"Perkenalkan ini Celyn, sebagai penanggung jawab WO," ujar kiki memperkenalkan Celyn dengan Arvan.
Dengan raut wajah yang masih penuh keterkejutan, Celyn coba mengulurkan tangan. Memperkenal diri, walau sebenarnya ia merasa ragu. "Saya, Celyn, penanggung jawab di sini." Benar saja, keraguannya terbukti benar, Arvan tak menanggapi jabat tangannya dan memilih duduk pada sebuah sofa yang ada di dekatnya.
"Jadi, konsep seperti apa yang kalian punya?" tanya Arvan. Suaranya terdengar begitu angkuh sambil melipat tangan di depan d**a.
Mendengar pertanyaan itu, Kiki pun langsung membuka matepad yang ada di tangannya, lalu menyerahkan pada Arvan. Kemudian, Kiki mulai menerangkan konsep pernikahan yang menjadi andalan WO mereka. Sementara itu, Celyn hanya diam, mulutnya terkunci ketika berhadapan dengan Arvan. Bagaimana tidak, hanya melihat wajahnya saja, orang pasti akan tahu bahwa pria itu memiliki sikap yang sombong dan temperamen. Jadi, jangan sekali-kali mengecewakan atau membuatnya marah.
Tiba-tiba ponsel Arvan berdering, ia mengambil benda pipih miliknya dari dalam saku celana, lalu saat ia tahu panggilan itu dari Mita, Arvan pun langsung menjawabnya.
"Halo, Sayang."
"Sayang, apa kamu sudah bertemu dengan mereka? Jadi, apa mereka menyanggupi apa yang kita minta?" tanya Mita mengawali pembicaraannya dengan Arvan di panggilan telepon.
Arvan melirik ke arah Celyn dan juga Kiki, lalu berkata, “Ini aku sedang bicara dengan mereka. Kamu tenang aja, aku tahu konsep apa yang kamu suka. Sekarang kamu tinggal tunggu kabar dari aku aja ya, Sayang." Setelah Mita mengiyakan perkataan Arvan, panggilan telepon pun berakhir dan pria itu akhirnya memutuskan sendiri konsep apa yang diinginkan oleh calon istrinya, meski ia tahu jika Mita mungkin saja akan banyak protes dengan pilihannya.
"Jadi, apa kalian bisa mengikuti apa yang kami inginkan?" Arvan kembali melihat Kiki. Sedikit melirik Celyn yang semakin canggung berada di dekatnya.
"Bisa, Pak. Sesuai dengan konsep yang anda pilih lebih dulu. Namun, jika ada tambahan lainnya di luar konsep, akan ada biaya tambahan," jawab Kiki.
"Tidak masalah, asal semuanya sesuai dengan yang kami minta dan tidak ada kesalahan apa pun." Arvan mengetukkan jarinya ke atas meja, berusaha mencari perhatian Celyn yang sejak tadi hanya menunduk tak memperhatikan apa yang dikatakannya.
"Kenapa dia tidak berani melihatku sejak tadi?" batin Arvan merasa geram.
Merasa diabaikan oleh Celyn, Arvan memutar otaknya. Mencari cara agar Celyn lebih mendengarkan semua perkataannya.
"Baiklah, saya akan menggunakan konsep saya sendiri. Tolong dicatat ya!" Tiba-tiba kalimat perintah itu membuat Celyn seketika mengangkat kepalanya. Tak ingin membuat Arvan marah, dengan terburu-buru, Celyn mengambil sebuah buku kecil dan pulpen untuk mulai mencatat semua konsep yang dikatakan oleh Arvan secara cepat.
"Kayanya dia sengaja deh ngelakuin ini buat ngerjain aku," batin Celyn, masih dapat mengimbangi ucapan Arvan, walau beberapa kali hampir tertinggal.
Selesai mengatakan semua konsep yang diinginkannya, kini Arvan tampak menyeringai karena telah berhasil membuat Celyn kewalahan dalam mencatat apa yang ia katakan.
