"Sayang, Wedding Organizer yang aku pesan ternyata sudah penuh. Mereka menolakku dengan alasan tidak menerima klien baru lagi," gerutu wanita bernama Mita lewat sambungan telepon pada calon suaminya.
"Sebentar, Sayang. Kayaknya aku udah ada kenalan WO dari Dina." Pria bernama Arvan Adiwijaya itu pun seketika teringat akan brosur yang diberikan sepupunya sebelum ia memasuki ruang kerjanya.
Setelah mengambil brosur yang sempat ia letakkan di atas meja, kedua mata Arvan tampak membulat ketika melihat foto seorang wanita yang tengah membawa buket bunga di brosur tersebut.
"Celyn."
Arvan tampak terkejut. Melihat seorang wanita yang sudah tujuh tahun tak ditemuinya. Wanita yang dulu pernah menorehkan luka yang begitu dalam karena menolak cintanya.
"Apa sayang, kamu bicara apa?" tanya Mita yang masih berada dalam panggilan telepon itu.
"Sepertinya aku dapat WO deh untuk pernikahan kita."
"Benarkah? Apa kamu bisa menghubunginya? Kita harus secepatnya buat janji sama mereka, Sayang." Mita yang sudah tidak sabar pun langsung meminta pada Arvan.
"Iya, aku akan segera hubungi mereka. Nanti aku pasti kabarin kamu lagi ya, Sayang."
Setelah mengakhiri sambungan telepon itu, Arvan malah keluar dari ruangannya untuk mencari Dina daripada menghubungi nomor yang tertera pada brosur itu.
"Aku harus tanya langsung sama Dina, apa benar dia ketemu Celyn."
Semua staf yang melihat Arvan berjalan dengan cepat, seperti ingin memarahi seseorang. Mereka semua fokus bekerja karena takut akan atasannya yang tempramen. Arvan membuka ruangan divisi penjualan, semua mata tertuju padanya saat ia berjalan ke arah meja Dina.
"Ikut aku!" titah Arvan sambil menarik tangan Dina. Tentu saja ia tidak mungkin menanyakan tentang brosur itu di ruangan yang bisa saja didengar oleh para pekerja lain yang juga ada di ruangan tersebut.
"Brosur itu … dari mana kamu dapat?" Begitu tiba di depan tangga darurat, Arvan langsung menanyakan hal itu pada Dina yang kelihatan bingung menatap Arvan.
"Dari teman. Kenapa heboh gitu sih? Apa kamu mau gunain jasa WO itu di pernikahanmu nanti?" tanya Dina.
"Aku harus memastikan dulu kamu dapat dari mana brosur ini?" Arvan menunjukkan brosur yang sejak tadi ia genggam di tangan kirinya.
"Dari Celyn."
"A-apa, Celyn? Kapan kamu ketemu sama dia?"
"Pas istirahat tadi, dia lagi nyebarin brosur nggak jauh dari kantor kita."
Arvan mengepalkan tangannya, ia pun coba bertanya tentang nomor ponsel Celyn. Namun, mulutnya terasa kelu dan tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya ingin ditanyakannya.
"Kalau kamu mau pakai jasa WO Celyn, aku bisa hubungi dia." Dina menawarkan. Melihat Arvan yang masih diam seperti sedang berpikir.
"Tapi kamu jangan bilang kalau aku yang akan memakai jasa WO-nya ya!"
"Beres. Ya udah aku telepon dia dulu ya!" Dina langsung mengambil ponsel miliknya dari saku celana. Tanpa menunggu lama, wanita itu pun bergegas menghubungi Celyn dan tak butuh waktu lama, panggilan itu pun terhubung.
"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sapa Celyn.
Arvan mendekatkan telinganya ke ponsel yang sedang digunakan oleh Dina. Ia mencoba memastikan lewat suara jika orang yang mengangkat panggilan Dina memang benar adalah Celyn.
"Halo, Celyn. Ini aku Dina, saudaraku ada yang ingin menggunakan jasa WO-mu apa bisa?" ungkap Dina.
"Benarkah ... bisa-bisa, untuk kapan acaranya?"
Arvan pun komat-kamit memberi tahu Dina untuk mengatur waktu pertemuan mereka. Mata Dina fokus ke bibir Arvan, lalu mulai mengatakan pada Celyn apa yang disampaikan oleh Arvan.
"Be-besok, jam sepuluh dia datang langsung ke tempat kamu."
"Baiklah. Makasih ya, Din."
"Sama-sama, bye, Celyn." Dina pun mengakhiri panggilan itu, lalu menyingkirkan Arvan agar menjauh darinya.
"Kamu yakin calon istrimu bakalan setuju kalau kamu menggunakan WO Celyn untuk pernikahan kalian?"
"Setuju pasti, memangnya kenapa?" tanya Arvan.
