa kau di sini, Zhou Yuan? Bukankah hari ini kau sengaja aku berikan libur selama setengah hari?”
“Memang benar, tapi ada masalah yang lebih mendesak. Sepertinya Presdir Alva belum mengetahuinya,” ucap Zhou Yuan misterius.
“Apa itu?” tanya Alvaro penasaran.
“Malam ini kau ada acara di salah satu hotel untuk menghadiri peresmian toserba milik QuanSheng Group yang,” jawab Zhou Yuan menunduk seakan ia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh lelaki tampan di hadapannya.
Dan benar saja, Alvaro langsung menggeram kesal mendengar penuturan asisten pribadinya. Baru saja ia hendak mengistirahatkan diri dari segala macam suasana hati, tetapi kini sudah diganggu oleh orang lain lagi.
“Apa tidak bisa dibatalkan saja?” tanya Alvaro malas.
“Tidak bisa. Ini merupakan undangan dari bulan lalu. Memastikan Presdir Alva untuk mengosongkan semua agenda,” jawab Zhou Yuan terdengar tidak peduli membuat Alvaro langsung menghela napas kasar.
“Baiklah. Sekarang antarkan aku ke sana,” putus Alvaro membalikkan tubuhnya meninggalkan lelaki itu.
Sedangkan Zhou Yuan yang sudah tahu kalau Alvaro tidak akan menolaknya pun hanya tersenyum tipis. Sekesal apa pun, semarah apa pun lelaki itu terhadap orang lain pasti tidak akan lebih sekedar melampiaskan emosinya saja. Ia tidak akan pernah membuat perhitungan pada siapa pun, kecuali orang tersebut benar-benar mencari masalah dengan Alvaro.
“Apa lagi yang kau lihat, Zhou Yuan? Cepatlah, aku sudah tidak sabar!” ketus Alvaro membalikkan tubuhnya kesal saat tidak mendapati seorang lelaki yang sangat ia kenali.
Tanpa pikir panjang, Zhou Yuan pun berlari menyusul sang bos. Ia tidak ingin terkena masalah lagi. Karena kalau Alvaro dalam suasana hati yang buruk, mungkin semua orang akan terimbas pada omelannya. Sebab, lelaki itu akan jauh lebih banyak bicara ketika sedang marah.
Bahkan selama perjalanan menuju hotel Alvaro lebih banyak diam. Ia terlihat memandangi keadaan luar jendela mobil yang menampilkan banyak sekali lampu warna-warni menghiasi beberapa titik tertentu, termasuk kafe dan peristirahatan singkat.
“Zhou Yuan, apa Kakakku sudah mengabarimu masalah perjanjian kemarin?” tanya Alvaro menatap seorang lelaki yang terpaut usia tidak terlalu jauh.
“Masih belum, Presdir Alva. Karena diberitakan Pimpinan Dzaky masih dalam perjalanan pulang,” jawab Zhou Yuan mengundang kerutan di kening milik Alvaro.
“Lalu, yang menjemput Cherry siapa?” tanya Alvaro penasaran.
“Tenang saja. Nona Kecil Cherry sudah dijemput oleh supir pribadi Tuan Besar Aryasatya,” jawab Zhou Yuan membuat Alvaro menghela napas pelan.
Kemudian, Alvaro termenung sejenak. Ia masih tidak enak hati pada sang kakak sepupu yang selalu merasa kerepotan dengan adanya Cherry. Sejujurnya, ia lebih tidak percaya lagi kalau alasan Jenia adalah karena dirinya belum mempunyai istri. Memangnya apa yang akan ia lakukan kalau dirinya sudah mempunyai seorang istri?
Memikirkan hal aneh itu membuat Alvaro tidak sadar kalau mobil yang ditumpanginya sudah berhenti tepat di depan lobi hotel mewah rancangan salah satu arsitek terkenal. Ia memang memiliki banyak sekali pengetahuan tentang arsitektur dan gaya pembuatan hotel ini yang lebih dominan ke arah klasik.
“Presdir Alva, kita sudah sampai,” ucap Zhou Yuan mengejutkan Alvaro sehingga lelaki itu terjengit pelan.
“Baiklah. Aku tahu,” balas Alvaro membuka pintu mobilnya sendiri, lalu melenggang masuk ke arah karpet merah yang menjulur ke depan membentuk sebuah jalan dengan arah sudah ditentukan.
Sebenarnya agak aneh juga kalau dirinya berjalan di tengah para wartawan yang sibuk memotret dirinya dari sisi mana pun. Membuat Alvaro berkali-kali merapikan penampilannya agar terlihat lebih baik.
Sebab, ia tidak tahu kalau acara peresmian ini akan diliput oleh banyak wartawan. Padahal acara seperti ini sudah biasa dilakukan sehingga tidak perlu meliput hal-hal yang sangat merugikan diri sendiri, termasuk uang dan kekusaaan.
“Aku kira kau tidak datang, Presdir Alva,” ucap salah satu koleha bertubuh gempal dengan senyuman misterius yang terlihat sedikit aneh.
“Iya, terima kasih. Aku sudah tahu,” balas Alvaro tersenyum sopan dan berusahaan menghampiri beberapa kolega yang ia kenal tengah bersulang minuman.
Tentu saja kedatangan Alvaro mampu membuat keempat kolega itu mengalihkan perhatiannya, lalu menatap seorang lelaki kebanggaan mereka dengan senyuman lebar.
“Kau sudah datang, Presdir Alva? Sepertinya akhir-akhir ini kau sering sekali izin dari perusahaan. Padahal sekarang banyak sekali acara festival sehingga tidak perlu berlebihan,” ucap lelaki berkacamata itu.
“Iya kau benar. Aku memang sangat tidak menyukai tempat ini. Apalagi yang kembali melakukan tanpa hal melakukan sesuatu apa pun itu,” balas Alvaro tersenyum singkat. Sebab, ia memang tidak akan berniat seperti itu.
“Dendam apa itu?”
“Sebuah dendam yang tidak bekerja dan mengasyikkan diri dengan overtime,” jawab lelaki berkacamata itu dengan nada marah membuat Alvaro langsung mengangkat alis kanannya bingung.
Namun, seorang lelaki yang ia tunggu ternyata berada tepat di sampingnya. Menggandeng seorang wanita asing, tetapi dapat ia duga kalau itu adalah wanita dari kalangan bukan pebisnis.
“Wah, kau sudah datang Zulfan?” sapa Alvaro tersenyum ringan.
“Tentu saja. Karena ini merupakan bisnis pertamaku di China. Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik,” balas Zulfan tertawa pelan.
Sedangkan Ulya yang berada di sampingnya hanya tersenyum singkat, lalu menatap ke arah lain seakan tengah mencari seseorang.
“Mencari Erina?” tanya Alvaro mengundang tatapan bingung dari Ulya.
“Siapa itu Erina?”