"Ini baru awal Celyn, nanti aku pasti akan semakin membuat hidupmu lebih rumit." Tentu saja Arvan mengatakan itu dalam hati. Kedua matanya masih menatap tajam wajah Celyn yang tampak serba salah menghadapinya.
"Jalan Mutiara 2 Nomor 46, itu alamat gedung yang akan digunakan untuk acara pernikahan kami. Baiklah, ini kartu nama saya. Jika ada yang mau ditanyakan, kalian bisa menghubungi nomor itu.” Setelah mengatakan itu, Arvan pun beranjak dari posisi duduknya, lalu berjabat tangan dengan Kiki, sedangkan Celyn memilih hanya membungkukkan tubuhnya tanda hormat pada Arvan.
Sepeninggal Arvan, tubuh Celyn luruh ke lantai. Kakinya terasa kesemutan dan tangannya pun sudah berkeringat sejak pertama kali melihat Arvan.
"Ya Tuhan, mimpi apa aku bisa ketemu Arvan lagi?" Celyn mulai bangkit dengan perlahan, lalu duduk di sebuah sofa yang tadi menjadi tempat Arvan duduk.
Tak lama berselang, Kiki yang baru saja selesai mengantar Arvan, langsung menghampiri Celyn dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya.
"Celyn ... kamu tahu kan dia itu Insinyur perusahaan AA Grup. Jadi, kita harus kasih yang terbaik untuk pernikahan mereka karena pastinya akan ada banyak tamu penting yang hadir di acara itu," ucap Kiki terlihat senang karena Arvan benar-benar menggunakan jasa WO untuk pernikahannya.
Tanpa menjawab perkataan Kiki, Celyn mulai berdiri, lalu melangkah sambil berpegangan pada meja. Pertemuannya dengan Arvan seakan membuat wanita itu seperti dehidrasi hingga ia membutuhkan minum beberapa gelas untuk mengembalikan tenaganya yang sekejap hilang.
"Kamu kenapa? Apa kamu sakit?" tanya Kiki melihat perubahan pada wajah Celyn yang kelihatan pucat.
"Tidak, aku hanya merasa lelah."
"Oh iya, Pak Arvan bilang dia ingin kamu yang menemani dia untuk mengecek gedung.”
"Apa?" Seketika langkah Celyn terhenti. Pandangannya kembali menatap Kiki yang baru saja dilewatinya. "Tapi itu kan pekerjaanmu!"
"Iya aku tahu, tapi dia bilang ingin kamu yang mengurus semuanya.”
Celyn memijat pelipisnya yang terasa sakit, pertemuan pertama saja sudah hampir membuat Celyn pingsan. Apa lagi kalau ia hanya berdua dengan Arvan untuk mengecek ke lokasi gedung.
"Tidak, ini seharusnya tidak boleh terjadi," gumam Celyn mulai mencari alasan untuk menghindari Arvan. “Ki, sepertinya dua hari ke depan aku nggak bisa masuk kerja. Badanku tiba-tiba meriang, aku sakit.”
Kiki mendelik, memperhatikan Celyn dari ujung kaki hingga ke kepala.
“Sepertinya kamu baik-baik saja. Jangan lupa lusa temui Pak Arvan yang tampan itu ya!" titah Kiki sambil berlalu begitu saja dan tak lagi menghiraukan Celyn yang semakin kacau karena jujur, sebenarnya ia tidak ingin lagi bertemu dengan Arvan.
"Ya Tuhan …." Celyn hanya bisa menghela napas kasar. Ia tak bisa berkelit atau berbohong agar tidak datang ke lokasi gedung yang sudah ditentukan oleh Arvan.
***
Pertemuan dengan Celyn membuat rasa ingin balas dendam Arvan semakin menggebu. Apa lagi Arvan melihat Celyn hidup baik-baik saja, tak seperti dirinya yang harus menderita karena patah hati ditolak olehnya.