"Ya, aneh aja. Bukannya yang aku tahu dia wanita yang perfeksionis. Mana mau dia gunain WO yang belum punya nama kaya WO Celyn ini." Dina coba menganalisa, terlebih ia sudah sedikit banyak tahu tentang Mita.
"Udah itu urusanku. Dia pasti mau." Setelah berhasil mengulik tentang Celyn dari Dina, Arvan pun keluar dari tangga darurat tanpa mengucapkan terima kasih.
"Eh, tunggu! Apa kamu yakin mau ketemu sama wanita yang dulu pernah buat kamu patah semangat gara-gara ditolak?"
Langkah Arvan seketika terhenti. Pria itu tertegun saat mendengar penuturan Dina.
***
Arvan menatap sebuah bangunan yang ada dihadapannya. Ia tak berani keluar dan hanya memperhatikan dari dalam mobilnya.
Tak lama kemudian, tampak seorang wanita berjalan keluar dari bangunan tersebut. Arvan pun memicingkan mata, memastikan orang yang sedang ia lihat bukanlah orang yang salah.
"Celyn … iya itu benar dia," ucap Arvan menyeringai. Kedua matanya terus memperhatikan Celyn yang tampak sudah bersiap untuk pergi dengan mengendarai sepeda motornya.
Setelah 20 menit, motor yang dikemudikan Celyn akhirnya tiba di sebuah perumahan. Celyn pun bergegas turun dari motornya untuk membuka pagar rumahnya, lalu masuk ke dalam rumah tersebut.
Baru saja tiba di kamarnya, sebuah notifikasi pesan berbunyi. Celyn mengambil ponsel dari dalam tas, lalu melihat layar pada benda pipih miliknya menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
Arvan: Celyn
"Siapa ya? Ah, pasti cuma orang iseng ini mah." Celyn pun mengabaikan pesan tersebut dan memilih merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pikirannya kembali saat bertemu dengan Dina, teman saat mereka masih Sekolah Menengah Atas. Keduanya harus berpisah ketika Celyn harus pindah dari Jakarta.
"Ternyata sudah berlalu tujuh tahun lamanya." Ponsel Celyn tiba-tiba berdering, tampak nama ibu tirinya yang muncul di layar ponsel.
Dengan nada malas, Celyn pun menjawab panggilan itu, "Iya, Mah. Ada apa?"
"Ini Niko harus bayar kosan, kamu bisa kirim uang, Nak?"
Celyn terdiam. Ia melihat isi dompetnya yang tersisa hanya dua lembar uang seratus ribu rupiah. Celyn pun menghembuskan napasnya dengan kesal, lalu berkata, "Mah, Niko itu udah besar. Suruh dia cari uang sendiri, dia kan mutusin buat ngekos. Jadi, harusnya dia juga mikirin biayanya. Jangan mau enaknya saja!"
"Kamu sama adik sendiri perhitungan. Dulu kamu sekolah itu biaya dari siapa, ing--"
Celyn dengan sepihak mematikan panggilan telepon itu, ia sudah sangat jengah dengan ibu tirinya yang selalu meminta uang terus padanya. Saat mendesak ia akan mengoceh hal-hal di masa lalu seolah Celyn harus membayar semua yang telah ia berikan padanya.
"Pah, kenapa papah malah ninggalin aku sama ibu yang kejam kaya gitu sih," lirih Celyn. Ia menangis tersedu-sedu, menenggelamkan kepalanya di bawah bantal.
***
Keesokan paginya, Celyn datang ke tempat kerjanya tepat jam delapan pagi. Celyn pun tampak merias matanya agar tak terlihat bengkak karena semalam terlalu banyak menangis. Mau bagaimanapun, ia harus tetap berpenampilan cantik karena hari ini akan bertemu dengan klien baru yang akan menggunakan jasa WO tempatnya bekerja.
"Klien kita bukan orang biasa, dia memiliki banyak uang. Jadi, kita harus bisa meyakinkannya agar mau menggunakan jasa WO kita!" ujar Kiki.
"Apa Deril tau?" tanya Celyn.
"Hm, dia jelas tau. Makanya, dia menyuruh kita untuk menemui mereka," jawab Kiki bersemangat.
"Memangnya siapa nama klien kita?" tanya Celyn penasaran.
"Ar-Ar …." Kiki masih coba mengingat nama pengantin pria tersebut.
"Arvan," sela seorang pria yang baru saja datang tepat di belakang mereka.
"Ah iya, Arvan." Setelah memutar tubuhnya, Kiki tampak terkejut akan kehadiran Arvan yang tiba-tiba muncul, padahal saat ini masih jauh dari waktu yang disepakati untuk mereka bertemu.
Melihat kedatangan Arvan, Celyn hanya diam mematung, menatap wajah Arvan yang kini juga menatapnya.