Arvan: Jangan lupa besok datang tepat waktu.
Melihat pesannya tidak dibalas oleh Celyn, Arvan pun kembali mengirim pesan. Namun, pesan yang ia kirim hanya dibaca, tidak dibalas sama sekali oleh Celyn.
"Sial, dia benar-benar mengabaikan pesanku," desis pria itu kesal.
Malu akan ulahnya sendiri, Arvan akhirnya menarik kembali pesan yang sudah ia kirim ke Celyn. Arvan mengepalkan tangannya, lalu menghubungi nomor ponsel kiki. Terdengar suara sambungan ponsel yang terhubung.
"Halo, selamat sore," sapa seorang wanita dari seberang telepon.
"Halo, dengan Ibu Kiki? Tolong besok Celyn suruh datang ke alamat yang sudah saya sebutkan tadi!" pinta Arvan mengingat kembali.
"Maaf, Pak, bukannya jadwal pertemuannya lusa?" tanya Kiki merasa heran.
"Lusa saya sibuk, jadi saya undur besok. Saya tunggu jam makan siang, jangan sampai terlambat karena saya tidak suka sama orang yang tidak tepat waktu!"
"Baik, Pak."
Arvan menyeringai setelah mematikan panggilannya. Ia lalu kembali mengerjakan semua berkas yang ada di hadapannya, karena Arvan berniat tidak akan ke kantor besok.
Sementara itu, Celyn terus mengucapkan sumpah serapahnya selama perjalanan pulang. Ia begitu kesal karena baru saja dihubungi oleh Kiki untuk menemui Arvan ke alamat yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Tak terasa dua puluh menit perjalanan, motor yang dikemudikan Celyn akhirnya tiba di depan rumah.
Celyn pun terdiam ketika melihat wajah seorang pria yang tengah duduk di depan pagar.
"Kakak, akhirnya Kakak pulang juga," ujarnya bersemangat.
"Ngapain kamu ke sini?" ketus Celyn.
Seketika wajah Niko berubah mendengar penuturan Celyn. Namun, bukannya pergi, ia malah ikut masuk ke dalam rumah kakaknya itu.
“Kak," ucapnya. Celyn tak bergeming, ia masih diam dan enggan menjawab ucapan adik tirinya tersebut. "Kakak, dengar aku."
"Apa si! Kamu ke sini pasti cuma mau minta uang sajakan. Pernah tidak si, kalian bertanya tentang kehidupanku. Bagaimana pekerjaanku, kesehatanku. Bukan hanya tentang uang, uang, dan uang saja."
Niko terdiam, ia sadar jika selama ini hanya meminta uang. Tidak pernah tahu akan pekerjaannya, kesehatannya atau masalah yang sedang kakaknya hadapi. Celyn menutup pintu kamarnya dengan keras saat Niko akan mengutarakan maksud dan tujuan datang ke rumahnya.
Celyn pun menutup mulutnya ketika air mata meluncur bebas di kedua pipinya. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis, meluapkan kekesalannya akan hidup yang selama ini ia jalani.
"Astagfirullah." Celyn mengatakan itu saat teringat jika ia belum melaksanakan salat. Wanita itu pun bergegas melangkah menuju kamar mandi, lalu mulai membersihkan tubuhnya dan segera berwudhu.
Sepenggal doa pun ia panjatkan, sembari mengadukan semua isi hatinya pada Sang Pencipta hingga tak terasa, butiran air mata membasahi pipi Celyn yang semakin lama menetes tanpa henti.
Di tengah kesedihannya, ponsel Celyn berdering. Celyn lalu mengusap air matanya dengan kasar dan mengangkat panggilan tersebut.
"Halo."
"Ya, halo, Celyn."
Celyn refleks menutup mulutnya dengan tangan kiri saat mendengar suara pria yang tadi sudah membuat harinya buruk terdengar di seberang sana.